
Itu adalah sebuah cerita. Sahabat mulia Salman Al-Farsi Sebagai sumber inspirasi dan teladan sejati kesabaran dan kegigihan dalam mencari kebenaran, Salman (ra) hidup di antara penganut Zoroastrianisme, Kristen, dan Yahudi sebelum datangnya Islam. Ia terus mencari agama yang benar hingga Allah membimbingnya. Ia tidak menyerahkan pikiran dan hatinya kepada tradisi dan keyakinan warisan tanah airnya, yang jika ia pegang teguh hingga wafatnya, ia tidak akan termasuk di antara para sahabat Nabi (saw). Ia tidak akan dibimbing kepada agama Islam dan akan meninggal sebagai seorang musyrik.
Meskipun Salman, orang Persia, dibesarkan di Persia di tengah penyembahan api, ia mencari agama yang benar dan pergi mencari Tuhan. Ia seorang Zoroaster, tetapi tidak yakin dengan agama ini. Namun, ia menemukan leluhurnya taat pada agama tersebut, sehingga ia pun memeluknya bersama mereka. Ketika keraguannya terhadap agamanya dan keluarganya semakin kuat, Salman meninggalkan negerinya, Persia, dan bermigrasi ke Syam untuk mencari kebenaran agama yang sejati. Di sana, ia bertemu para pendeta dan pendeta. Setelah perjalanan panjang, Salman tiba sebagai budak di Madinah. Ketika ia mendengar tentang Nabi ﷺ, ia bertemu dengan beliau dan masuk Islam setelah yakin akan dakwahnya.
Sahabat yang mulia itu menyebutkan bahwa ia lahir sebagai orang Persia di tanah Isfahan—sekarang Iran—dari penduduk sebuah desa bernama Ji, dan ayahnya adalah penguasa desa tersebut. Salman tumbuh dalam keluarga bangsawan, hidup dalam kemewahan abadi di Persia. Ayahnya sangat mencintainya dan mengkhawatirkannya sampai-sampai ia memenjarakannya di rumahnya. Salman telah mendalami Zoroastrianisme hingga ia menjadi penghuni api, menyalakannya dan tidak membiarkannya padam selama satu jam pun.
Suatu hari, ayahnya memintanya untuk pergi ke ladangnya untuk mengurusnya karena ia sibuk. Ayahnya memintanya untuk tidak terlambat agar ia tidak khawatir. Dalam perjalanan ke ladang, Salman melewati sebuah gereja tempat orang-orang sedang berdoa. Ia masuk dan terkesan oleh mereka. Ia berkata, "Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut." Ia tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam.
Ia bertanya kepada mereka tentang asal-usul agama ini, dan mereka menjawab bahwa agama ini berasal dari Syam. Maka Salman pun kembali kepada ayahnya dan menceritakan apa yang telah terjadi, dan bahwa ia terkesan dengan agama ini dan mengira dirinya dibelenggu.
Salman meriwayatkan, katanya: "Aku mengirim pesan kepada orang-orang Kristen dan berkata: 'Jika sekelompok pedagang Kristen dari Suriah datang kepadamu, beri tahu aku tentang mereka.' Maka datanglah sekelompok pedagang Kristen dari Suriah kepada mereka, dan mereka memberi tahunya. Ia pun melarikan diri dari rumah ayahnya ke Suriah."
Di sana ia bertemu dengan salah seorang uskup pertapa yang berada di jalan yang benar, dan ketika ajal menjemputnya, ia menasihatinya untuk pergi menemui salah seorang uskup di Mosul yang masih taat beragama dan menantikan risalah Nabi (saw). Maka ia pun pergi menemuinya dan tinggal bersamanya untuk sementara waktu, lalu ajal menjemputnya dan menasihatinya untuk pergi menemui salah seorang uskup di Nisibis. Hal yang sama terulang kembali hingga ia bertemu dengan seorang uskup dari Amorium di Roma, yang menceritakan kepadanya tentang zaman Nabi (saw). Uskup berkata kepadanya: "Anakku, demi Allah, aku tidak tahu siapa pun yang tersisa yang seperti kita. Aku perintahkan engkau untuk pergi kepadanya, tetapi masa seorang nabi telah tiba bagimu. Ia akan diutus dari Tanah Suci, bermigrasi di antara dua padang lahar menuju tanah asin dengan pohon-pohon kurma. Ia akan memiliki tanda-tanda yang tak tersembunyi. Di antara kedua bahunya akan terdapat meterai kenabian. Ia akan memakan pemberian tetapi tidak sedekah. Jika engkau dapat mencapai negeri itu, lakukanlah, karena waktunya telah tiba bagimu."
Kemudian suatu kafilah dari negeri Arab melewati Salman, maka berangkatlah ia bersama mereka untuk mencari Nabi Akhir Zaman, namun di tengah jalan mereka menjualnya kepada seorang Yahudi, sehingga ia sampai di Madinah. Dari pohon kurmanya, ia mengenali bahwa Madinah adalah kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh uskup kepadanya.
Salman menceritakan kisah kedatangan Nabi di Madinah, dengan berkata: “Allah mengutus Nabi-Nya, saw, ke Mekah, dan aku tidak menyebutkan apa pun tentangnya meskipun aku berada dalam perbudakan, hingga Rasulullah saw tiba di Quba, dan aku sedang bekerja untuk sahabatku di kebun kurmanya. Ketika aku mendengar kabar kedatangan Nabi, aku turun dan berkata: ‘Berita apa ini?’ Majikanku mengangkat tangannya dan menamparku dengan keras, sambil berkata: ‘Apa urusanmu dengan ini? Lanjutkan pekerjaanmu.’”
Salman ingin menguji sifat-sifat Nabi (saw) yang telah diceritakan oleh uskup, yaitu beliau tidak makan sedekah, menerima hadiah, dan memiliki meterai kenabian di antara kedua bahunya, di antara tanda-tanda lainnya. Maka ia pun pergi menemui Nabi (saw) di malam hari, membawa makanan, dan mengatakan bahwa makanan tersebut berasal dari sedekah. Nabi (saw) memerintahkan para sahabat untuk makan, tetapi beliau tidak memakannya. Salman menyadari bahwa ini adalah salah satu tandanya.
Kemudian ia kembali kepada Nabi, s.a.w., dan mengumpulkan makanan untuknya, lalu mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Rasulullah, s.a.w., memakannya dan para sahabat pun memakannya, sehingga ia tahu bahwa itu adalah tanda kedua.
Salman mencari Meterai Kenabian dan ia menceritakan tentang hal itu, katanya: “Lalu aku datang kepada Rasulullah, saw, ketika beliau sedang mengikuti prosesi pemakaman. Aku mengenakan dua jubahku dan beliau bersama para sahabatnya. Aku berbalik untuk melihat punggungnya untuk melihat apakah aku bisa melihat meterai yang telah dijelaskan kepadaku. Ketika ia melihatku berpaling darinya, ia tahu bahwa aku sedang memverifikasi sesuatu yang telah dijelaskan kepadaku, jadi ia menyingkirkan jubahnya dari punggungnya. Aku melihat meterai itu dan mengenalinya, jadi aku menghampirinya, menciumnya dan menangis.” Maka, Salman, orang Persia itu, masuk Islam dan menulis surat kepada tuannya. Nabi, saw, meminta para sahabat untuk membantunya. Salman dibebaskan dan tetap menjadi sahabat Nabi, saw, mengikutinya, sampai-sampai Nabi, saw, bersabda: “Salman berasal dari kami, keluarga Nabi.”
Perjalanan Salman Al-Farsi untuk mencapai kebenaran sangatlah panjang dan sulit. Ia bermigrasi dari Zoroastrianisme di Persia, lalu ke Kristen di Syam, lalu ke perbudakan di Jazirah Arab, hingga Allah SWT membimbingnya kepada Nabi Muhammad SAW dan Islam.
Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, adalah sosok yang kuat dan mengagumkan. Ia masuk Islam pada usia dua puluh enam tahun, dan ia berada di urutan ketiga puluh sembilan orang yang masuk Islam, artinya ia adalah orang keempat puluh dalam urutan orang-orang yang masuk Islam, dan disebut lima puluh, atau lima puluh enam.
Umar bin Khattab, semoga Allah meridhoinya, adalah salah seorang yang paling memusuhi umat Islam sebelum ia masuk Islam.
Rasulullah -semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian- berdoa dan berkata: “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang ini yang paling Engkau cintai, Abu Jahal atau Umar bin Khattab.” Beliau bersabda: “Yang paling dicintainya adalah Umar.” Dan benar saja, Umar masuk Islam.
Kisah Masuknya Umar bin Khattab ke Islam
Berikut ini adalah rangkaian kisah masuknya sahabat Umar bin Khattab (ra): Umar bin Khattab memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad. Kaum Quraisy ingin membunuh Nabi Muhammad, dan mereka berunding tentang masalah pembunuhan beliau dan siapa orang yang akan membunuhnya. Umar mengajukan diri, sehingga ia membawa pedangnya di hari yang sangat panas dan menuju ke Rasulullah (saw). Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya, termasuk Abu Bakar al-Siddiq, Ali, dan Hamza (ra dengan mereka), dan beberapa sahabat yang tinggal bersama Rasulullah dan tidak pergi ke Abyssinia. Umar bin Khattab mengetahui bahwa mereka berkumpul di rumah al-Arqam di kaki al-Safa. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sahabat Nu'aym bin Abdullah al-Nahham, yang saat itu seorang Muslim. Ia mencegatnya dan bertanya: "Mau ke mana kau?" Ia mengatakan bahwa ia ingin membunuh Rasulullah (saw), karena telah menghina tuhan-tuhan mereka dan merendahkan agama mereka. Kedua lelaki itu saling berteriak, dan ia berkata kepadanya, "Betapa buruknya jalan yang telah kau tempuh, Umar." Ia mengingatkannya tentang kekuatan Bani Abd Manaf dan bahwa mereka tidak akan meninggalkannya sendirian. Umar bertanya apakah ia telah masuk Islam sehingga ia bisa mulai membunuhnya. Ketika Nu'aim melihat bahwa ia tidak akan menyerah pada tujuannya untuk membunuh Rasulullah (saw), ia membujuknya dengan mengatakan bahwa keluarganya, saudara perempuannya, suaminya, dan sepupunya semuanya telah masuk Islam.
Posisi Umar bin Khattab terkait masuknya saudara perempuannya ke Islam
Umar bin Khattab pergi ke rumah saudara perempuannya, mengeluh setelah Nu’aim memberitahunya tentang masuknya saudara perempuannya ke Islam. Saudara perempuannya, Fatima, dan suaminya, Sa’id, telah masuk Islam, dan sahabatnya, Khabbab bin al-Arat, sedang mengajari mereka Al-Qur'an. Ketika Umar tiba, Khabbab sedang membacakan Al-Qur'an untuk Fatima dan suaminya, Sa’id (semoga Allah meridhoi mereka). Bacaan itu berasal dari Surah Taha. Umar mendengar mereka, dan ketika dia masuk, Khabbab bersembunyi. Umar bertanya kepada mereka tentang suara yang didengarnya, dan mereka mengatakan kepadanya bahwa itu hanya percakapan di antara mereka. Umar berkata, "Mungkin kalian berdua telah tersesat." Sa’id berkata kepadanya, "Katakan padaku, Umar, apakah kebenaran terletak pada orang lain selain agamamu?" Umar bangkit untuk memukulnya, tetapi Fatima menghentikannya, jadi dia menampar wajahnya. Ia menjawab dengan marah, “Wahai Umar, jika kebenaran tidak ada dalam agamamu,” Ketika Umar putus asa terhadap mereka, ia meminta kitab yang sedang mereka baca, tetapi saudara perempuannya tidak mau memberinya kitab itu sampai ia bersuci. Ia pun menjawab dan bersuci, lalu mengambil kitab itu dan membaca Surat Thaha hingga sampai pada ayat, “Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” [Taha: 14] Umar takjub dengan keindahan kata-kata yang dibacanya. Saat itu, Khabbab keluar dan memberi tahunya bahwa Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, telah mendoakan kemasukan Islamnya.
Pernyataan Umar bin Khattab tentang masuknya ia ke dalam Islam di hadapan Nabi
Ketika Umar membaca ayat-ayat tersebut, hatinya dipenuhi rasa gembira. Ia bertanya kepada Khabbab tentang keberadaan Rasulullah (saw) agar ia dapat menemuinya dan mengumumkan keislamannya. Khabbab mengatakan bahwa ia berada di rumah Arqam bin Abi Arqam. Umar pun pergi dan mengetuk pintu para sahabat yang berada di rumah Arqam. Mereka terkejut dan takut ketika mendengar suara Umar. Namun, Hamzah menenangkan mereka dan berkata, "Insya Allah, dia akan masuk Islam, dan jika Allah menghendaki sebaliknya, membunuhnya akan mudah bagi kami." Mereka membawanya kepada Rasulullah (saw). Hamzah dan seorang pria lain telah memegang lengan Umar dan membawanya kepada Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) berdiri dan memerintahkan mereka untuk meninggalkannya sendirian. Beliau bertanya mengapa ia datang. Umar kemudian mengatakan kepadanya bahwa ia ingin masuk Islam. Rasulullah (saw) pun mengucapkan "Allahu Akbar", dan semua orang di rumah mengetahui keislamannya. Mereka bersukacita karena mereka menjadi lebih kuat dan lebih berkuasa berkat keislaman Hamzah dan Umar (ra).
Dampak Masuknya Umar ke Islam terhadap Dakwah Islam
Masuknya Umar bin Khattab ke Islam memiliki banyak dampak. Pada saat itu, umat Islam merasa bangga, kuat, dan kebal. Tak seorang pun dari mereka mampu salat secara terbuka atau tawaf di Kakbah. Ketika Umar masuk Islam, para sahabat mulai salat dan tawaf di Kakbah, dan mereka membalas dendam kepada orang-orang yang telah berbuat salah kepada mereka. Umar mengumumkan masuknya ia ke Islam kepada kaum musyrik, dan mereka diliputi depresi mendengar berita buruk ini. Ia memberi tahu Abu Jahl tentang masuknya ia ke Islam tanpa rasa takut atau ragu. Ibnu Mas'ud merujuk pada makna ini ketika ia berkata: "Kami tidak dapat salat di Kakbah sampai Umar masuk Islam." Dengan demikian, dakwah Islam menjadi publik.
Memperkenalkannya
Dr. Ingrid Mattson adalah seorang profesor agama di Hartford College, Connecticut. Ia lahir dan besar di Ontario, Kanada, dan mempelajari filsafat dan seni rupa di University of Waterloo.
Mattson masuk Islam saat kuliah tahun terakhirnya dan pergi ke Pakistan pada tahun 1987, tempat ia bekerja dengan para pengungsi selama setahun. Ia meraih gelar doktor dalam studi Islam dari Universitas Chicago pada tahun 1999.
Kisah pertobatannya ke Islam
Ingrid dibesarkan sebagai seorang Kristen, bukan seorang religius. Ketertarikannya pada Islam berawal dari kecintaannya pada seni. Dr. Ingrid menceritakan perjalanannya ke museum-museum besar di Toronto, Montreal, dan Chicago, hingga ia mengunjungi Louvre di Paris dan sangat terpesona oleh seni lukis sepanjang sejarah manusia.
Kemudian dia bertemu dengan sekelompok Muslim, dan dia berkata tentang mereka: “Saya bertemu dengan orang-orang yang tidak membangun patung atau lukisan sensual tentang Tuhan mereka, dan ketika saya bertanya kepada mereka, mereka menjawab bahwa Islam sangat waspada terhadap paganisme dan penyembahan manusia, dan bahwa mengenal Tuhan sangat mudah dengan merenungkan ciptaan-Nya.”
Dari perspektif inilah Ingrid memulai perjalanannya mempelajari Islam, yang berakhir dengan masuk Islam. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dan memasuki dunia dakwah.
Kontribusinya
Ingrid mendirikan program keagamaan Islam pertama di Amerika Serikat. Pada tahun 2001, ia terpilih sebagai presiden Islamic Society of North America, yang beranggotakan sekitar 20.000 orang di Amerika Serikat dan Kanada, serta memiliki 350 masjid dan pusat Islam. Mattson adalah perempuan pertama yang memegang posisi ini dalam sejarah organisasi tersebut.
Siapakah Maurice Bucaille?
Maurice Bucaille lahir dari orang tua Prancis dan, seperti keluarganya, dibesarkan dalam agama Kristen. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia mendaftar di jurusan kedokteran di Universitas Prancis, di mana ia termasuk di antara mahasiswa terbaik hingga meraih gelar kedokteran. Ia menapaki kariernya, menjadi ahli bedah paling terkenal dan terampil yang dikenal di Prancis modern. Keahliannya dalam pembedahan merupakan kisah menakjubkan yang mengubah hidup dan keberadaannya.
Kisah masuknya Maurice Bucaille ke Islam
Prancis dikenal karena minatnya pada barang antik dan warisan budaya. Ketika mendiang Presiden Sosialis Prancis, François Mitterrand, berkuasa pada tahun 1981, Prancis meminta Mesir pada akhir 1980-an untuk menyimpan mumi Firaun Mesir guna pengujian dan perawatan arkeologis.
Jenazah tiran paling kejam yang pernah dikenal Mesir diangkut, dan di sana, di bandara, presiden Prancis, para menterinya, dan pejabat tinggi negara itu berdiri berjajar, membungkuk di tangga pesawat, untuk menerima Firaun Mesir dengan sambutan kerajaan, seolah-olah dia masih hidup!!
Ketika penyambutan Firaun Mesir di Prancis berakhir, mumi sang tiran dibawa dalam prosesi yang tak kalah megahnya dengan penyambutannya. Mumi tersebut dipindahkan ke sayap khusus di Pusat Arkeologi Prancis, tempat para arkeolog, ahli bedah, dan ahli anatomi terkemuka Prancis mulai mempelajari mumi tersebut dan mengungkap rahasianya. Kepala ahli bedah dan orang yang bertanggung jawab utama untuk mempelajari mumi firaun ini adalah Profesor Maurice Bucaille.
Para tabib tertarik untuk memulihkan mumi tersebut, sementara pemimpin mereka, Maurice Bucaille, sangat tertarik pada hal lain. Ia mencoba mencari tahu bagaimana firaun ini meninggal, dan larut malam, hasil akhir analisisnya dirilis.
Dokter bedah Prancis Maurice Bucaille
Tetapi ada sesuatu yang aneh yang masih membingungkannya: bagaimana tubuh ini - tidak seperti tubuh mumi firaun lainnya - tetap lebih utuh daripada yang lain, meskipun dikeluarkan dari laut?!
Maurice Bucaille sedang mempersiapkan laporan akhir tentang apa yang ia yakini sebagai penemuan baru dalam pemulihan jasad seorang firaun dari laut dan proses mumifikasinya segera setelah ia tenggelam, ketika seseorang berbisik di telinganya: Jangan terburu-buru; umat Islam sedang membicarakan tentang penenggelaman mumi ini.
Namun, ia mengecam keras berita ini dan menyatakan keterkejutannya, karena penemuan semacam itu hanya dapat diketahui melalui perkembangan ilmu pengetahuan modern dan komputer modern yang sangat akurat. Orang lain menambah keheranannya dengan mengatakan: Al-Qur'an mereka, yang mereka yakini, menceritakan kisah tentang tenggelamnya beliau dan keselamatan tubuhnya setelah tenggelam.
Beliau makin heran dan bertanya dalam hatinya: Bagaimana mungkin hal ini terjadi, sedangkan mumi ini baru ditemukan pada tahun 1898 M, yakni hampir dua ratus tahun yang lalu, sedangkan Al-Qur’an mereka sudah ada sejak lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu?!
Bagaimana ini bisa rasional, ketika seluruh umat manusia - bukan hanya umat Muslim - tidak tahu apa pun tentang orang Mesir kuno yang memumikan jasad firaun mereka hingga beberapa dekade yang lalu?!
Malam itu, Maurice Bucaille duduk memandangi jasad Firaun, sambil berpikir keras tentang bisik-bisik temannya: Al-Quran versi Muslim menceritakan tentang bertahannya jasad ini setelah tenggelam, sementara kitab suci umat Kristen (Injil Matius dan Lukas) menceritakan tentang tenggelamnya Firaun saat mengejar Nabi Musa, saw, tanpa menyebut sama sekali nasib jasadnya.
Ia mulai berkata dalam hatinya: Mungkinkah lelaki mumi di hadapanku ini adalah Firaun Mesir yang menganiaya Musa?!
Dapatkah dibayangkan bahwa Muhammad, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, mengetahui hal ini lebih dari seribu tahun yang lalu, dan saya baru saja mempelajarinya sekarang?!
Maurice Bucaille tak bisa tidur, dan meminta agar Taurat dibawakan kepadanya. Ia mulai membaca Kitab Keluaran dari Taurat, yang berbunyi: "Air laut pun surut dan menutupi kereta perang dan pasukan berkuda, seluruh pasukan Firaun yang telah masuk ke laut setelah mereka. Tak seorang pun yang tersisa." Maurice Bucaille tetap bingung.
Bahkan Kitab Taurat tidak menyebutkan tentang kelangsungan hidup tubuh ini dan tetap utuhnya setelah tubuh Firaun dirawat dan dipulihkan.
Prancis mengembalikan mumi tersebut ke Mesir dalam peti kaca mewah, tetapi Maurice Bucaille merasa gelisah dengan keputusan ini dan merasa gelisah karena berita yang beredar di kalangan Muslim tentang keamanan jenazah tersebut mengguncangnya. Ia berkemas dan memutuskan untuk pergi ke Arab Saudi untuk menghadiri konferensi medis yang dihadiri oleh sekelompok ahli anatomi Muslim.
Dan di sanalah percakapan pertama yang ia lakukan dengan mereka tentang apa yang ia temukan tentang selamatnya jasad Firaun setelah tenggelam. Salah seorang dari mereka berdiri dan membuka Al-Qur'an untuknya, lalu mulai membacakan firman Allah SWT: {Maka pada hari ini Kami akan menyelamatkanmu dari jasadmu, agar kamu menjadi tanda bagi orang-orang yang datang setelahmu. Dan sesungguhnya banyak di antara manusia, di antara tanda-tanda kekuasaan Kami, mereka lalai.} [Yunus: 92].
Dampak ayat tersebut begitu kuat baginya, dan ia terguncang hingga ia berdiri di hadapan hadirin dan berteriak sekeras-kerasnya: “Saya telah masuk Islam dan saya percaya kepada Al-Quran ini.”
Kontribusi Maurice Bucaille
Maurice Bucaille kembali ke Prancis dengan wajah yang berbeda dari wajah yang ditinggalkannya. Ia tinggal di sana selama sepuluh tahun tanpa ada yang menyibukkannya kecuali mempelajari sejauh mana fakta-fakta ilmiah yang baru ditemukan sesuai dengan Al-Qur'an, dan mencari satu kontradiksi ilmiah dalam Al-Qur'an, yang kemudian ia dapatkan dari firman Yang Maha Kuasa: {Kepalsuan tidak akan datang kepadanya, baik dari depannya maupun dari belakangnya. Ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji.} [Fussilat: 42].
Buah dari tahun-tahun yang dihabiskan oleh cendekiawan Prancis Maurice Bucaille adalah terbitnya sebuah buku tentang Al-Qur'an yang mengguncang negara-negara Barat dan para cendekiawannya hingga ke akar-akarnya. Judul buku tersebut adalah: "Al-Qur'an, Taurat, Alkitab, dan Sains: Sebuah Kajian Kitab Suci dalam Terang Pengetahuan Modern." Jadi, apa yang dicapai buku ini?!
Sejak cetakan pertamanya, buku ini terjual habis di semua toko buku! Kemudian dicetak ulang dalam ratusan ribu eksemplar setelah diterjemahkan dari bahasa aslinya (Prancis) ke dalam bahasa Arab, Inggris, Indonesia, Persia, Turki, dan Jerman. Buku ini kemudian menyebar ke semua toko buku di Timur dan Barat, dan kini Anda dapat menemukannya di tangan setiap pemuda Mesir, Maroko, atau warga Teluk di Amerika.
Para cendekiawan Yahudi dan Kristen yang hati dan matanya telah dibutakan Tuhan telah mencoba menanggapi kitab ini, tetapi mereka hanya menulis polemik omong kosong dan upaya-upaya nekat yang didiktekan oleh bisikan-bisikan Setan. Yang terakhir dari mereka adalah Dr. William Campbell dalam bukunya yang berjudul "Al-Qur'an dan Alkitab dalam Terang Sejarah dan Sains." Ia pergi ke timur dan barat, tetapi pada akhirnya ia tidak dapat mencapai apa pun.
Yang lebih mencengangkan lagi, sebagian ulama di Barat mulai menyiapkan tanggapan terhadap kitab tersebut, dan setelah mereka makin mendalami dan merenungkannya, mereka pun masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat!!
Dari perkataan Maurice Bucaille
Maurice Bucaille mengatakan dalam pengantar bukunya: "Aspek-aspek ilmiah Al-Qur'an ini awalnya sangat mengejutkan saya. Saya tidak pernah percaya bahwa mungkin untuk menemukan begitu banyak topik dengan presisi seperti itu, pada topik yang begitu beragam, dan membuatnya sepenuhnya sesuai dengan pengetahuan ilmiah modern, dalam sebuah teks yang ditulis lebih dari tiga belas abad yang lalu!!"
Ia juga berkata: "Saya pertama kali mempelajari Al-Qur'an tanpa prasangka apa pun dan dengan objektivitas penuh, mencari tingkat kesesuaian antara teks Al-Qur'an dan data sains modern. Saya tahu—sebelum penelitian ini, dan melalui terjemahan—bahwa Al-Qur'an menyebutkan banyak jenis fenomena alam, tetapi pengetahuan saya terbatas.
Berkat kajian cermat terhadap teks Arabnya, saya berhasil menyusun sebuah daftar. Setelah menyelesaikannya, saya menyadari bahwa Al-Qur'an tidak mengandung pernyataan apa pun yang terbuka untuk dikritik dari perspektif sains modern. Dengan objektivitas yang sama, saya melakukan kajian yang sama terhadap Perjanjian Lama dan Injil.
Sedangkan untuk Perjanjian Lama, tidak perlu lagi menelusuri lebih jauh dari kitab pertama, yakni Kejadian, sebab di sana terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak dapat disesuaikan dengan data ilmiah paling mapan di zaman kita.
Mengenai Injil, kita melihat bahwa teks Injil Matius jelas-jelas bertentangan dengan Injil Lukas, dan Injil Lukas dengan jelas menyajikan sesuatu yang tidak sesuai dengan pengetahuan modern tentang asal usul manusia di bumi.
Dr. Maurice Bucaille juga berkata: "Hal pertama yang membuat takjub siapa pun yang pertama kali membaca teks-teks Al-Qur'an adalah kekayaan topik-topik ilmiah yang dibahas. Meskipun kita menemukan banyak kesalahan ilmiah dalam Taurat saat ini, kita tidak menemukan kesalahan apa pun dalam Al-Qur'an. Jika penulis Al-Qur'an adalah manusia, bagaimana mungkin ia, pada abad ketujuh, menulis tentang fakta-fakta yang tidak sesuai dengan zamannya?!"
Pada tahun 1988, Akademi Prancis menganugerahinya Penghargaan Sejarah untuk bukunya, Al-Qur'an dan Sains Modern.
Memperkenalkannya
Matematikawan Amerika Jeffrey Lange lahir di Bridgeport, Connecticut, pada tahun 1954. Ia memperoleh gelar doktor dari Universitas Purdue dan saat ini menjadi profesor di Departemen Matematika di Universitas Kansas.
Penolakannya terhadap agama Kristen
Dalam bukunya, The Struggle for Faith, Jeffrey Lang menceritakan pengalamannya yang menarik, yang layak diceritakan kepada orang lain untuk mendapatkan gambaran tentang penyebaran Islam di Barat, dan bagaimana hal itu terjadi.
Pria itu dibesarkan dalam keluarga Kristen, dan ketika profesor agamanya mencoba membuktikan keberadaan Tuhan menggunakan matematika, Jeffrey Lang, seorang siswa SMA, menyerangnya dan berdebat dengannya tentang bukti tersebut. Profesor itu marah dan mengeluarkannya dari kelas dengan peringatan.
Pemuda itu pulang ke rumah, dan ketika orang tuanya mendengar cerita itu, mereka terkejut dan berkata: Kamu telah menjadi seorang atheis, anakku.
"Dia benar-benar kehilangan kepercayaan pada Kekristenan Barat," kata Lange. Lange tetap berada dalam kondisi ateisme ini selama sepuluh tahun, mencari, tetapi yang paling mengganggunya adalah kesengsaraan yang dialami orang-orang di Eropa, meskipun kehidupan mereka makmur.
Kisah masuk Islamnya
Dalam sekejap, kejutan itu datang dari Al-Qur'an, hadiah dari sebuah keluarga Saudi. Lang mendeskripsikan Al-Qur'an, dengan mengatakan:
Saya merasa seperti sedang berhadapan dengan seorang profesor psikologi yang sedang menyoroti semua perasaan saya yang terpendam. Saya mencoba membahas beberapa masalah, dan saya mendapati dia sedang menunggu, menyelami saya jauh ke dalam, dan membiarkan saya terekspos pada kebenaran.
Oleh karena itu, ia masuk Islam pada tahun 1980 M setelah sebelumnya menjadi seorang ateis.
Masuknya Shawqi Votaki ke Islam dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Jepang, dan bahkan dalam sejarah seluruh kawasan Asia Tenggara. Bagaimana? Dan bagaimana kisah masuknya dokter Jepang Shawqi Votaki ke Islam? Shawqi Votaki... dokter Jepang
Votaki adalah seorang dokter Jepang yang masuk Islam pada usia enam puluh tujuh tahun. Ia memiliki kepribadian yang ramah dan mudah bergaul, sehingga memengaruhi setiap orang yang ditemuinya. Agamanya sebelum masuk Islam adalah Buddha, dan ia adalah direktur sebuah rumah sakit besar di jantung kota Tokyo (ibu kota Jepang). Rumah sakit ini merupakan perusahaan saham gabungan yang dimiliki oleh sepuluh ribu orang. Sejak masuk Islam, Dr. Votaki menyatakan bahwa ia akan melakukan segala daya upaya untuk membawa sepuluh ribu pemegang saham tersebut ke dalam pangkuan Islam.
Selain pekerjaannya sebagai direktur rumah sakit, Dr. Futaki adalah pemimpin redaksi majalah bulanan Jepang bernama Seikami Jib pada tahun 1954. Ia tertarik pada isu bom atom yang dijatuhkan di Jepang dan dampaknya, dan ia mencoba mengumpulkan sumbangan untuk tujuan ini. Ketika ia gagal, ia memeras enam puluh juta yen Jepang dari sepuluh perusahaan Jepang setelah mereka mengancam akan mempublikasikan informasi rahasia yang akan memengaruhi kepentingan mereka. Setelah persidangan yang panjang, ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, dan izin praktik kedokterannya dicabut.
Kisah masuknya Shawqi Futaki ke Islam
Pertemuan pertamanya dengan Islam terjadi ketika ia masuk penjara, dan ia mulai membaca beberapa buku filsafat, politik, dan spiritual. Gagasan monoteisme mulai tertanam dalam dirinya, dan gagasan ini berakar kuat dalam dirinya ketika ia menghubungi sejumlah tokoh Islam, di antaranya seorang Muslim bernama Abu Bakar Morimoto, mantan presiden Asosiasi Muslim Jepang, yang sering berkata kepadanya: "Semakin banyak Muslim di dunia, masalah kaum tertindas di bumi akan berakhir, karena Islam adalah agama cinta dan persaudaraan."
Setelah Futaki menemukan jalan menuju bimbingan dalam Islam, ia, putranya, dan seorang teman lainnya memutuskan untuk masuk Islam dan mengumumkan kepindahan mereka di Islamic Center di Tokyo.
Kontribusi Shawqi Futaki
Masuknya Shawqi Futaki ke Islam menandai masuknya seluruh Jepang ke Islam! Namun, mengapa masuknya ia dianggap sebagai transformasi besar di Jepang?
Karena pria ini, segera setelah masuk Islam, menyatakan niatnya untuk menyebarkan Islam ke seluruh Jepang. Setelah masuk Islam, pada Maret 1975, ia memimpin enam puluh delapan orang untuk menyatakan keislaman mereka di Masjid Tokyo, dan ia juga mendirikan Persaudaraan Islam.
Selain itu, pada tanggal 4 April 1975, Masjid Tokyo menjadi yang terdepan dalam deklarasi dua ratus orang Jepang yang masuk Islam. Dr. Shawqi Futaki pun mulai memimpin saudara-saudaranya di Jepang untuk memeluk agama Allah secara berbondong-bondong, hingga jumlah anggota Ikatan Ikhwanul Muslimin yang dipimpinnya dari para Muslim baru ini mencapai sekitar dua puluh ribu orang Jepang, dan itu pun hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.
Oleh karena itu, masuknya Shawqi Futaki ke Islam dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Jepang, dan memang dalam sejarah seluruh kawasan Asia Tenggara.
Namun, ada fenomena yang muncul di antara mereka yang tidak menguasai bahasa Arab, dan tidak tinggal di negara-negara Muslim, yaitu beberapa ketidakmurnian akibat ketidaktahuan; Dr. Shawqi Futaki bersikap lunak terhadap para Muslim baru dari anggota Masyarakat Islamnya dalam hal pelarangan daging babi dan minuman beralkohol, mungkin ia memiliki alasan untuk ketidaktahuannya, dan mungkin ia ingin mengambil langkah-langkah tersebut secara bertahap. Oleh karena itu, negara-negara Islam—terutama negara-negara Arab—harus mengirimkan para pendakwah ke negara-negara tersebut (2).
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Kisah masuk Islam Dr. Douglas Archer, yang bekerja sebagai direktur Lembaga Pendidikan di Jamaika. Bagaimana kisah masuk Islam Dr. Douglas Archer? Apa kontribusinya setelah masuk Islam? Douglas Archer... Islam adalah agama yang unik.
Douglas Archer, yang nama Islamnya Abdullah, adalah direktur Institut Pendidikan di Jamaika. Sebelum masuk Islam, ia adalah seorang Advent Hari Ketujuh dan juga bekerja di Universitas Illinois di Amerika Serikat.
Kisah masuknya Douglas Archer ke Islam
Kisahnya dengan Islam dimulai ketika ia memberikan kuliah psikologi di universitas. Ada beberapa mahasiswa Muslim di sana, dan mereka tidak fasih berbahasa Inggris. Ia harus duduk bersama mereka setelah kuliah. Melalui pertemuan-pertemuan ini, rasa ingin tahu dan keinginannya untuk mempelajari lebih lanjut tentang keyakinan dan prinsip-prinsip mereka muncul, dan ia sangat terkesan dengan mereka.
Salah satu hal penting yang menarik perhatiannya terhadap Islam adalah studi filsafat, yang melaluinya ia membaca beberapa hal tentang Islam.
Hal lain yang membuatnya mengenal Islam lebih dekat adalah seorang mahasiswa pascasarjana Saudi yang tinggal di dekatnya dan sering bercerita tentang Islam kepadanya. Ia memberinya banyak buku Islam dan juga memperkenalkannya kepada dua profesor Muslim di universitas tersebut.
Adapun hal penting yang melatarbelakangi masuknya beliau ke dalam Islam, beliau mengatakan:
Poin penting lainnya adalah penelitian doktoral saya berfokus pada pendidikan dan pembangunan bangsa, dan dari sana saya mempelajari apa yang dibutuhkan bangsa untuk pembangunan sosial, ekonomi, politik, dan spiritual mereka. Saya menemukan bahwa pilar-pilar fundamental Islam memberikan fondasi yang kokoh dan berharga untuk membangun kembali bangsa secara sosial, ekonomi, dan spiritual. Jadi, jika Anda bertanya kepada saya: Mengapa saya masuk Islam? Saya akan menjawab: Karena Islam adalah agama yang unik, yang pilar-pilar fundamentalnya merupakan dasar pemerintahan yang membimbing hati nurani dan kehidupan umatnya.
Kontribusi Douglas Archer
Douglas Archer membela Islam, dengan mengatakan bahwa Islam mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan sosial, spiritual, dan politik mereka yang hidup di bawah kapitalisme dan komunisme. Kedua sistem ini gagal memecahkan masalah umat manusia, tetapi Islam akan menawarkan kedamaian bagi mereka yang tertindas dan harapan serta bimbingan bagi mereka yang bingung dan tersesat.
Dr. Douglas Archer, melalui kepemimpinannya di Caribbean Educational Institute, juga berupaya menyebarkan Islam di Hindia Barat melalui program-program akademik institut tersebut. Ia juga telah mengunjungi Arab Saudi dan Kuwait untuk mendukung gerakan Islamnya.
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Kisah masuknya David Lively, seorang Amerika, ke dalam Islam, yang pikiran dan hatinya tidak dapat menerima dua prinsip utama kepercayaan Kristen: doktrin Trinitas dan doktrin keselamatan. Lalu, bagaimana kisah masuknya David ke dalam Islam?
David Lively lahir di Philadelphia, Pennsylvania, dan mempelajari matematika hingga lulus dari Universitas Lehigh dengan jurusan ilmu komputer.
Ia bercerita tentang dirinya sendiri: "Di masa muda saya, keluarga saya dan saya adalah jemaat tetap gereja Protestan, dan Protestantisme adalah agama mayoritas rakyat Amerika. Saya mempelajari teks-teks dan keyakinan agama sejak dini, tetapi saya menyadari bahwa pikiran dan hati saya tidak menerima dua keyakinan dasar Kristen, yaitu:
Doktrin Trinitas (ditolak dalam bentuk apa pun) karena bertentangan dengan akal sehat.
- Doktrin keselamatan yang dikaitkan dengan Kristus, saw, karena mengandung kontradiksi keagamaan di bidang etika.
Lalu saya mulai mencari keyakinan baru yang akan melindungi saya dari penyimpangan dan kerugian, dan mengisi kekosongan spiritual yang diderita dan dikeluhkan oleh pemuda Amerika dan Eropa.
Kisah masuknya David Lively ke Islam
David Lively berbicara tentang dirinya sendiri dan berkata:
Saya bertemu seorang teman Amerika yang telah masuk Islam sebelum saya, dan ia memiliki terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris. Saya membawanya untuk menambah koleksi buku-buku agama saya. Begitu saya mulai membacanya, hati saya merasa tenang dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Islam. Kemudian saya beralih ke Islam, berdoa kepada Allah dengan doa-doa ini: Wahai Pemilik Petunjuk, jika agama yang disebut Islam ini bukanlah agama-Mu yang benar dan yang Kau ridhoi, maka jauhkanlah aku darinya dan dari sahabat-sahabatku yang Muslim. Jika ia adalah agama-Mu yang benar, maka dekatkanlah aku kepadanya dan berilah aku petunjuk kepadanya.
Belum genap seminggu berlalu, Islam telah merasuk ke dalam hatiku dan mengakar kuat dalam nuraniku. Hati dan pikiranku menjadi tenteram, jiwaku tenteram, dan aku menemukan ketenangan dalam kenyataan bahwa Islam sungguh-sungguh agama Allah, dan Al-Qur'an benar ketika menyatakan: "Sesungguhnya, agama di sisi Allah hanyalah Islam" (Ali Imran: 19).
Kontribusi David Lively
Dawud Abdullah al-Tawhidi (nama yang diberikan setelah ia masuk Islam) berusaha untuk menyadarkan umat Islam akan situasi mereka, meminta mereka untuk mengubah situasi mereka, dengan mengatakan:
Betapa besar perbedaan antara Islam dan nilai-nilai luhur, etika, dan keyakinannya, dengan kondisi umat Islam yang masih belum memahami iman, kehilangan nilai-nilai, dan menjauhkannya dari nilai-nilai dan etika Islam!! Para penguasa Muslim lambat memperjuangkan Islam, meskipun Islam adalah risalah luhur mereka. Para ulama Islam telah meninggalkan peran sejati mereka dalam dakwah, dalam ijtihad, dan dalam mengambil keputusan. Yang dituntut dari para ulama Islam bukanlah berpuas diri hanya dengan melestarikan warisan, tetapi mereka harus kembali mengamalkan pemikiran Islam. Maka cahaya kenabian, keimanan, pengamalan, dan kemaslahatan umat akan kembali kepada mereka.
Sungguh mengherankan betapa banyak anak muda di dunia Islam telah menjauh dari nilai-nilai spiritual Islam dan telah menjauh dari ajaran-ajarannya, sementara kita mendapati anak muda di dunia Barat haus akan nilai-nilai ini tetapi tidak mampu menemukannya di masyarakat sekuler mereka, yang tidak mengenal apa pun tentang Islam.
Adapun keinginan seorang Muslim Amerika, Daoud al-Tawhidi:
Keinginan saya adalah melanjutkan studi Islam dan berspesialisasi dalam ilmu perbandingan agama agar saya dapat berpartisipasi dalam mendidik generasi Muslim masa depan di Amerika, melawan invasi intelektual di sana, dan berupaya menyebarkan Islam di kalangan non-Muslim. Saya juga berharap suatu hari nanti saya akan melihat Islam memengaruhi pembentukan kembali masyarakat Amerika di masa depan dan berpartisipasi dalam kebangkitan Islam di seluruh dunia. Islam tidak mengenal tanah air, melainkan merupakan petunjuk yang diturunkan kepada seluruh umat. Al-Qur'an berfirman tentang Rasulullah: {Dan tidaklah Kami mengutus engkau, [Muhammad], melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.} [Al-Anbiya: 107]
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Sejarah akan mengingat orientalis (Gulager Manius) sebagai salah satu tokoh terkenal yang masuk Islam di Hongaria. Cendekiawan Hongaria Abdul Karim Germanius
Memperkenalkannya
Gulager Manius, yang lahir pada tanggal 6 November 1884, dan setelah masuk Islam, memberi dirinya nama Muslim, Abdul Karim Germanius.
Abdul Karim Germanius berhasil menyebarkan Islam dan risalah Nabi Muhammad di bidangnya, sebagai profesor di Universitas Laurent Anouveaux. Banyak orang di dalam dan luar universitas yang mengikuti jejaknya, bahkan universitas tersebut mengangkat namanya sebagai ketua jurusan sejarah Arab dan Islam.
Kisah masuk Islamnya
Dr. Abdul Karim Germanius menceritakan latar belakang pertobatannya kepada Islam, dengan mengatakan: “Suatu sore yang hujan, dan saya masih remaja, ketika saya membolak-balik halaman sebuah majalah bergambar tua, yang di dalamnya terdapat peristiwa terkini yang dicampur dengan kisah-kisah fantasi, dengan deskripsi beberapa negara terpencil. Saya menghabiskan beberapa waktu membolak-balik halaman dengan acuh tak acuh hingga mata saya tiba-tiba tertuju pada sebuah gambar panel kayu berukir yang menarik perhatian saya. Gambar itu berupa rumah-rumah beratap datar, diselingi kubah-kubah bundar yang menjulang lembut ke langit gelap, yang kegelapannya dipecah oleh bulan sabit.
Gambar itu memikat imajinasi saya, dan saya merasakan kerinduan yang luar biasa dan tak tertahankan untuk mengetahui cahaya yang mengalahkan kegelapan dalam lukisan itu. Saya mulai mempelajari bahasa Turki, lalu bahasa Persia, dan kemudian bahasa Arab, mencoba menguasai ketiga bahasa ini agar saya dapat memasuki dunia spiritual yang menyebarkan cahaya gemilang ini ke seluruh umat manusia.
Saat liburan musim panas, saya cukup beruntung bisa bepergian ke Bosnia—negara timur terdekat dengan negaranya. Begitu saya check in di hotel, saya bergegas keluar untuk melihat umat Muslim beraksi. Kesan yang saya dapatkan sangat berbeda dengan apa yang sering dikatakan tentang mereka. Inilah pertemuan pertama saya dengan umat Muslim. Bertahun-tahun berlalu dalam hidup yang penuh dengan perjalanan dan studi, dan seiring berjalannya waktu, mata saya terbuka pada cakrawala baru yang menakjubkan.
Meskipun telah menjelajahi dunia Tuhan secara ekstensif, menikmati mahakarya peninggalan kuno di Asia Kecil dan Suriah, mempelajari berbagai bahasa, dan membaca ribuan halaman buku para cendekiawan, ia membaca semua ini dengan mata yang jeli. Ia berkata, "Meskipun semua ini, jiwaku tetap haus."
Saat berada di India, suatu malam, ia melihat—seperti mimpi—Muhammad, Utusan Allah SWT, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, menyapanya dengan suara penuh kasih: "Mengapa ada kebingungan? Jalan lurus di depan aman dan mulus seperti permukaan bumi. Berjalanlah dengan langkah yang mantap dan kekuatan iman." Jumat berikutnya, sebuah peristiwa penting terjadi di Masjid Jumat di Delhi, ketika ia secara terbuka menyatakan keislamannya.
Haji Abdul Karim Germanos mengenang momen-momen emosional itu, dengan mengatakan: “Tempat itu dipenuhi dengan emosi dan kegembiraan, dan saya tidak dapat mengingat apa yang terjadi saat itu. Orang-orang berdiri di hadapan saya, memeluk saya. Betapa banyak orang miskin dan kelelahan menatap saya dengan penuh permohonan, meminta doa dan ingin mencium kepala saya. Saya berdoa kepada Tuhan agar tidak membiarkan jiwa-jiwa tak berdosa ini memandang saya seolah-olah saya berstatus lebih tinggi dari mereka, karena saya hanyalah seekor serangga di antara serangga-serangga bumi, atau orang yang tersesat mencari cahaya, tak berdaya dan tak berdaya, seperti makhluk-makhluk malang lainnya. Saya malu di hadapan rintihan dan harapan orang-orang baik ini. Keesokan harinya dan lusa, orang-orang berbondong-bondong mendatangi saya untuk memberi selamat, dan saya menerima dari cinta dan kasih sayang mereka yang cukup untuk membekali saya dengan bekal untuk sisa hidup saya.
Semangatnya untuk belajar bahasa
Abdul Karim Germanus mempelajari bahasa-bahasa Barat: Yunani, Latin, Inggris, Prancis, Italia, dan Hongaria, serta bahasa-bahasa Timur: Persia dan Urdu. Ia juga menguasai bahasa Arab dan Turki di bawah bimbingan guru-gurunya: Vambery dan Goldziher, yang mewarisi kecintaannya pada Timur Islam. Ia kemudian melanjutkan studinya setelah tahun 1905 di universitas-universitas Istanbul dan Wina. Ia menulis sebuah buku dalam bahasa Jerman tentang sastra Utsmaniyah pada tahun 1906, dan satu lagi tentang sejarah kelas-kelas Turki pada abad ke-17, yang membuatnya memenangkan hadiah yang memungkinkannya menghabiskan waktu yang lama di London, tempat ia menyelesaikan studinya di British Museum.
Pada tahun 1912, ia kembali ke Budapest, di mana ia diangkat sebagai profesor bahasa Arab, Turki, dan Persia, dan sejarah dan budaya Islam di Sekolah Menengah Oriental, kemudian di Departemen Oriental Universitas Ekonomi, dan kemudian profesor dan kepala Departemen Bahasa Arab di Universitas Budapest pada tahun 1948. Ia terus mengajar bahasa Arab, sejarah peradaban Islam, dan sastra Arab kuno dan modern, mencoba menemukan hubungan antara renaisans sosial dan psikologis negara-negara Islam, hingga ia pensiun pada tahun 1965.
Penyair India Rabindranath Tagore mengundangnya ke India untuk bekerja sebagai profesor sejarah Islam, sehingga ia mengajar di universitas-universitas Delhi, Lahore, dan Hyderabad (1929-1932 M). Di sana, ia mengumumkan masuk Islam di Masjid Agung Delhi, menyampaikan khotbah Jumat, dan mengambil nama (Abdul Karim). Ia pergi ke Kairo dan mempelajari Islam dengan para syekh Al-Azhar, kemudian pergi ke Mekah sebagai peziarah, mengunjungi Masjid Nabawi, dan selama ziarahnya, ia menulis bukunya: God is Great, yang diterbitkan dalam beberapa bahasa pada tahun 1940 M. Ia juga melakukan penyelidikan ilmiah (1939-1941 M) di Kairo dan Arab Saudi, dan menerbitkan hasil temuannya dalam dua volume: The Milestones of Arabic Literature (1952 M), dan Studies in Arabic Linguistic Structures (1954 M).
Pada musim semi tahun 1955, ia kembali untuk menghabiskan beberapa bulan di Kairo, Alexandria, dan Damaskus atas undangan pemerintah untuk memberi kuliah dalam bahasa Arab tentang pemikiran Arab kontemporer.
Kontribusinya
Dr. Abdul Karim Germanos meninggalkan warisan ilmiah yang kaya dan beragam. Di antara karya-karyanya adalah: Aturan Bahasa Turki (1925), Revolusi Turki dan Nasionalisme Arab (1928), Sastra Turki Modern (1931), Tren Modern dalam Islam (1932), Penemuan dan Invasi Semenanjung Arab, Suriah, dan Irak (1940), Renaisans Kebudayaan Arab (1944), Studi Struktur Linguistik Arab (1954), Ibnu al-Rumi (1956), Di Antara Para Pemikir (1958), Menuju Cahaya Timur, Penyair Arab Pilihan (1961), dan Budaya Islam dan Sastra Maghreb (1964). Ia juga menulis tiga buku tentang: Sastra Migrasi, Pelancong Arab dan Ibnu Batutah, serta Sejarah Sastra Arab.
Profesor Hongaria ini, yang penelitiannya diakui secara luas di seluruh dunia Arab, berkontribusi pada penyebaran dakwah Islam dan pendirian perpustakaan Islam yang ternama, bekerja sama dengan Syekh Abu Yusuf al-Masri. Pemerintah Hongaria menaruh perhatian pada perpustakaan ini dan terus mensponsorinya hingga saat ini, melestarikan warisan dan sejarah Islam serta mendorong umat Islam untuk datang ke sana.
Beliau berkesempatan untuk melakukan perjalanan ke padang pasir pada tahun 1939 setelah petualangan seru dalam perjalanannya melintasi laut menuju Mesir. Beliau mengunjungi Lebanon dan Suriah, lalu menunaikan ibadah haji keduanya. Dalam pengantar buku Allahu Akbar! edisi 1973, ia menulis: “Saya mengunjungi Jazirah Arab, Mekah, dan Madinah tiga kali, dan saya menuliskan pengalaman perjalanan pertama saya dalam buku Allahu Akbar! Pada tahun 1939-1940, setelah pecahnya Perang Dunia II, saya berlayar menyeberangi Sungai Donau untuk mencapai laut sebagai pelaut, tanpa mempedulikan bahaya dan kelelahan. Saya tiba di Mesir dan dari sana berlayar ke Jazirah Arab. Saya menghabiskan beberapa bulan di Madinah, di mana saya mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan Nabi (saw): reruntuhan Masjid Dua Kiblat, Pemakaman Baqi, dan lokasi Perang Badar dan Uhud. Saya pernah menjadi tamu di Masjid Mesir yang didirikan oleh Muhammad Ali di Madinah. Pada malam hari, para cendekiawan Muslim mengunjungi saya untuk membahas keadaan Islam di dunia. Sebagaimana saya jelaskan dalam buku ini, semangat Islam terpancar dari mereka kepada saya dengan kekuatan dan kedalaman yang sama, tanpa kemerosotan, terlepas dari semua perubahan duniawi yang disaksikan dunia, persis seperti yang saya alami di masa muda saya, yang saya habiskan di Timur Muslim.” Impiannya untuk pergi dari Hijaz ke Riyadh bersama kafilah-kafilahnya terwujud dalam perjalanan tahun 1939. Ia tiba di sana setelah empat minggu yang sulit, yang detailnya ia abadikan dalam bukunya yang terkenal (Di Bawah Cahaya Remang Bulan Sabit) tahun 1957.
Dalam buku berikutnya, Towards the Lights of the East (1966), ia memaparkan pengalamannya selama perjalanan antara tahun 1955 dan 1965. Selama periode ini, ia menjadi anggota Akademi Ilmiah Arab di Mesir (1956), Baghdad (1962), dan Damaskus (1966). Ia mengunjungi Baghdad pada tahun 1962 atas undangan Perdana Menteri Abdul Karim Qasim untuk berpartisipasi dalam perayaan 1200 tahun berdirinya Baghdad. Ia kemudian menjadi anggota Akademi Ilmiah Irak dan mempresentasikan makalah penelitian berjudul: Sejarah Islam di Hongaria pada upacara peresmian. Pada tahun 1964, pemerintah Mesir mengundangnya untuk berpartisipasi dalam perayaan milenium berdirinya Al-Azhar. Pada tahun 1965, Raja Faisal bin Saud mengundangnya untuk menghadiri Konferensi Islam di Mekkah, dan ia melaksanakan ritual haji untuk ketiga kalinya di sana, pada usia delapan puluh satu tahun.
Germanus adalah seorang penulis yang produktif, mencakup beragam topik. Ia menulis tentang sejarah dan sastra Turki Utsmani, meneliti perkembangan kontemporer di Republik Turki, Islam dan gerakan intelektual Islam kontemporer, serta sastra Arab. Buku pentingnya, *A History of Arabic Literature*, diterbitkan pada tahun 1962, dan sebelumnya, *Arab Poets from Pre-Islamic Times to the Present Day*, diterbitkan pada tahun 1961. Ia juga menulis tentang para pelancong dan ahli geografi Arab dalam *Arab Geographers*, London 1954, dan ia menulis banyak studi tentang India. Ia menulis buku dan penelitiannya dalam beberapa bahasa selain bahasa Hongaria, seperti Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman. Mungkin gayanya yang mudah dan memikat menjadi alasan di balik tersebarnya buku-bukunya. Dengan demikian, Germanus memainkan peran perintis dalam memperkenalkan budaya dan sastra Arab, Islam, dan peradaban Timur secara umum, dan generasi-generasi berikutnya di Hongaria menjadi akrab dan mencintai karya-karyanya.
Kematiannya
Abdul Karim Germanus wafat pada 7 November 1979, dalam usia sembilan puluh enam tahun, dan dimakamkan menurut tata cara Islam di sebuah pemakaman di Budapest. Museum Geografi Hongaria di Ered menyimpan seluruh arsip penjelajah Muslim dan orientalis Hongaria ini.
Di antara rekan-rekan Prancisnya yang mempelajari Mesir, arkeolog Emile Presse Daphné adalah salah satu kontributor paling berpengaruh bagi pengetahuan Mesir. Ia adalah sosok yang terhormat dan multitalenta yang tidak hanya mengungkap peninggalan Firaun tetapi juga memperluas minatnya dalam mempelajari peradaban Islam. Keberanian penemuannya dan kenekatan petualangannya merupakan bukti wawasannya yang tajam, pengamatannya yang tajam, pengetahuannya yang luas, dan hasratnya yang kuat untuk menemukan kebenaran.
Ia memperkaya ilmu arkeologi dengan karya-karya yang amat penting, yang untuknya ia curahkan usaha yang terus-menerus selama bertahun-tahun, mengorbankan harta warisan yang amat besar, di samping jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya, hingga ia mampu menghasilkan empat belas buku di samping artikel dan kajian, yang terpenting di antaranya adalah bukunya (Egyptian Antiquities and the History of Egyptian Art from the Dawn of History until Roman Dominance), dan ensiklopedianya yang tebal (Arab Art from the Reality of Egyptian Antiquities from the Seventh Century to the End of the Eighteenth Century).
Eksploitasi dan pencapaian Émile Dafen merupakan karya yang layak diapresiasi dan diakui, dan namanya harus bersinar bersama nama-nama Champollion, Mariette, dan Maspero dalam ingatan para penggemar sejarah seni.
Pada tahun 1829, Brice Davin bekerja sebagai insinyur sipil untuk melayani Ibrahim Pasha, kemudian menjadi profesor topografi di Sekolah Staf di Khanqah, dan sebagai tutor bagi putra-putra Pasha. Namun, karena kesombongannya yang ekstrem, sikap mementingkan diri sendiri, dan kecamannya terhadap perilaku tercela, ia sering kali menjadi gelisah dan gegabah terhadap atasannya, bahkan sampai menyerang mereka. Hal ini memicu kemarahan mereka, dan insiden tersebut akhirnya memicu kemarahan gubernur terhadapnya.
Insinyur itu segera menjadi orientalis dan ahli Mesir Kuno, dan mengabdikan dirinya untuk mempelajari bahasa Arab, dialeknya, bacaannya, dan menguraikan hieroglif. Begitu menyadari kemampuannya untuk mandiri, ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1837 M, lebih memilih kebebasannya sebagai seorang pengembara, penjelajah, dan arkeolog.
Kisah masuknya Emile Brice Davin ke Islam
Emile Brisse d'Aven mempelajari Islam dengan saksama, dimulai dengan mempelajari Al-Qur'an, kehidupan Nabi Muhammad, dan risalahnya. Ia menjelaskan bagaimana bangsa Arab hanyalah suku-suku yang suka berperang dan berkonflik, tetapi Nabi Muhammad mampu mengubah mereka menjadi bangsa yang bersatu dan kohesif yang mengalahkan dua kekaisaran terbesar di dunia: Kekaisaran Persia dan Kekaisaran Bizantium, dan membawa mereka di bawah kekuasaan Muslim.
Dia mengatakan tentang alasan masuk Islamnya:
Ia mencatat bahwa hukum Islam bercirikan keadilan, kebenaran, toleransi, dan pengampunan, dan menyerukan persaudaraan manusia yang utuh, menyerukan semua kebajikan, dan melarang semua kejahatan, dan bahwa peradaban Islam adalah peradaban manusiawi yang mendominasi dunia kuno selama berabad-abad.
Emile Davin mempelajari semua ini dan mendapati hati dan pikirannya tergerak untuk memeluk Islam. Maka, ia pun masuk Islam dan mengambil nama Idris Davin. Ia mengenakan pakaian petani dan berangkat untuk menjalankan misinya di Mesir Hulu dan Delta.
Kontribusi Emile Brisse d'Aven
Bangsa Arab berutang lebih banyak kepada Bryce Davin di bidang arkeologi Islam ketimbang kepadanya di bidang arkeologi Firaun.
Cendekiawan peradaban dan arkeologi, Idriss Dafen, berhasil membangkitkan kembali peradaban Firaun dan Islam dari tidurnya, serta mengembalikan kepada kita seni Arab humanis yang dinamis dan mudah diakses. Inilah utang Islam kepada orientalis Muslim Prancis ini.
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Dia adalah salah satu ekonom paling terkenal di dunia, tetapi setelah mempelajari Islam, dia masuk Islam dan mengubah namanya dari Christopher Hamont menjadi Ahmed.
Namun, apa yang mendorong ekonom ternama ini untuk masuk Islam? Inilah yang akan kita pelajari melalui kisah pertobatannya.
Kisah masuknya Christopher Chamont ke Islam
Kisah Christopher Chamont tentang masuk Islam berawal ketika ia mulai meragukan kisah Trinitas, yang hanya dapat ia temukan penjelasannya yang meyakinkan dalam Al-Qur'an. Ia menemukan apa yang ia cari dalam Islam, dan memahami hakikat serta keagungannya. Ia menemukan apa yang ia cari tentang Trinitas ketika ia membaca dalam Al-Qur'an bahwa Yesus - saw - adalah seorang utusan Tuhan, bahwa ia adalah manusia, dan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan ditaati.
Christopher Chamont kemudian mulai mempelajari lebih lanjut tentang Islam dengan membaca Al-Qur'an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan juga membaca beberapa buku terjemahan tentang Islam. Ia bekerja di Kerajaan Arab Saudi, yang memberinya kesempatan untuk bergaul dengan Muslim dari berbagai negara. Ia berkata tentang hal ini:
Interaksi saya dengan umat Muslim dari berbagai negara dan diskusi yang saya lakukan dengan mereka memberikan dampak yang signifikan terhadap pemahaman saya tentang Islam, karena saya merasa terdorong untuk mempelajari filosofi agama Islam.
Beginilah Christopher Chamont mengenal Islam, bagaimana ia menemukan kebenaran yang dicarinya, dan bagaimana ia berpegang teguh padanya meskipun ia terkenal sebagai salah satu ekonom paling terkenal di dunia.
Kontribusi Christopher Chamont
Christopher Chamont mengajak umat Islam untuk berpegang teguh pada ajaran agama mereka karena ajaran tersebutlah yang menjadi kunci kesuksesan mereka. Beliau berkata dalam hal ini:
Ajaran Islam sungguh agung. Jika umat Islam mengamalkannya, mereka akan mencapai tingkat kemajuan, kekuasaan, dan peradaban tertinggi. Namun, umat Islam cenderung introvert, yang justru membuat umat lain merasa lebih unggul daripada mereka, meskipun umat Islam awal adalah yang pertama kali menapaki jalan peradaban dan kemajuan ilmiah, sosial, dan ekonomi.
Dengan demikian Christopher Chamont menjelaskan dengan jelas bahwa ajaran Islam adalah jalan menuju kemajuan dan perkembangan, bahwa kegagalan dalam menaatinya adalah penyebab keterbelakangan umat Islam, dan bahwa kembalinya umat Islam kepada ibadah mereka adalah jalan menuju kemajuan dan kesuksesan mereka.
Ahmed Chamont juga berbicara tentang Islam, dengan mengatakan:
Islam adalah agama yang berbicara kepada akal manusia dan meletakkan fondasi untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini fakta. Saya menemukan apa yang saya cari dalam Islam, dan setiap masalah yang dihadapi seseorang dapat menemukan solusinya dalam Al-Qur'an.
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Tuan Rove, orientalis, cendekiawan agama, dan sosiolog Inggris, lahir pada tahun 1916 di Inggris dari orang tua Kristen dan Yahudi. Ia memulai hidupnya dengan mempelajari agama Kristen dan Yahudi orang tuanya, kemudian mempelajari agama Hindu dan filsafatnya, terutama ajaran modernnya, dan agama Buddha, membandingkannya dengan beberapa doktrin Yunani kuno. Ia kemudian mempelajari beberapa teori dan doktrin sosial modern, terutama gagasan-gagasan cendekiawan dan filsuf Rusia terbesar, Leo Tolstoy.
Kisah masuknya seorang orientalis Hussein Rouf ke dalam Islam
Ketertarikan dan studi Tuan Roof terhadap Islam datang terlambat dibandingkan dengan agama dan kepercayaan lain, meskipun ia tinggal di beberapa negara Arab. Perkenalan pertamanya dengan Islam adalah melalui pembacaan terjemahan Al-Qur'an karya Rodwell, tetapi ia tidak terkesan karena terjemahan tersebut tidak jujur dan akurat, seperti halnya banyak terjemahan serupa, yang dinodai oleh ketidaktahuan atau niat jahat, dan yang diterbitkan dalam beberapa bahasa asing.
Beruntung baginya, ia bertemu dengan seorang pendakwah Islam yang berbudaya dan tulus, yang antusias terhadap Islam dan tulus dalam menyampaikannya kepada masyarakat. Ia memperkenalkannya kepada beberapa kebenaran Islam dan mengarahkannya kepada terjemahan makna Al-Qur'an, yang diterjemahkan oleh seorang ulama Muslim. Ia menambahkan interpretasi yang jelas dan meyakinkan berdasarkan logika dan akal, selain menjelaskan makna sebenarnya yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa Inggris. Ia juga mengarahkannya kepada beberapa kitab Islam lainnya yang bercirikan kebenaran dan bukti yang jelas. Semua ini memungkinkannya untuk membentuk gagasan dasar tentang kebenaran Islam, yang membangkitkan keinginannya untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan tentangnya, prinsip-prinsipnya, dan tujuannya melalui sumber-sumber ilmiah yang tidak bias.
Hubungannya dengan beberapa kelompok Islam dan kajiannya yang mendalam tentang kondisi mereka menegaskan betapa besar pengaruh Islam terhadap perilaku dan hubungan mereka. Hal ini menegaskan gagasan awalnya tentang keagungan Islam, dan ia pun meyakininya dengan sepenuh hati.
Mengapa orientalis Inggris ini masuk Islam?
Dia menggambarkan pengalamannya memeluk Islam dengan mengatakan:
Suatu hari di tahun 1945, saya diundang oleh beberapa teman untuk menyaksikan salat Idul Fitri dan makan setelah salat. Itu adalah kesempatan yang baik untuk melihat dari dekat kerumunan Muslim internasional itu, tanpa fanatisme nasional atau rasial di antara mereka… Di sana saya bertemu seorang pangeran Turki dan di sampingnya banyak orang miskin. Mereka semua duduk untuk makan. Anda tidak melihat di wajah orang kaya kerendahan hati yang dibuat-buat, kepura-puraan, atau kepura-puraan kesetaraan yang palsu, seperti yang tampak pada orang kulit putih ketika berbicara dengan tetangganya yang berkulit hitam. Anda tidak melihat di antara mereka siapa pun yang menarik diri dari kelompok atau mengasingkan diri ke samping atau sudut yang jauh. Anda tidak melihat di antara mereka perasaan kelas yang konyol yang dapat disembunyikan di balik tirai kebajikan palsu.
“Cukuplah bagi saya untuk mengatakan, setelah berpikir dan mempertimbangkan dengan saksama, bahwa saya mendapati diri saya secara otomatis dibimbing untuk percaya pada agama ini setelah mempelajari semua agama lain yang dikenal di dunia, tanpa menarik perhatian saya, dan tanpa diyakinkan oleh satu pun di antaranya.”
Beliau kemudian memuji akhlak, toleransi, dan kemurahan hati umat Islam, dan menunjukkan kemampuan Islam dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial dan konflik kelas, dengan mengatakan:
“Saya telah berkelana ke berbagai negara di dunia, baik Timur maupun Barat, dan saya berkesempatan menyaksikan bagaimana orang asing diterima di mana-mana, dan mengetahui di mana menghormatinya adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran, dan di mana kebiasaan pertama (untuk menyelidikinya dan minat atau manfaat yang mungkin didapat dari menolongnya), dan saya belum menemukan di antara non-Muslim siapa pun yang sebanding dengan mereka dalam hal menyambut orang asing, bersikap hangat kepadanya, menghormatinya, dan bersikap baik kepadanya tanpa mengharapkan imbalan apa pun, atau tanpa mengharapkan imbalan apa pun… Dari perspektif ekonomi, kita mendapati bahwa kelompok-kelompok Islam adalah satu-satunya yang telah menghilangkan perbedaan antara si kaya dan si miskin dengan cara yang tidak mendorong si miskin untuk menumbangkan struktur masyarakat, dan menimbulkan kekacauan dan kebencian.”
Kontribusi Orientalis Hussein Rouf
Orientalis Muslim Inggris, Hussein Rouf, adalah salah satu peneliti sosial Eropa paling terkemuka yang mempelajari agama dan doktrin sosial dengan cermat dan mendalam. Ia takjub akan keagungan Islam, keagungan tujuan dan prinsip-prinsipnya, kemampuannya yang luar biasa untuk memecahkan masalah dan menghadapi kesulitan yang dialami individu dan masyarakat manusia, serta kemampuan adaptasinya yang luar biasa terhadap berbagai lingkungan dan peradaban, terlepas dari keragaman dan perbedaannya.
Setelah masuk Islam, wajar saja jika beliau berinisiatif mengajak masyarakat kepada agama yang telah memikat hati, pikiran, dan perasaannya ini, agar dapat mencerahkan sesama warga negaranya tentang prinsip-prinsip toleransi dan tujuan-tujuan luhurnya, sekaligus menangkal banjir kebohongan dan meruntuhkan bangunan ilusi dan kepalsuan yang dilekatkan oleh musuh-musuh Islam.
Dan Allah SWT telah berfirman dengan benar, “Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal saleh serta berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim?’” (Fussilat: 33)
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Kisah masuknya cendekiawan Jerman, Hamed Marcus, ke dalam Islam, yang terpesona oleh gaya Al-Qur'an. Bagaimana kisah masuknya Hamed Marcus ke dalam Islam? Dan apa yang beliau katakan tentang Islam setelah masuk Islam? Dr. Hamed Marcus, cendekiawan dan jurnalis Jerman
Sejak kecil, saya selalu merasakan dorongan batin untuk mempelajari Islam kapan pun memungkinkan. Saya selalu menyempatkan diri membaca terjemahan Al-Qur'an di perpustakaan kota tempat saya dibesarkan. Dari edisi inilah Goethe memperoleh informasi tentang Islam.
Saya sangat terkesan dengan gaya intelektual Al-Qur'an yang brilian, yang sekaligus menegakkan ajaran Islam. Saya juga takjub dengan semangat pantang menyerah yang dibangkitkan dan dikobarkan oleh ajaran-ajaran ini di hati para Muslim awal.
Kemudian, di Berlin, saya berkesempatan bekerja sama dengan umat Muslim dan menikmati ceramah-ceramah inspiratif tentang Al-Qur'an yang disampaikan oleh pendiri asosiasi Islam pertama di Berlin dan pendiri Masjid Berlin. Setelah bertahun-tahun berkolaborasi secara langsung dengan tokoh istimewa ini, di mana saya menyaksikan kedalaman jiwa dan ruhnya, saya menjadi seorang yang beriman kepada Islam. Saya melihat prinsip-prinsip luhurnya, yang dianggap sebagai puncak pemikiran manusia, sebagai pelengkap bagi pandangan saya sendiri.
Keimanan kepada Tuhan merupakan prinsip dasar keimanan Islam, tetapi tidak menganjurkan prinsip atau doktrin yang bertentangan dengan sains modern. Oleh karena itu, tidak ada kontradiksi antara keimanan di satu sisi dan sains di sisi lain. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan keuntungan yang unik dan besar di mata seseorang yang telah menyumbangkan seluruh potensinya untuk penelitian ilmiah.
Ciri khas lain dari agama Islam adalah bahwa ia bukan sekadar serangkaian ajaran teoretis yang membosankan yang beroperasi secara membabi buta dan di pinggiran kehidupan. Sebaliknya, ia menuntut sistem praktis yang membentuk kehidupan manusia. Hukum-hukum Islam bukanlah ajaran yang bersifat memaksa dan membatasi kebebasan pribadi, melainkan arahan dan pedoman yang mengarah pada kebebasan individu yang terorganisir.
Seiring berjalannya waktu, saya semakin yakin dengan bukti-bukti yang ada bahwa Islam mengambil jalan terbaik untuk menyelaraskan kepribadian individu dengan kepribadian kelompok, dan menyatukan mereka dalam ikatan yang kuat dan kokoh.
Agama ini adalah agama kebenaran dan toleransi. Ia senantiasa menyerukan kebaikan, mendorongnya, dan mengangkat derajatnya dalam segala situasi dan kesempatan.
Sumber: Buku (Perjalanan Iman bersama Pria dan Wanita yang Masuk Islam) disiapkan oleh: Abdul Rahman Mahmoud.
Di puncak kekaisaran, orang-orang Inggris memutuskan untuk meninggalkan agama Kristen dan memeluk Islam. Berikut kisah tiga pionir yang menentang norma-norma Victoria di masa ketika agama Kristen merupakan landasan identitas Inggris, menurut BBC.
William Henry Quilliam
Abdullah Quilliam
Ketertarikan pengacara William Henry Quilliam pada Islam dimulai setelah ia melihat warga Maroko berdoa di atas feri saat berlayar di Mediterania pada tahun 1887.
"Mereka sama sekali tidak terganggu oleh angin kencang atau goyangan kapal," kata Quilliam. "Saya sangat tersentuh oleh wajah dan ekspresi mereka, yang menunjukkan keyakinan dan ketulusan yang utuh."“.
Setelah mengumpulkan informasi tentang agama tersebut selama tinggal di Tangier, Quilliam, yang saat itu berusia 31 tahun, masuk Islam. Ia menggambarkan keyakinan barunya sebagai "masuk akal dan logis, dan ia secara pribadi merasa hal itu tidak bertentangan dengan keyakinannya."“.
Meskipun Islam tidak mengharuskan para pemeluknya untuk mengganti nama, Quilliam memilih nama “Abdullah” untuk dirinya sendiri.“.
Setelah kembali ke Inggris pada tahun 1887, ia menjadi seorang pengkhotbah agama, dan konon berkat usahanya, sekitar 600 orang di seluruh Inggris masuk Islam..
Pada tahun 1894, Sultan Ottoman menganugerahkan kepada Quilliam gelar Sheikh al-Islam Kepulauan Inggris dengan persetujuan Ratu Victoria.
Quilliam juga mendirikan masjid pertama di negara itu pada tahun yang sama di Liverpool, yang pada saat itu dianggap oleh banyak orang sebagai "kota kedua Kekaisaran Inggris."“.
Ratu Victoria, yang negaranya memiliki lebih banyak Muslim di bawah kekuasaannya daripada Kekaisaran Ottoman, termasuk di antara mereka yang meminta buklet yang ditulis Quilliam berjudul "Agama Islam", yang merangkum agama Islam. Buklet tersebut telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa..
Ia dikabarkan telah meminta enam salinan tambahan untuk keluarganya, tetapi keinginannya untuk memperoleh lebih banyak pengetahuan tidak diterima oleh masyarakat luas, yang meyakini bahwa Islam adalah agama kekerasan..
Pada tahun 1894, Sultan Ottoman, dengan persetujuan Ratu Victoria, menganugerahkan Quilliam gelar “Sheikh Islam di Kepulauan Inggris,” sebuah gelar yang mencerminkan kepemimpinannya dalam komunitas Muslim..
Banyak penduduk Liverpool yang berpindah agama ke Islam menghadapi kebencian dan pelecehan karena keyakinan mereka, termasuk diserang dengan batu bata, kotoran, dan pupuk, meskipun agama tersebut diakui secara resmi..
Quilliam yakin para penyerang telah “dicuci otaknya hingga percaya bahwa kami jahat.”“.
Quilliam dikenal secara lokal atas karyanya dengan kelompok-kelompok yang kurang beruntung, advokasi untuk serikat pekerja dan reformasi hukum perceraian, tetapi karier hukumnya memburuk ketika ia berusaha membantu klien yang ingin bercerai..
Quilliam terlibat dalam pembangunan masjid tertua kedua di Inggris di Woking.
Sebuah jebakan dipasang untuk sang suami, yang diduga melakukan perzinahan, sebuah praktik umum pada saat itu, tetapi usahanya gagal dan Quilliam diskors dari jabatannya..
Dia meninggalkan Liverpool pada tahun 1908 untuk mengurangi dampak skandal tersebut terhadap umat Muslim di kota itu, dan muncul kembali di selatan dengan nama Henry de Leon, meskipun banyak yang mengenalnya, menurut Ron Geaves, yang menulis biografi Quilliam..
Meskipun pengaruhnya memudar, ia terlibat dalam pembangunan masjid tertua kedua di negara itu, yang dibangun di Woking, dan Quilliam dimakamkan di Surrey pada tahun 1932.
Masjid Liverpool masih menyandang namanya..
Nyonya Evelyn
Tangan Evelyn Kobbold
Bukan hal yang aneh jika anggota kelas atas terpesona oleh Islam dan terinspirasi oleh perjalanan ke negeri-negeri Muslim..
Lady Evelyn Murray dilahirkan dalam keluarga bangsawan di Edinburgh, dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya antara Skotlandia dan Afrika Utara..
Ia menulis: "Saya belajar bahasa Arab di sana. Saya senang bisa lepas dari pengasuh dan mengunjungi masjid bersama teman-teman Aljazair. Pada dasarnya, saya seorang Muslim yang tidak disengaja."“.
Evelyn biasa berburu rusa dan memancing ikan salmon di perkebunan keluarganya di Dunmore Park..
Ayahnya, seorang penjelajah, Earl of Dunmore ke-7, gemar bepergian, termasuk ke Tiongkok dan Kanada. Ibunya, yang kemudian menjadi dayang Ratu Victoria, juga seorang penjelajah yang ulung..
Lady Evelyn merupakan wanita Inggris pertama yang menunaikan haji.
Lady Evelyn mewarisi kecintaan orang tuanya terhadap perjalanan dan pengembaraan, dan bertemu suaminya, pengusaha John Cobbold, di Kairo, Mesir..
Tidak diketahui kapan Lady Evelyn masuk Islam. Mungkin benih kepindahannya tertanam selama perjalanan masa kecilnya, tetapi keyakinan Lady Evelyn tampaknya semakin kuat setelah liburan yang dihabiskannya di Roma dan pertemuannya dengan Paus..
Ia kemudian menulis: “Ketika Yang Mulia tiba-tiba menyapa saya dan bertanya apakah saya telah masuk Katolik, saya terkejut sesaat, lalu saya menjawab, ‘Saya seorang Muslim, dan saya tidak tahu apa yang merasuki saya, karena saya sudah bertahun-tahun tidak memikirkan Islam.’ Perjalanan pun dimulai, dan saya memutuskan untuk membaca dan mempelajari agama tersebut.”“.
Sejarawan William Vasey, yang menulis pengantar pada Memoirs Lady Evelyn, mengatakan bahwa aspek spiritual keagamaan menarik banyak orang yang pindah agama..
Gambar Lady Evelyn, suaminya John Cobbold, dan putri mereka.
Ia menambahkan bahwa mereka menganut “keyakinan bahwa semua agama besar memiliki kesatuan transenden... jauh dari detail sektarian yang dangkal yang memecah belah mereka.”“.
Teman-teman Arab Lady Evelyn di Timur Tengah menyebutnya sebagai "Lady Zainab." Ia memiliki akses ke area-area yang dikhususkan untuk perempuan, dan menulis tentang "pengaruh dominan perempuan" dalam budaya Islam..
Pada usia 65 tahun, ia melaksanakan ritual haji dan menjadi wanita Inggris pertama yang melaksanakan seluruh ritual tersebut..
Hal ini membuatnya “sangat tertarik dan kagum,” dan kisahnya kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Ziarah ke Mekkah.”“.
Hanya sedikit yang diketahui tentang hidupnya selain perjalanan singkatnya ke Kenya. Ia meninggal di panti jompo di Inverness pada tahun 1963 di usia 95 tahun, meninggalkan instruksi agar bagpipe dimainkan di pemakamannya dan agar sebuah ayat Al-Qur'an, "Ayat Cahaya", diukir di batu nisannya..
Dia menulis dalam buku hariannya: “Saya selalu bertanya pada diri sendiri kapan dan mengapa saya masuk Islam.”“.
Ia menambahkan: “Jawaban saya adalah saya tidak tahu kapan tepatnya kebenaran Islam diwahyukan kepada saya.”“.
“Sepertinya saya selalu menjadi seorang Muslim,” katanya.“.
Robert Stanley masuk Islam pada usia tujuh puluh tahun.
Robert Stanley
Sejarah Muslim Victoria biasanya didominasi oleh mereka yang berasal dari kelas atas masyarakat, yang kisahnya lebih terpelihara..
Namun Christina Longden, yang mengetahui bahwa kakeknya adalah seorang Muslim setelah ayahnya meneliti silsilah keluarga dan menyimpan dokumen tertulis serta buku harian, mengatakan: "Umumnya ada tanda-tanda bahwa hal itu muncul di kalangan kelas menengah."“.
Robert Stanley bangkit dari seorang pedagang bahan makanan kelas pekerja menjadi walikota Konservatif Stalybridge, sebuah kota dekat Manchester, pada tahun 1870-an..
Longden, yang menulis buku tentangnya, mengatakan Stanley juga seorang hakim dan mendirikan dana untuk pekerja yang dipecat karena tidak memberikan suara sesuai dengan pendapat atasan mereka..
Saya juga menemukan bahwa ia secara teratur menulis tentang kolonialisme Inggris di buletin Masjid Quilliam di Liverpool..
Stanley bertemu Quilliam pada akhir tahun 1890-an setelah ia pensiun dari karier politiknya, dan mereka menjadi teman dekat..
“Robert 28 tahun lebih tua dari Quilliam, jadi saya pikir ada sedikit hubungan ayah-anak di antara mereka,” kata Longden.“.
Namun, ia baru masuk Islam pada usia tujuh puluh tahun dan memilih nama “Rashid” untuk dirinya sendiri.“.
Longden yakin, berdasarkan penelitiannya, bahwa "tidak ada Muslim lain" di Staybridge pada saat itu. Stanley kemudian pindah ke Manchester dan meninggal di sana pada tahun 1911.
Perpindahannya ke Islam dirahasiakan sampai keluarga Longden mengetahuinya pada tahun 1998.
Secara kebetulan, saudara laki-laki Longden, Stephen, masuk Islam pada tahun 1991 setelah belajar di Mesir sebagai bagian dari gelar universitasnya, tujuh tahun sebelum kebenaran tentang masuknya Kakek Stanley ke Islam terungkap..
Ketika dia mendengar tentang pertobatan kakeknya, dia menggambarkannya sebagai "kejutan yang luar biasa."“.
"Fakta bahwa ada seorang pria yang memilih menjadi seorang Muslim di saat mustahil bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak konvensional, jika kita merenungkannya, ya, itulah Manchester," ujarnya, seraya menambahkan: "Orang-orang tidak takut untuk berdiri dan menyuarakan apa yang mereka yakini, baik politik maupun agama."“.

Tokoh penting ini memiliki jasa besar—setelah Allah—dalam menyebarkan agama Islam di kalangan warga kulit hitam Amerika, di saat orang kulit hitam di Amerika sangat menderita akibat diskriminasi rasial antara mereka dan orang kulit putih. Mereka mengalami segala macam penghinaan dan degradasi, serta menderita siksaan dan segala macam kebencian dari mereka.
Dalam iklim yang bergejolak ini, yang dipenuhi dengan segala bentuk penindasan dan penghinaan, Malcolm X lahir dari seorang ayah yang merupakan seorang pendeta di sebuah gereja, dan seorang ibu dari Hindia Barat. Ketika ia berusia enam tahun, ayahnya dibunuh oleh orang kulit putih setelah mereka menghancurkan kepalanya dan menempatkannya di jalur bus listrik yang melindasnya hingga ia meninggal. Keadaan keluarga Malcolm X mulai memburuk dengan cepat, baik secara finansial maupun moral. Mereka mulai hidup dengan amal dan bantuan sosial dari orang kulit putih, yang lambat mereka berikan. Dengan kondisi yang keras ini, ibu Malcolm X menderita syok psikologis yang berkembang hingga ia dirawat di rumah sakit jiwa, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya. Malcolm X dan delapan saudara kandungnya merasakan kepahitan kehilangan ayah dan ibu mereka, dan mereka menjadi anak-anak di bawah asuhan negara, yang mendistribusikan mereka ke rumah yang berbeda.
Sementara itu, Malcolm X mendaftar di sekolah terdekat di mana ia menjadi satu-satunya orang Negro. Ia cerdas dan cemerlang, mengungguli semua teman sebayanya. Guru-gurunya takut padanya, yang menyebabkan mereka menghancurkannya secara psikologis dan moral, dan mengejeknya, terutama ketika ia ingin melanjutkan studinya di bidang hukum. Ini adalah titik balik dalam hidupnya. Ia kemudian meninggalkan sekolah dan berpindah-pindah di antara berbagai pekerjaan yang memalukan yang cocok untuk orang Negro, dari pelayan di restoran, menjadi pekerja kereta api, menjadi tukang semir sepatu di klub malam, hingga ia menjadi penari terkenal yang ditunjuk-tunjuk. Kemudian ia tergoda oleh kehidupan yang sembrono dan kehilangan, sehingga ia mulai minum alkohol dan merokok. Ia menjadikan judi sebagai sumber utama uangnya, hingga ia mencapai titik menggunakan narkoba dan bahkan mengedarkannya, dan kemudian mencuri rumah dan mobil. Semua ini terjadi ketika ia belum berusia dua puluh satu tahun, hingga ia dan teman-temannya jatuh ke tangan polisi. Mereka menjatuhkan hukuman yang berlebihan terhadapnya yaitu sepuluh tahun penjara, sementara hukuman penjara untuk orang kulit putih tidak melebihi lima tahun.
Di dalam penjara, Malcolm X berhenti merokok dan makan daging babi, serta mengabdikan dirinya untuk membaca dan belajar hingga ia melahap ribuan buku tentang berbagai jenis ilmu pengetahuan, sehingga membangun budaya tingkat tinggi yang memungkinkannya melengkapi kekurangan dalam kepribadiannya.
Selama masa itu, semua saudara Malcolm X masuk Islam di tangan seorang pria bernama (Bapak Muhammad Elijah), yang mengaku sebagai nabi dari Tuhan yang diutus hanya untuk orang kulit hitam! Mereka berusaha meyakinkan Malcolm X untuk masuk Islam dengan segala cara dan metode hingga ia akhirnya masuk Islam. Moralnya membaik, kepribadiannya menjadi lebih menonjol, dan ia mulai berpartisipasi dalam khotbah dan debat di dalam penjara untuk menyerukan Islam. Hingga akhirnya ia diampuni dan dibebaskan agar ia tidak terus menyerukan Islam di dalam penjara.
Malcolm X adalah anggota Nation of Islam, yang memiliki konsep-konsep palsu dan fondasi rasis yang bertentangan dengan Islam, meskipun mereka mengadopsinya sebagai slogan gemilang, yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Nation of Islam bias terhadap ras kulit hitam dan menjadikan Islam eksklusif untuk mereka saja, dengan mengesampingkan ras lain, sementara mereka dianugerahi akhlak mulia dan nilai-nilai luhur Islam... artinya, mereka mengambil rupa Islam dan meninggalkan hakikat dan esensinya.
Malcolm X terus bergabung dengan Nation of Islam, mengajak para anggotanya untuk bergabung dengan pidato-pidatonya yang fasih dan kepribadiannya yang kuat. Ia adalah kekuatan yang tak pernah habis, lengan yang tak kenal lelah dengan kekuatan, energi, dan semangat, hingga ia berhasil menarik banyak orang untuk bergabung dengan gerakan ini.
Malcolm X ingin menunaikan ibadah haji, dan ketika ia berkelana, ia melihat Islam sejati dari dekat, mempelajari kebenarannya, dan menyadari kekeliruan doktrin rasis yang ia anut dan serukan. Maka ia pun memeluk agama Islam sejati, dan menyebut dirinya (Haji Malik El Shabazz).
Sekembalinya, ia mendedikasikan dirinya untuk menyerukan Islam sejati dan mencoba mengoreksi konsep-konsep Nation of Islam yang sesat dan menyesatkan. Namun, ia justru menghadapi permusuhan dan kebencian dari mereka. Mereka mulai melecehkan dan mengancamnya, tetapi ia tidak menghiraukannya dan terus melangkah dengan langkah yang jelas dan tegas, menyerukan Islam sejati yang menghapus segala bentuk rasisme.
Dalam salah satu khotbahnya yang fasih, yang biasa ia sampaikan untuk mengajak orang-orang kepada Tuhan, para tiran menolak melakukan apa pun selain membungkam suara kebenaran. Tangan mereka membunuhnya saat ia berdiri di mimbar, berpidato di hadapan rakyat, ketika enam belas peluru berbahaya ditembakkan ke arah tubuhnya yang tinggi dan kurus. Dan itulah akhirnya. Dan sungguh akhir yang baik. Kita memohon kepada Allah untuk menerimanya di antara para syuhada pada Hari Kiamat.
.
Muhammad Ali Clay, yang dikenal sebagai "Cassius Marcellus Clay Jr.", lahir pada 17 Januari 1942. Ia adalah warga negara Amerika, mantan petinju profesional, dan dianggap sebagai ikon budaya serta sosok yang dicintai semua orang, terlepas dari kritik yang ditujukan kepadanya.
Perpindahannya ke Islam
Bahasa Indonesia: Dia mengubah namanya, yang dia dikenal dengan, "Cassius," menjadi "Muhammad Ali," tanpa gelar "Clay," yang berarti tanah liat dalam bahasa Inggris, setelah dia masuk Islam pada tahun 1964. Dia tidak peduli dengan hilangnya popularitasnya, yang telah meningkat dan cinta orang-orang kepadanya telah menyapu cakrawala. Islam adalah alasan penting untuk kesuksesannya. Pada tahun 1966, dia mengejutkan dunia lagi ketika Muhammad Ali mengumumkan penolakannya untuk bergabung dengan tentara Amerika dalam Perang Vietnam. Dia berkata: "Islam melarang perang yang bukan demi Tuhan dan Rasul-Nya dan demi mengibarkan panji Islam." Dia menyatakan, "Saya tidak akan melawan mereka... karena mereka tidak memanggil saya seorang Negro...???" Dia tidak peduli dengan hilangnya popularitasnya di antara orang Amerika karena pernyataan ini. Dia ditangkap dan dihukum karena penghindaran wajib militer. Dia dicabut gelar tinjunya dan lisensinya ditangguhkan. Dia tidak bertarung selama empat tahun penuh setelah dia mengajukan banding atas putusan yang menentangnya di Mahkamah Agung AS. Dia akhirnya memenangkan banding ini dan kembali ke ring tinju lagi.
tinju
Ia kemudian meraih gelar juara dunia kelas berat sebanyak 3 kali, dan Ali berpartisipasi dalam beberapa pertandingan bersejarah. Tiga pertandingan yang paling berkesan mungkin adalah yang pertama melawan petinju terkuat, "Joe Frazier", dan yang kedua melawan "George Foreman", di mana ia merebut kembali gelar yang telah dilucutinya selama tujuh tahun. "Ali" dikenal karena gaya bertarungnya yang tidak konvensional, kemampuan menghindar bak kupu-kupu, serangan bak lebah, keterampilan, dan keberaniannya menahan pukulan, hingga ia menjadi petinju paling terkenal di dunia. Ia adalah pemilik pukulan tercepat di dunia, mencapai kecepatan 900 km per jam. Ia juga dikenal karena pidatonya sebelum pertandingan, karena ia sangat bergantung pada pernyataan media.
Penyakitnya
Muhammad Ali didiagnosis menderita penyakit Parkinson, namun ia tetap menjadi ikon olahraga yang dicintai hingga kini. Selama sakitnya, ia sangat sabar, karena ia selalu berkata bahwa Tuhan mengujinya untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah yang terhebat, melainkan Tuhanlah yang terhebat.
Hormatilah dia
Di Hollywood ada jalan yang sangat terkenal yang disebut “The Walk of Fame” karena mereka menggambar bintang di jalan dengan nama semua bintang terkenal mereka.
Ketika mereka menawari petinju Muslim Muhammad Ali Clay sebuah bintang dengan namanya di jalan, ia menolak. Ketika mereka bertanya mengapa ia menolak namanya diabadikan dengan sebuah bintang di jalan?
Ia mengatakan kepada mereka bahwa nama saya diambil dari nama nabi yang saya percayai, “Muhammad, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian,” dan bahwa saya sama sekali tidak ingin nama “Muhammad” digambar di tanah.
Namun, untuk menghormati popularitasnya yang tinggi dan kesuksesan luar biasa yang diraihnya sepanjang karier atletiknya, Hollywood memutuskan untuk menggambar bintang dengan nama “Muhammad Ali” di dinding jalan, bukan di tanah seperti orang-orang terkenal lainnya.
Hingga hari ini, tidak ada selebritas lain yang namanya terpampang di dinding selain Muhammad Ali. Nama-nama selebritas lainnya terpampang di lantai.
Karya amal beliau
Pada tahun 2005, Muhammad Ali mendirikan Muhammad Ali Center di kota kelahirannya, Louisville, tempat ia saat ini memajang berbagai memorabilia. Pusat ini beroperasi sebagai organisasi nirlaba yang mempromosikan perdamaian, kesejahteraan sosial, membantu mereka yang membutuhkan, dan nilai-nilai luhur yang diyakini Muhammad Ali Clay.
Abdullah al-Majorqui, atau Abdullah al-Majorqui, dikenal sebagai Abdullah al-Tarjuman, adalah seorang Kristen Spanyol di Majorca, dan seorang pendeta terkemuka. Ia juga merupakan salah satu cendekiawan Kristen terbesar pada abad ke-8 Hijriah. Namanya sebelum masuk Islam adalah Anselm Tormeda. Ketika Tuhan membuka hatinya dan membimbingnya kepada Islam, ia menyebut dirinya Abdullah, dan gelar Tarjuman ditambahkan kepadanya karena ia bekerja sebagai penerjemah untuk Sultan Tunis setelah masuk Islam. Ia menulis buku "Tuhfat al-Areeb fi al-Radd ala Ahl al-Salib" dalam bahasa Arab pada tahun 823 Hijriah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan diterbitkan dalam majalah History of Religions di Paris pada tahun 1885 Masehi.
Kisah Masuknya Abdullah Al-Tarjuman ke Islam
Abdullah Al-Tarjuman meriwayatkan kisah pertobatannya dalam bukunya, Tuhfat Al-Areeb: Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa aku berasal dari kota Majorca. Ayahku dianggap sebagai salah satu penduduknya, dan ia tidak memiliki anak lain selain aku. Ketika aku berusia enam tahun, ia menyerahkanku kepada seorang guru pendeta. Aku membacakan Alkitab kepadanya hingga aku menghafal lebih dari setengahnya dalam dua tahun. Kemudian aku mulai mempelajari bahasa Alkitab dan ilmu logika dalam enam tahun. Kemudian aku melakukan perjalanan dari kota Majorca ke kota Lleida di Catalonia, yang merupakan kota pengetahuan di antara orang-orang Kristen di negara itu. Di kota ini, para pelajar pengetahuan Kristen berkumpul. Aku mempelajari ilmu pengetahuan alam dan bintang-bintang selama enam tahun, dan kemudian aku mulai membaca Alkitab dan mengajarkannya selama empat tahun.
Kemudian saya pergi ke kota Bologna dan menetap di sana. Kota itu adalah kota ilmu pengetahuan dan di dalamnya terdapat sebuah gereja untuk seorang pendeta tua dan terhormat bernama Nicolae Martel. Kedudukannya dalam ilmu pengetahuan, agama, dan asketisme sangat tinggi. Pertanyaan-pertanyaan tentang agama Kristen dan karunia-karunia datang kepadanya dari raja-raja dan lainnya. Mereka bahkan ingin diberkati olehnya dan agar ia menerima karunia-karunia mereka dan dihormati karenanya. Maka saya membacakan kepada pendeta ini prinsip-prinsip agama Kristen dan hukum-hukumnya, dan saya terus mendekatkan diri kepadanya dengan melayaninya dan menjalankan banyak tugasnya hingga ia menjadikan saya salah satu orang kepercayaan terbaiknya dan memberi saya kunci-kunci kediamannya serta perbendaharaan makanan dan minumannya. Saya tinggal bersamanya dengan membacakan untuknya dan melayaninya selama sepuluh tahun. Kemudian suatu hari ia jatuh sakit dan tidak hadir dalam sesi pembacaannya. Para peserta sesi menunggunya sambil membahas masalah-masalah ilmu pengetahuan hingga percakapan itu membawa mereka kepada firman Allah SWT melalui Nabi-Nya, Isa a.s.: "Setelah aku akan datang seorang nabi yang namanya adalah Parakletos." Mereka berdiskusi tentang siapa nabi ini di antara para nabi, dan masing-masing dari mereka berbicara sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya. Diskusi mereka tentang hal itu berlangsung sengit di antara mereka dan perdebatan mereka semakin sengit, lalu mereka pergi tanpa ingin mengetahui lebih jauh tentang masalah itu.
Maka aku pergi ke kediaman Syekh yang mengajarkan pelajaran tersebut. Beliau berkata kepadaku, "Apa yang kau bicarakan hari ini saat aku pergi?" Maka aku sampaikan kepadanya tentang perselisihan orang-orang tentang nama Parakletos, dan bahwa si fulan telah menjawab si fulan dengan si fulan. Aku sebutkan jawaban mereka kepadanya, dan beliau berkata kepadaku, "Dan apa jawabanmu?" Aku berkata, "Jawaban Hakim fulan dalam penafsirannya terhadap Injil." Beliau berkata kepadaku, "Kau tidak salah, dan kau hampir saja salah. Si fulan telah salah, dan si fulan hampir saja salah. Padahal kenyataannya adalah kebalikan dari semua ini, karena penafsiran nama yang mulia ini hanya diketahui oleh para ulama yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang kokoh, sementara kau hanya memperoleh sedikit ilmu."
Maka aku segera mencium kakinya dan berkata kepadanya, "Tuanku, Tuan tahu bahwa aku datang kepadamu dari negeri yang jauh dan telah mengabdi kepadamu selama sepuluh tahun, selama itu aku telah memperoleh darimu banyak sekali pengetahuan yang tak terhitung banyaknya. Barangkali merupakan suatu kebaikan yang besar darimu bahwa engkau bersedia memberiku pengetahuan tentang nama yang mulia ini." Orang tua itu menangis dan berkata, "Anakku, demi Tuhan, engkau sangat kukasihi karena pengabdianmu kepadaku dan pengabdianmu kepadaku. Ada manfaat besar dalam mengetahui nama yang mulia ini, tetapi aku khawatir jika engkau mengungkapkan hal ini, orang-orang Kristen akan langsung membunuhmu."
Maka aku berkata kepadanya: Wahai guruku, demi Allah SWT dan demi kebenaran Injil dan pembawanya, aku tidak akan berbicara tentang apa pun yang kau percayakan kepadaku kecuali dengan izinmu. Ia berkata kepadaku: Wahai anakku, ketika pertama kali kau datang kepadaku, aku bertanya kepadamu tentang negaramu dan apakah negaramu dekat dengan kaum Muslim dan apakah mereka mengakuimu atau kau mengakui mereka, untuk menguji penentanganmu terhadap Islam. Ketahuilah, anakku, bahwa Parakletos adalah salah satu nama nabi mereka, Muhammad, dan berdasarkan nama itu, kitab keempat yang disebutkan di atas diturunkan melalui lisan Daniel, saw, dan ia memberi tahuku bahwa kitab ini akan diwahyukan kepadanya dan bahwa agamanya adalah agama kebenaran dan akidahnya adalah akidah putih yang disebutkan dalam Injil.
Aku bertanya: Wahai guruku, apa pendapatmu tentang agama orang-orang Kristen ini? Ia berkata kepadaku: Wahai anakku, seandainya orang-orang Kristen menganut agama Isa yang pertama, mereka pasti berada di atas agama Allah, karena agama Isa dan semua nabi adalah agama Allah. Aku bertanya: Wahai guruku, bagaimana kami bisa selamat dari hal ini? Ia berkata: Wahai anakku, dengan memeluk agama Islam. Aku bertanya kepadanya: Apakah orang yang memeluknya akan selamat? Ia berkata kepadaku: Ya, ia akan selamat di dunia dan akhirat.
Aku berkata kepadanya: Wahai guruku, orang bijak hanya memilih sendiri yang terbaik dari apa yang diketahuinya. Jadi, jika engkau mengetahui keutamaan agama Islam, apa yang menghalangimu? Ia berkata kepadaku: Wahai anakku, Allah tidak menyadarkanku akan kebenaran apa yang kukatakan kepadamu tentang keutamaan agama Islam dan kemuliaan agama Islam hingga setelah aku tua dan tulang-tulangku melemah. Kita tidak punya alasan untuk itu; sebaliknya, dalil Allah terhadap kita telah ditetapkan. Seandainya Allah membimbingku kepada hal itu ketika aku seusiamu, aku akan meninggalkan segalanya dan memeluk kebenaran. Cinta dunia ini adalah akar dari setiap dosa. Engkau lihatlah seperti apa aku di antara orang-orang Kristen dalam hal status tinggi, kehormatan, kemuliaan, dan banyaknya kesempatan duniawi. Seandainya sedikit saja kecenderungan terhadap agama Islam muncul dalam diriku, orang-orang biasa akan membunuhku dalam sekejap.
Bahkan jika aku lolos dari mereka dan sampai kepada kaum Muslimin dan katakan kepada mereka bahwa aku datang kepadamu sebagai seorang Muslim, dan mereka berkata kepadaku, “Kamu telah memperoleh manfaat dengan masuk ke dalam agama yang benar, maka janganlah kamu membanggakan kepada kami tentang suatu agama yang telah menyelamatkan dirimu dari azab Allah,” maka aku akan tetap berada di antara mereka sebagai seorang lelaki tua, miskin, berusia sembilan puluh tahun, yang tidak mengerti bahasa mereka dan mereka tidak mengetahui hakku, dan aku akan mati di antara mereka karena kelaparan.
Dan aku, segala puji bagi Allah, mengikuti agama Isa dan apa yang dibawanya, dan Allah mengetahui hal itu tentang diriku. Maka aku berkata kepadanya: Wahai tuanku, apakah engkau mengizinkanku berjalan ke negeri kaum Muslim dan masuk ke dalam agama mereka? Ia berkata kepadaku: Jika engkau orang bijak yang mencari keselamatan, maka bersegeralah untuk melakukannya, dan engkau akan memperoleh dunia ini dan akhirat. Tetapi anakku, ini adalah masalah yang tidak seorang pun hadir bersama kita sekarang, jadi rahasiakanlah ini semampumu, dan jika sesuatu dari hal ini terungkap tentangmu, orang-orang akan segera membunuhmu, dan aku tidak akan dapat menolongmu. Tidak akan bermanfaat bagimu untuk menyampaikannya dariku, karena aku mengingkarinya, dan pernyataanku tentangmu benar, dan pernyataanmu tentangku tidak benar, dan aku tidak bersalah atas darahmu jika engkau mengatakan sesuatu tentang ini.
Aku berkata: Wahai tuanku, aku berlindung kepada Allah dari tersebarnya tipu daya ini, dan aku menjanjikan kepadanya apa yang akan membuatnya senang, kemudian aku menyiapkan bekal perjalanan dan berpamitan dengannya, maka ia pun mendoakan keselamatanku dan memberiku lima puluh dinar emas, lalu aku berlayar melalui laut, kembali ke kota Majorca, dan aku tinggal di sana selama enam bulan, kemudian aku berangkat dari sana ke kota Sisilia, dan aku tinggal di sana selama lima bulan sambil menunggu kapal yang akan berlayar ke negeri kaum Muslim, dan sebuah kapal datang untuk berlayar ke kota Tunis, maka aku berangkat menaiki kapal itu dari Sisilia, dan kami berlayar mendekati matahari terbenam, dan kami tiba di pelabuhan Tunis menjelang tengah hari.
Ketika saya tiba di Diwan Tunis dan para rabi Kristen di sana mendengar tentang saya, mereka membawa seekor kuda dan membawa saya ke negara mereka. Saya tinggal bersama mereka sebagai tamu dalam kondisi hidup yang paling nyaman selama empat bulan. Setelah itu, saya bertanya kepada mereka apakah ada orang di Kesultanan yang bisa menguasai bahasa Kristen. Sultan saat itu adalah tuan kami Abu al-Abbas Ahmad, semoga Allah merahmatinya. Orang-orang Kristen mengatakan kepada saya bahwa ada seorang pria berbudi luhur di Kesultanan, salah satu abdi terbesarnya, bernama Yusuf sang tabib, yang merupakan tabibnya dan salah satu orang kepercayaannya. Saya sangat senang tentang hal itu, dan saya bertanya tentang tempat tinggal tabib ini, dan saya diarahkan kepadanya dan bertemu dengannya. Saya memberi tahu dia tentang kondisi saya dan alasan kedatangan saya, yaitu masuk Islam. Orang itu sangat senang dengan itu, karena kebaikan ini disempurnakan oleh tangannya.
Kemudian beliau menunggang kuda dan membawa saya ke istana Sultan. Beliau masuk dan menceritakan kisah saya serta meminta izin untuk bertemu, dan beliau pun mengizinkan saya. Saya berdiri di hadapan beliau, dan hal pertama yang beliau tanyakan adalah tentang usia saya. Saya menjawab bahwa saya berusia tiga puluh lima tahun. Kemudian beliau bertanya tentang ilmu pengetahuan yang telah saya pelajari, dan saya pun menjawabnya. Beliau berkata: Saya datang dengan membawa keberuntungan dan telah menjadi Muslim dengan berkah Allah SWT. Maka saya berkata kepada penerjemah, yang merupakan tabib yang disebutkan sebelumnya: Katakan kepada tuan kami, Sultan, bahwa tidak seorang pun yang meninggalkan agamanya kecuali keluarganya akan banyak membicarakan dan mengkritiknya. Maka saya mohon dengan kemurahan hati Anda, agar Anda mengutus para pedagang Kristen dan orang-orang baik mereka yang bersama Anda untuk bertanya kepada mereka tentang saya dan mendengarkan apa yang mereka katakan tentang saya, dan kemudian saya akan menjadi Muslim, insya Allah. Maka beliau berkata kepada saya melalui penerjemah: Anda bertanya sebagaimana Abdullah bin Salam bertanya kepada Nabi, semoga Allah SWT memberkahinya dan memberinya kedamaian, dan kemudian beliau pun menjadi Muslim.
Maka ia mengutus orang-orang Kristen terbaik dan beberapa pedagang mereka, lalu membawaku ke sebuah rumah dekat ruang tamunya. Ketika orang-orang Kristen itu masuk menemuinya, ia berkata kepada mereka, "Apa pendapat kalian tentang pendeta baru yang datang dengan kapal ini?" Mereka berkata, "Tuanku, ini adalah seorang ulama besar dalam agama kami, dan kami belum pernah melihat orang yang lebih tinggi derajatnya dalam ilmu pengetahuan dan agama daripada dia." Ia berkata kepada mereka, "Dan apa yang akan kalian katakan tentang dia jika dia menjadi seorang Muslim?" Mereka berkata, "Kami berlindung kepada Allah dari hal itu; dia tidak akan pernah melakukan itu." Ketika ia mendengar apa yang dikatakan orang-orang Kristen, ia memanggilku, dan aku muncul di hadapannya serta memberikan kesaksian tentang kebenaran di hadapan orang-orang Kristen itu. Mereka tersungkur dan berkata, "Tidak ada yang mendorongnya melakukan ini kecuali cinta akan pernikahan, karena pendeta kami tidak menikah." Maka mereka pun pergi, tertekan dan sedih.
Sultan, semoga Allah merahmatinya, memberiku seperempat dinar setiap hari. Ketika aku memutuskan untuk menikah, beliau memberiku seratus dinar emas dan sebuah pakaian bagus yang lengkap. Aku menikahi istriku dan ia melahirkan seorang putra yang kuberi nama Muhammad, sebagai shalawat dari Nabi kita Muhammad, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian.[1]
Makna Islam yang hakiki ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, baik terhadap diri sendiri, terhadap urusan besar maupun kecil.
Berserah diri dengan penuh keyakinan, keyakinan, dan ketaatan yang penuh kecukupan kepada tangan yang membimbing mereka, sekaligus meyakini bahwa tangan itu menginginkan kebaikan, nasihat, dan bimbingan bagi mereka, serta meyakini jalan dan takdir di dunia dan akhirat; sesuai dengan firman Allah SWT: {Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang pertama yang beriman."} [Al-An`am: 162-163].
Inilah isu yang menyita perhatian Fatima Heeren, gadis Jerman yang masuk Islam setelah dibesarkan dengan ajaran Sosialisme Nasional, yang menganggap peran Tuhan lenyap dari setiap aspek penciptaan atau kehidupan sehari-hari manusia.
Slogan-slogan nasionalis
Fatima Heren lahir di Jerman pada tahun 1934 dari seorang ayah yang bertugas di tentara Jerman dan menjunjung tinggi nilai-nilai Sosialis Nasional.
Ketika Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, Fatima masih seorang pelajar berusia sebelas tahun. Impian bangsa Jerman hancur, dan semua cita-cita yang telah mereka korbankan nyawa mereka pun sirna.
Nasionalisme, selama tahun-tahun sebelum dan selama perang, merupakan sarana yang sangat baik untuk memotivasi dan menyemangati warga Jerman agar berupaya sekuat tenaga, dengan satu-satunya perhatian adalah melakukan segalanya demi tanah air.
Nasionalisme ini berdampak pada gagasan tentang keberadaan Tuhan. Bagi masyarakat Jerman, Tuhan adalah kekuatan yang telah menetapkan hukum alam jutaan tahun yang lalu, dan hukum-hukum ini pada gilirannya menciptakan manusia, kemungkinan besar secara kebetulan.
Fatima Hirin berkata tentang kondisi ideologis masyarakatnya saat itu: “Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang kita hadapi dalam kenyataan, dan agama itu disajikan kepada kita sebagai ‘candu masyarakat’, dan sebagai agama kawanan domba yang hanya bergerak karena takut mati.
Kami memahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan bahwa ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan dengan dirinya sendiri selama tidak merugikan orang lain. Kami membayangkan bahwa hati nurani adalah satu-satunya mercusuar yang membimbing kita.
Banyak orang, seperti saya, tidak bahagia dengan kondisi masyarakat modern; tetapi mereka mengaku bahagia, dan ketika mereka terbangun setelah semalaman berdansa dan mabuk-mabukan, mereka merasakan kekosongan di dada mereka, yang tak dapat mereka atasi dengan menghibur diri dengan lebih banyak berdansa, minum, atau merayu di malam-malam berikutnya.
Ketika Perang Dunia II berakhir, Fatima berkata: “Perang tidak hanya menghancurkan negara kita (Jerman), tetapi juga menghancurkan kebesaran bangsa kita, dan semua cita-cita yang telah mengorbankan nyawa pun sirna.
Saya menyadari bahwa hati nurani individu dan cita-cita kemanusiaan yang diakui masyarakat saja tidak cukup untuk menjadi mercusuar panduan hidup saya. Saya tidak merasakan kebahagiaan sejati saat menikmati kenyamanan yang tersedia tanpa bersyukur kepada seseorang atas semua kebaikan yang telah melingkupi saya. Maka saya menyimpan buku catatan untuk mencatat catatan harian saya, dan saya mendapati diri saya pernah mencatat kalimat berikut di dalamnya: "Hari itu sungguh penuh sukacita; terima kasih banyak, Tuhan!"
Awalnya saya merasa malu, tetapi kemudian saya menyadari bahwa tidak cukup bagi saya untuk hanya percaya kepada Tuhan... sampai saya tahu bahwa adalah tugas saya untuk bekerja mencari Dia, dan mencari cara untuk bersyukur kepada-Nya dan menyembah-Nya.”
Ketidakabsahan Kekristenan
Setelah proyek nasional negaranya gagal dalam hal peradaban dan iman, Fatima Hirin beralih ke agama Kristen, berharap menemukan jalan menuju Tuhan. Fatima berkata: "Saya mengikuti kelas dengan seorang pendeta, membaca beberapa buku Kristen, dan menghadiri ibadah gereja, tetapi saya tidak dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Seorang pendeta menasihati saya untuk masuk Kristen dan menghadiri Perjamuan Kudus. Ia berkata: 'Karena ketika kamu mempraktikkan agama Kristen, kamu pasti akan menemukan jalanmu kepada Tuhan.' Saya mengikuti nasihatnya, tetapi saya tidak berhasil mencapai kedamaian batin yang sejati."
Fatima Hiren menjelaskan bahwa alasan di balik kekecewaannya terhadap Kekristenan adalah karena kita, umat Kristen, tidak punya pilihan selain menerima konsesi dalam iman kita agar dapat hidup dalam masyarakat. Gereja selalu siap berkompromi demi mempertahankan otoritasnya dalam masyarakat kita. Sebagai contoh: Gereja mengatakan bahwa hubungan seksual tidak boleh dimulai sebelum pernikahan atas nama Tuhan, tetapi hampir tidak ada pria atau wanita di Barat yang bersedia "membeli kucing dalam karung." Ini adalah pepatah umum yang berarti seseorang memasuki kehidupan pernikahan tanpa terlebih dahulu menguji sejauh mana kecocokan seksual kedua pasangan.
Imam selalu siap mengampuni siapa pun yang mengaku dosa ini dengan melakukan satu atau dua doa!!”
Islam, berbeda dengan yang di atas, menyerukan para pengikutnya, atas nama iman, untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT, tanpa ragu atau bimbang. Kepasrahan ini tidak meninggalkan sisa-sisa pikiran atau perasaan, niat atau tindakan, keinginan atau ketakutan yang tidak selaras yang tidak tunduk kepada Allah atau menerima keputusan dan ketetapan-Nya. Allah SWT berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna dan janganlah kamu mengikuti jejak setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.} [Al-Baqarah: 208]
Fatima Hirin dan Jalan Menuju Islam
Fatima Hirin berharap untuk percaya pada satu prinsip lengkap untuk dipatuhi, jalan lurus yang akan ia jalani sepanjang hidupnya; oleh karena itu, ia tidak dapat mendekati Tuhan bahkan ketika ia sedang berlutut di gereja.
Pada tahun 1957, Fatima Herrin pertama kali bertemu dengan pria yang dua tahun kemudian menjadi suaminya. Pria itu adalah seorang Muslim Jerman dengan gelar doktor filsafat.
Fatima berkata tentangnya: "Dia orang biasa, tidak berbeda dengan pria Jerman lainnya. Namun, ketika dia memberi tahu saya bahwa dia telah masuk Islam tujuh tahun yang lalu, saya sangat terkejut. Hal itu membuat saya ingin tahu mengapa pria terpelajar seperti itu memilih jalan ini."
Suami saya mulai menjelaskan arti Islam kepada saya. Ia berkata: Tuhan bukan hanya Tuhan umat Muslim, melainkan kata "Tuhan" ini identik dengan "keilahian" bagi kita. Umat Muslim percaya pada keesaan mutlak Sang Pencipta, dan mereka tidak menyembah Nabi mereka, Muhammad, saw., seperti yang dilakukan umat Kristen ketika mereka menyembah Yesus Kristus, saw. Kata "Islam" berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beliau menyampaikan kepada saya bahwa semua makhluk dan segala sesuatu, jika dilihat dari sudut pandang Islam, adalah muslim. Artinya, mereka harus tunduk dan berserah diri kepada hukum-hukum Allah. Jika tidak, maka mereka akan terancam punah.
Beliau menambahkan: "Manusia sendiri, terlepas dari apakah tubuhnya masuk Islam dengan sukarela atau tidak, telah diberi kebebasan kehendak dan pilihan oleh Tuhan untuk memutuskan apakah ia ingin menjadi seorang Muslim, baik dalam kehidupan rohani maupun jasmani. Jika ia melakukan itu dan hidup sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh keputusan ini, maka ia akan terhubung dengan Tuhan dan akan menemukan keharmonisan serta kedamaian batin dengan makhluk lain di dunia ini, dan ia juga akan menemukan kebahagiaan di akhirat."
Akan tetapi, jika ia melawan hukum-hukum Allah yang telah dijelaskan dengan jelas dan gamblang di dalam Al-Qur’an, maka ia adalah orang yang merugi di dunia dan akhirat.
Fatima menambahkan tentang apa yang ia temukan tentang Islam: “Saya juga belajar dari suami saya bahwa Islam bukanlah agama baru. Al-Qur'an, pada kenyataannya, adalah satu-satunya kitab suci yang bebas dari penyimpangan atau kenajisan. Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir dalam serangkaian kitab suci yang panjang, yang paling menonjol di antaranya adalah wahyu-wahyu dalam Taurat dan Alkitab.
Dengan demikian, prospek dunia baru terbuka di depan mata saya. Di bawah bimbingan suami saya, saya mulai membaca beberapa buku tentang Islam dalam bahasa Jerman yang tersedia, dan yang saya maksud adalah beberapa buku yang tersedia dari sudut pandang Islam. Yang terpenting di antaranya adalah buku Muhammad Asad (Jalan Menuju Mekkah), yang merupakan sumber inspirasi yang luar biasa bagi saya.
Beberapa bulan setelah pernikahan kami, saya belajar cara berdoa dalam bahasa Arab, cara berpuasa, dan mempelajari Al-Qur'an, semuanya itu sebelum saya masuk Islam pada tahun 1960.
Kebijaksanaan Al-Qur'an memenuhi jiwaku dengan cinta dan kekaguman, tetapi mataku bersukacita dalam doa. Aku merasakan perasaan yang kuat bahwa Tuhan menyertaiku saat aku berdiri dengan rendah hati di hadapan-Nya, membaca Al-Qur'an dan berdoa.
Islam adalah sebuah cara hidup
Fatima Hirin menolak membiarkan agama tetap menjadi sudut terbatas dalam hidupnya seperti sebelumnya, atau mungkin agama tidak pernah memiliki sudut sama sekali.
Fatima memutuskan untuk menjalani Islam sepanjang hidupnya, dan menjadikannya sebagai pendekatan yang lengkap dalam hidupnya, bahkan jika hal itu memaksanya untuk beremigrasi.
Fatima Hirin berkata: “Saya mulai menjalankan salat lima waktu secara teratur, dan saya belajar bahwa salat bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan, melainkan sebuah sistem yang harus dijalankan sepanjang hari.
Saya memutuskan untuk mengenakan jilbab Islami, dan saya belajar menerima situasi di mana suami saya akan duduk bersama saudara-saudara seagamanya, bertukar percakapan yang mencerahkan dengan mereka sementara saya menyiapkan teh untuk mereka dan menyajikannya di pintu, tanpa sepengetahuan orang-orang yang telah saya siapkan. Alih-alih pergi ke pasar, saya terbiasa tinggal di rumah dan membaca buku-buku Islam berbahasa Inggris.
Saya juga mulai berpuasa, dan saya biasa menyiapkan makanan tanpa mencicipinya, meskipun terkadang merasa sangat lapar dan haus.
Saya belajar mencintai Nabi Muhammad, s.a.w., dan para sahabatnya melalui membaca kitab-kitab hadis Nabi yang mulia. Di mata saya, mereka menjadi sosok manusia yang hidup, bukan sekadar contoh sejarah yang luar biasa.
Teladan kasih sayang, keberanian, pengabdian, dan kebenaran yang ditanamkan oleh orang-orang terdahulu ini dalam kehidupan mereka menjadi bintang penuntun bagi saya, dan menjadi jelas bagi saya bagaimana membentuk kehidupan saya sedemikian rupa sehingga menjadikan saya salah satu orang yang baik dan puas dalam kehidupan duniawi ini, yang merupakan jalan yang perilaku kita di dalamnya menentukan jenis pahala yang akan kita terima di akhirat.”
Fatima Hirin, yang berjuang untuk hidup sesuai Islam dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupannya, berkata, "Suami saya dan saya sepakat bahwa gaya hidup Islami kami di negara Barat mengharuskan kami untuk membuat banyak kelonggaran. Islam bukan sekadar agama dalam arti umum, melainkan cara hidup yang utuh yang hanya dapat diterapkan dalam bentuknya yang paling murni dalam masyarakat Muslim. Karena masing-masing dari kami memilih agama ini atas dasar kehendak bebas sepenuhnya, kami tidak menginginkan Islam yang lemah dan suam-suam kuku.
Jadi, setelah penantian yang panjang, kami mendapat kesempatan pada tahun 1962 untuk berimigrasi ke Pakistan setelah kami telah menabung cukup uang untuk menutupi biaya perjalanan tersebut.”
Fatima Hirin dan Pembelaan Islam
Fatima membela Islam dan menunjukkan keagungan serta kemurnian hukum Islam, sekaligus menyingkap kepalsuan dan kesesatan keyakinan lain. Ia berkata: "Jika orang-orang yang memusuhi Islam mengatakan bahwa memiliki beberapa istri adalah biadab, dapatkah mereka menjelaskan kepada saya kebaikan yang terkandung dalam tindakan mereka ketika seorang suami memiliki selir selain istrinya? Ini adalah praktik umum di Barat, lebih lazim daripada poligami di negara-negara Muslim."
Jika mereka mengklaim tidak ada salahnya mengonsumsi alkohol, dapatkah mereka menjelaskan penderitaan yang disebabkan kebiasaan ini di Barat?!
Kalau mereka mengatakan puasa melemahkan tenaga kerja dan kesehatan bangsa, biarlah mereka melihat pencapaian besar orang-orang beriman selama bulan suci Ramadan, dan membaca laporan penting yang baru-baru ini dicatat oleh dokter-dokter Muslim tentang pengalaman alami mereka dengan pasien-pasien yang berpuasa.
Jika mereka mengatakan pemisahan jenis kelamin itu terbelakang, biarlah mereka membandingkan pemuda di negara Muslim mana pun dengan pemuda di negara Barat mana pun. Misalnya, kejahatan moral antara anak laki-laki dan perempuan dianggap pengecualian di kalangan Muslim, sementara di kalangan orang Barat sangat jarang ditemukan pernikahan tunggal antara anak laki-laki dan perempuan yang suci.
Jika mereka yang memusuhi Islam mengklaim bahwa menjalankan salat lima waktu—dalam bahasa yang tidak dipahami banyak umat beragama—adalah buang-buang waktu dan tenaga, biarlah mereka menunjukkan satu sistem di Barat yang menyatukan orang-orang dengan cara yang lebih kuat dan menyehatkan secara spiritual daripada ibadah ritual Muslim. Biarlah mereka membuktikan bahwa orang Barat melakukan lebih banyak hal bermanfaat di waktu luang mereka daripada seorang Muslim yang mengabdikan satu jam setiap hari untuk salat.
Islam telah direformasi selama empat belas abad atau lebih, dan tetap demikian hingga zaman kita, asalkan kita menjalankannya tanpa konsesi yang menyimpang.
Karena agama di sisi Allah adalah Islam, dan Islam adalah yang tertinggi dan tidak ada yang lebih unggul darinya. Banyak orang telah meyakini kebenaran ini di zaman kita, dan mereka akan bekerja sama—insya Allah—untuk menjelaskannya kepada dunia yang sakit, tersiksa, dan sengsara yang memandang mereka.
Beginilah kehidupan Fatima Hirin berubah setelah ia masuk Islam. Ia menjadi yakin bahwa Islam bukan sekadar ritual dan ibadah, melainkan jalan hidup yang utuh dan jalan yang menuntun umat Islam menuju kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat.
Kontribusi Fatima Hirin
Beliau mempunyai beberapa buku tentang Islam, antara lain: (Puasa – Das Fasten) 1982, (Zakat – Zakat) 1978, dan (Muhammad – Muhammad) 1983.
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Louis Gardet dianggap sebagai salah satu filsuf Eropa paling terkemuka yang telah mempelajari pemikiran dan peradaban Islam secara sadar dan mendalam. Sejak usia muda, Gardet sangat antusias untuk memahami prinsip-prinsip agama-agama ilahi. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Katolik yang konservatif, ia dihantui oleh obsesi psikologis: misteri dan rahasia yang ia temukan dalam agamanya sendiri. Hal ini mendorongnya untuk mencari asal-usul agama-agama Timur, termasuk Buddha, Hindu, dan lainnya, dengan harapan dapat mengungkap kebenaran.
Kisah Masuknya Louis Jardet ke Islam
Tuhan berkehendak agar Louis Gardet membaca terjemahan makna Al-Qur'an, dan ia menemukan banyak hal yang menenteramkan hatinya. Ia tertarik pada Islam dan perlahan mulai mendalami Islam lebih dalam. Ia belajar bahasa Arab dan membaca Al-Qur'an dalam bahasa Arab. Kemudian ia beralih mempelajari peradaban Islam dan menemukan bahwa Islam adalah apa yang ia cari. Ia meyakininya sebagai iman ilahi yang sejati (dalam hatinya), karena ia yakin bahwa mereka yang memeluk Islam dan menyebarkannya di Eropa akan sangat menderita akibat rintangan yang mereka hadapi. Maka, Gardet menyembunyikan keyakinannya dalam hati dan membatasi usaha, tenaga, uang, dan pikirannya untuk mendukung agama ini.
Louis Gardet mencatat bahwa Zionisme sedang melancarkan perang agresif terhadap segala sesuatu yang berbau Islam di Eropa, menggunakan segala macam cara agresif, dimulai dengan upaya untuk mendistorsi beberapa ayat Al-Qur'an, mengekspor Al-Qur'an ke banyak wilayah Afrika setelah mendistorsinya, mendesain pakaian dalam dan sepatu dengan pola dan simbol Islam yang suci dan dihormati dalam hati nurani setiap Muslim, dan berkontribusi dalam mendorong para peneliti fanatik untuk menerbitkan buku-buku dan penelitian mereka yang mendistorsi citra Islam dan mengaitkan kesalahan dan keburukan kepada umat Islam dan Rasul mereka.
Kontribusi Louis Gardet
Louis Gardet membela Islam dan menerbitkan buku "Muslim dan Konfrontasi Serangan Zionis". Ia juga mengabdikan dirinya untuk mempelajari filsafat Islam selama lima belas tahun penuh (1957-1972) di Institut Filsafat Internasional di Toulouse.
Beliau juga menulis sejumlah karya penting Islam, seperti: Masyarakat Islam, Islam untuk Segala Usia, dan Agama dan Masyarakat. Beliau mengawasi penerbitan serangkaian studi Islam dan berpartisipasi dalam pengembangan Ensiklopedia Islam dalam bahasa Prancis.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah buku (Islam adalah Agama untuk Segala Zaman), di mana ia menjelaskan bagaimana nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam mampu bertahan sepanjang masa dan generasi, dan tetap baru, diperbarui, diminati, dan berpengaruh di setiap zaman!!
Dalam buku ini, Gardet juga menolak klaim beberapa ahli teori filsafat bahwa Islam adalah "agama gurun" dan tidak kompatibel dengan masyarakat lain. Ia menanggapi para materialis ini dengan mengatakan: "Gurun hanyalah tempat dan titik awal bagi agama baru ini ketika ia tiba. Di sana, fondasinya disempurnakan, dan ciri-cirinya menjadi jelas, seiring ia menjadi agama global. Gurun sama sekali bukan tempat yang stabil bagi umat Islam, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa dunia Islam saat ini mencakup lebih dari satu miliar Muslim, dan membentang dari Dakar di Senegal hingga Kepulauan Filipina di Samudra Hindia."
Louis Gardet dan Pembelaan Islam
Jardet menanggapi fitnah yang diarahkan, dipromosikan, dan diulang-ulang oleh orang Barat terhadap Islam dan Muslim, termasuk tuduhan bahwa Muslim "fatalistik dan bergantung." Ia menanggapi dengan puluhan ayat Al-Qur'an dan hadis yang mendesak umat Islam untuk bekerja keras dan melakukan pekerjaan mereka dengan baik, dan bahwa mereka memikul tanggung jawab penuh. Ia kemudian menanggapi tuduhan bahwa Islam adalah agama ritual dan upacara dangkal yang dilakukan tanpa memperhatikan perilaku sehari-hari. Ia menanggapi dengan pernyataan berikut:
“Hal-hal semacam itu telah terjadi pada zaman kemunduran, dan sesungguhnya ibadah tidak akan diterima kecuali jika dilakukan dengan tulus dan disertai niat yang suci.”
Ia pun menanggapi apa yang disebarkan orang Barat tentang Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang penuh ketakutan, dengan mengatakan bahwa Tuhan dalam Islam adalah (Maha Pengasih, Maha Penyayang), dan bahwa di antara sembilan puluh sembilan nama - nama-nama suci yang indah - yang diulang-ulang umat Islam, hanya dua nama yang menggambarkan Diri Tuhan sebagai Maha Perkasa, Maha Mengerikan, dan Maha Pengampun, dan kedua sifat ini hanya dipakai dalam maknanya berkenaan dengan para pendosa dan orang-orang kafir.
Di sini kita menyaksikan betapa besar transformasi yang terjadi dalam kehidupan Louis Jardet setelah ia masuk Islam. Pria ini kini membela Islam dengan sekuat tenaga, meskipun baru saja menjadi non-Muslim. Maha Suci Allah, yang telah membimbingnya kepada Islam!
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Ia lahir dari orang tua Kristen di Mesir, yang menanamkan kecintaan terhadap agama Kristen agar ia dapat berintegrasi dengan orang Kristen lainnya. Namun, ia mulai merenung dan berdiskusi, dan beberapa keraguan muncul yang menyulut api kecemasan dalam dirinya, yang mendorongnya untuk mencari kebenaran dan agama yang sejati.
Ketika pikirannya tumbuh, ia mulai mencari kebenaran. Ia berkata tentang hal itu:
Belajar membuat saya mendengarkan dengan saksama beberapa panggilan yang sampai ke telinga saya akibat celah yang diciptakan oleh keraguan dan kecurigaan mengenai apa yang tidak dapat diterima oleh pikiran, dan apa yang tidak dapat diyakinkan oleh hati nurani saya pada saat kemurnian emosional, mengenai apa yang sedang saya pelajari atau persiapkan untuk dilakukan dalam hal tugas. Jadi, panggilan-panggilan itu juga melibatkan mendengarkan, yang diikuti dengan merenungkan agama-agama yang mendahului agama saya, sehingga saya seperti seseorang yang mencari perlindungan dari penggorengan ke dalam api.
Kisah masuknya Muhammad Fuad al-Hashemi ke Islam
Al-Hashemi mulai meneliti agama-agama pra-Kristen dan agama-agama buatan manusia, berharap menemukan apa yang dicarinya. Ia kemudian beralih meneliti Islam, tetapi ia merasa kesal dan membencinya. Ia tidak ingin memasukinya; sebaliknya, ia ingin menggali kekurangannya, mencari kesalahannya, dan mencari kontradiksinya untuk menghancurkannya dan menyingkirkan manusia darinya. Namun, Maha Suci Sang Pengubah kondisi! Pria ini menemukan dalam Islam jalan menuju petunjuk dan cahaya yang telah ia cari sepanjang hidupnya.
Menjelaskan apa yang ia amati dalam agama Islam, ia berkata: “Saya menemukan jawaban yang memuaskan untuk setiap pertanyaan, yang tidak dapat ditemukan oleh agama-agama sebelumnya, baik buatan manusia, turunan agama-agama ilahi, maupun prinsip filsafat (dan ungkapan saya: ‘kemunduran’ mengacu pada kemunduran agama di tangan para ulama yang menyimpang dari tujuan mereka). Saya menemukan bahwa apa yang mereka klaim sebagai kekurangan dalam Islam justru merupakan kelebihan, dan apa yang mereka anggap kontradiksi justru merupakan hikmah, hukum, dan hukum yang dirinci bagi orang-orang yang berakal. Dan bahwa apa yang mereka kritik dari Islam adalah obat bagi umat manusia, yang telah lama terpuruk dalam belantara kegelapan hingga Islam membawanya keluar dari kegelapan menuju cahaya, dan manusia pun dibimbing, dengan izin Tuhan mereka, ke jalan yang lurus.”
Kemudian Muhammad Fuad Al-Hashemi mengumumkan masuknya agama Islam.
Kontribusi Muhammad Fuad Al-Hashemi
Setelah memeluk Islam, Muhammad Fuad al-Hashimi melakukan banyak hal untuk mengabdi kepada Islam. Ia melakukan perbandingan antar agama, dan salah satu buah dari perbandingan ini adalah buku indah yang ia persembahkan kepada umat Islam, "Religions in the Balance." Ia juga menulis banyak buku lain, yang semuanya bertujuan untuk menegakkan firman Tuhan dan mendukung agama-Nya.
{Dan Allah pasti menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Perkasa.} [Al-Hajj: 40].
Ia menulis buku “Rahasia Islam: Mengapa Saya Memilih Islam sebagai Agama,” “Nabi Tidak Berbohong,” dan “Dialog Antara Seorang Kristen dan Seorang Muslim.”
Sumber: Buku (Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam) oleh Dr. Ragheb Al-Sarjani.
Ahmed Naseem Susa, yang masuk Islam dan mengungkap kebenaran tentang sejarah palsu yang ditulis oleh orang-orang Yahudi, berasal dari suku Banu Suwasa, yang mendiami wilayah Hadhramaut di Yaman. Ia lahir dari orang tua Yahudi di kota Hillah, Irak, pada tahun 1318 H/1900 M. Ia menyelesaikan pendidikan persiapannya (sekolah menengah atas) di Universitas Amerika di Beirut pada tahun 1924 M, dan kemudian memperoleh gelar sarjana teknik sipil pada tahun 1928 M dari Colorado College di Amerika Serikat.
Ahmed Naseem Soussa kemudian melanjutkan studi pascasarjananya dan meraih gelar doktor dengan pujian dari Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat pada tahun 1930. Ia terpilih menjadi anggota organisasi ilmiah ternama Amerika, Phi Beta Kappa, dan pada tahun 1929, Universitas Washington menganugerahinya Penghargaan Weddell, yang diberikan setiap tahun kepada penulis artikel terbaik yang berkontribusi dalam mendukung perdamaian di antara negara-negara di dunia.
Dr. Ahmed Susa adalah salah satu insinyur Irak tertua yang lulus dari universitas-universitas Barat. Ia seorang Yahudi, tetapi kemudian masuk Islam.
Sekembalinya ke Irak, ia diangkat sebagai insinyur di Departemen Irigasi Irak pada tahun 1930. Ia kemudian memegang beberapa posisi teknis di departemen ini selama 18 tahun, hingga diangkat pada tahun 1946 sebagai Asisten Ketua Komisi yang dibentuk untuk mempelajari proyek-proyek irigasi besar di Irak. Pada tahun 1947, ia diangkat menjadi Direktur Jenderal Survei, kemudian Direktur Jenderal di Kementerian Pertanian pada tahun 1954. Ia kemudian diangkat kembali sebagai Direktur Jenderal Survei, posisi yang dijabatnya hingga tahun 1957.
Ketika Dewan Rekonstruksi didirikan pada tahun 1951, ia diangkat sebagai asisten pribadi Wakil Presiden Dewan Rekonstruksi untuk urusan teknis, di samping jabatan aslinya. Ia adalah salah satu anggota pertama Akademi Ilmiah Irak sejak didirikan pada tahun 1946, dan tetap menjadi anggota aktif hingga wafatnya.
Selama tahun 1939 dan 1940, beliau memimpin dua misi yang dikirim oleh pemerintah Irak ke Kerajaan Arab Saudi untuk mempelajari proyek-proyek irigasi di Al-Kharj dan mengawasi pelaksanaannya. Dr. Ahmed Naseem Susa adalah salah satu pendiri Asosiasi Insinyur Irak pada tahun 1938.
Karya-karyanya meliputi lebih dari lima puluh buku, laporan teknis, dan atlas, serta lebih dari 116 artikel dan makalah penelitian yang diterbitkan di berbagai surat kabar dan jurnal ilmiah. Karya-karyanya tersebar di berbagai bidang irigasi, teknik, pertanian, geografi, sejarah, dan peradaban (1).
Ahmed Susa mempelajari filsafat dan sejarah, yang memiliki dampak mendalam pada pemahamannya tentang kepercayaan palsu orang-orang Yahudi dan awal dari jalannya menuju jalan yang benar.
Kisah masuknya Ahmed Naseem Susa ke Islam
Kisah Ahmed Naseem Soussa dengan Islam dimulai saat ia kuliah di Universitas Amerika di Beirut. Hal ini memberinya kesempatan untuk mempelajari Islam dan membaca Al-Qur'an, yang di dalamnya ia menemukan apa yang belum ia temukan dalam Taurat dan Alkitab.
Dr. Ahmed Susa bercerita tentang awal langkahnya menuju jalan keimanan, dengan mengatakan:
“Dulu saya senang membaca ayat-ayat Al-Quran, dan saya sering menyendiri di resor musim panas saya, di bawah naungan pepohonan, di lereng pegunungan Lebanon, dan saya akan tinggal di sana selama berjam-jam, melantunkan bacaannya dengan suara lantang.”
Namun, itu belum cukup untuk membuatnya masuk Islam. Ia tidak benar-benar mempertimbangkan untuk masuk Islam sampai ia menghabiskan bertahun-tahun di Amerika, membaca filsafat agama, mendalami topik-topik sejarah dan sosial, dan memperluas pengetahuannya. Ia menemukan kebenaran tentang sejarah palsu yang ditulis orang-orang Yahudi untuk memenuhi hasrat keagamaan mereka.
Dia juga berbicara tentang apa yang dia temukan dalam Al-Quran, dengan mengatakan:
“Saya merasa tidak asing lagi dengan ayat-ayat Allah yang diwahyukan, dan hati saya pun merasa tenang ketika menyadari bahwa penalaran ilmiah mendukung kecenderungan alamiah saya yang benar.”
Dr. Ahmed Naseem Susa kemudian menyatakan masuk Islam dengan keyakinan penuh, dan mengabdikan usahanya untuk membela Islam.
Kontribusi Ahmed Naseem Susa
Pria ini berpindah agama dari Yudaisme ke Islam dan menjadi pembela setia agama tersebut. Ia mengabdikan dirinya untuk memberikan bukti-bukti keunggulan peradaban Arab, dan menulis beberapa buku tentang hal ini, yang terpenting adalah bukunya (Arab dan Yudaisme dalam Sejarah).
Dr. Ahmed Naseem Soussa memanfaatkan pengalaman dan pengetahuannya tentang Yudaisme untuk membantah klaim gerakan Zionis dari perspektif sejarah. Ia menyadari adanya teks-teks palsu dalam Taurat dan berupaya mengklarifikasi distorsi-distorsi ini, dengan menjelaskan bahwa teks-teks tersebut direkayasa oleh para rabi.
Buku-bukunya meliputi: “Sejarah Jazirah Arab” dan “Sejarah Yahudi Irak.”
Selain berbagai kontribusi Dr. Ahmed Susa dan kajian sejarah serta intelektualnya setelah masuk Islam, beliau juga menjelaskan banyak aspek sejarah manusia dan menentang berbagai upaya jahat untuk merongrong dan mendistorsi citra Islam (4). Di antaranya adalah buku "On My Way to Islam", yang memuat kisah perkembangan jiwanya, seorang pencari kebenaran, yang mengabdikan diri kepadanya, yang dipengaruhi oleh lingkungan Arab dan kemudian mencapai bimbingan Islam. Beliau memandang kebenaran sebagai kebenaran dan bergembira mengikutinya, dan memandang kebatilan sebagai kebatilan dan secara terbuka menghindarinya. Buku ini menunjukkan titik-titik lemah entitas Yahudi dan kesalahan-kesalahan kaum Yahudi.
Meninggalnya Ahmed Naseem Susa
Dr. Ahmed Naseem Susa wafat pada tahun 1402 H / 1982 M.
Sumber: Buku "Orang-Orang Hebat yang Masuk Islam" karya Dr. Ragheb Al-Sergani.
Ann Sofie tidak menyadari bahwa minatnya terhadap isu-isu Islam dan Muslim, serta pembelaannya yang adil, merupakan awal dari jalan untuk memeluk agama yang benar. Setiap kali muncul isu yang menentang Muslim di Swedia, ia akan segera membantah, membela, dan membantah pendapat orang-orang yang mencela mereka, dengan menerbitkan visi-visinya yang serius dan tulisan-tulisannya yang solid, didukung oleh bukti dan dihormati oleh akal sehat. Dengan demikian, ia berusaha untuk berdiri bersama masyarakat Swedia dalam kebenaran Islam dan Muslim dengan mata keadilan, terkadang dengan menulis artikel surat kabar, terkadang dengan buku-buku khusus yang telah didistribusikan secara luas, dan terkadang melalui pertemuan dan seminar langsung.
Itu benar-benar lidah kebenaran yang membela agama sejati ini dan para pengikutnya.
aktivis hak asasi manusia
Anne Sofie Roald adalah seorang sejarawan agama dan dosen studi Islam, gender, dan migrasi di Universitas Swedia Selatan di Malmö, dekat Denmark. Sebelum berpindah agama dari Kristen ke Islam, Sofie adalah salah satu peneliti terkemuka dalam isu-isu Islam dan Muslim. Ia telah menekuninya sejak menyelesaikan disertasi doktoralnya tentang Ikhwanul Muslimin di Universitas Lund di Swedia selatan. Ia kemudian mengkhususkan diri dalam sejarah Islam, kemudian mempelajari gerakan-gerakan Islam dan minoritas Muslim di Barat.
Di masa mudanya, ia adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang memperjuangkan pembebasan perempuan di Norwegia, yang memperkuat minatnya pada isu-isu politik. Ketika ia menyadari bahwa Islam tidak memisahkan agama dari politik, hal ini mendorongnya untuk mendalaminya. Ia kemudian menulis beberapa buku tentang berbagai topik tentang Islam dalam bahasa Swedia dan Inggris, termasuk: "Muslim Baru di Eropa", "Perempuan dalam Islam", "Islam", "Pengalaman Mualaf di Skandinavia", dan "Islam: Keyakinan dan Sejarah".
Surat kabar Swedia, Svenska Dag, mencatat bahwa tulisan-tulisan Sofi berperan penting dalam memperkenalkan Islam kepada mereka yang tertarik mempelajarinya, yang jumlahnya belakangan ini meningkat di Eropa. Ia juga memperkaya perpustakaan-perpustakaan Swedia dengan buku pentingnya, "Muslim di Swedia", yang ia tulis bersama penulis sekaligus mualaf, Pernilla Kues.
Jalan Menuju Iman
Sophie menjalani banyak tahapan riset, investigasi, dan perbandingan yang rumit untuk menentukan apa yang akan memampukannya menemukan agama sejati yang seharusnya ia yakini. Karena orang yang bernaluri sehat selalu dituntun kepada apa yang benar, ia menyadari dengan kecerdasannya, seperti yang ia katakan dalam salah satu wawancaranya, bahwa manusia harus mendekatkan diri kepada Tuhan, karena Tuhan tidak memaksa manusia untuk beriman kepada-Nya.
Mengenai pendidikan agamanya, ia berkata: "Saya tinggal di wilayah Östlund di Norwegia, dan kepercayaan kepada Tuhan sangat kuat di keluarga saya. Setiap malam, ia berdoa sesuai ajaran Kristennya, dan ia memiliki keyakinan teguh bahwa Tuhan akan melindungi mereka dari segala bahaya."
Ia juga berkata: Ketika mencapai usia tujuh belas tahun, ia mulai mendalami agama lebih dalam, dan mulai bertanya-tanya tentang Kekristenan sebagai sebuah agama, dan tentang alasan umat Kristen saling bertikai. Ia mencapai makna yang mendalam dalam pikirannya, dan ia berkata: Beberapa orang menggunakan Tuhan untuk memperkuat kekuasaan dan otoritas mereka, dan menggunakan-Nya untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain, seperti yang terjadi di Eropa pada masa lampau, yang mendorongnya untuk bertanya lebih banyak tentang agama.
Ia mempelajari agama-agama perbandingan pada tahun 1970-an, dan penelitiannya yang tak kenal lelah membawanya menemukan keagungan dan objektivitas Islam. Sebagaimana ia katakan: "Di dalamnya, saya menemukan semua jawaban atas semua pertanyaan. Sungguh, saya mencapai kebenaran tentang Tuhan Yang Mahakuasa, yang merencanakan hidup kita dengan cara yang paling indah dan adil."
Ketakutan (fobia) terhadap Islam:
Sufi merasa khawatir dengan penyebaran Islamofobia, atau sebagaimana mereka menyebutnya, “Islamofobia,” dan keseriusan media Barat dalam memperingatkan masyarakat tentang hal itu, yang mulai mendistorsi Islam dan menggambarkan umat Islam sebagai teroris, terutama setelah peristiwa 11 September dan serangan terhadap World Trade Center.
Terdapat pula alasan agama, budaya, dan rasisme di balik fenomena "Islamofobia" di Barat, sebagaimana yang ia sebutkan dalam bukunya: "Muslim in Sweden", yang membahas kehidupan perempuan Muslim dan koeksistensi mereka dalam masyarakat Swedia, yang, seperti masyarakat Barat lainnya, menganut nilai dan konsep yang berbeda. Ia juga membahas bagaimana umat Muslim hidup di Swedia, dan praktik ritual mereka seperti salat, zakat, puasa, haji, dan hubungan antarsesama. Ia juga menyajikan perbandingan yang baik antara adat istiadat masyarakat Islam dan dampaknya terhadap Muslim Swedia. Ia juga menyoroti pandangan negatif dan bahkan mencurigakan terhadap perempuan bercadar.
Melalui salah satu studi mendalam terpentingnya tentang Islam dan budaya, Sophie menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam dan budaya Islam, seperti yang diyakini banyak orang. Ia menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang mendasari Islam harus sepenuhnya terjalin dengan segala bentuk ekspresi budaya, dan hal ini bermanfaat bagi umat manusia secara umum.
Siapa Martin Lings?
Martin Lings lahir di Lancashire, Inggris, pada Januari 1909. Ia menghabiskan masa kecilnya di Amerika, tempat ayahnya bekerja. Seperti keluarganya, yang tidak memiliki afiliasi agama apa pun, ia adalah seorang Kristen sejak lahir. Karena itu, ia tumbuh tanpa keyakinan sejati apa pun.
Sekembalinya ke tanah air, ia mendaftar di Clinton College, di mana ia menunjukkan bakat kepemimpinan yang cemerlang yang membawanya ke posisi Presiden Mahasiswa. Dari sana, ia pindah ke Oxford untuk belajar Bahasa dan Sastra Inggris. Kematangan intelektualnya mulai terlihat setelah ia meraih gelar AB dalam Sastra Inggris. Ia mulai mendalami buku-buku warisan tentang agama-agama dunia, membaca semuanya. Ia terpikat oleh agama Islam, yang memiliki kurikulum yang konsisten dengan logika dan nalar, serta tata krama yang dapat diterima oleh jiwa dan hati nurani.
Dia kemudian pergi ke Lithuania untuk mengajar bahasa Inggris Anglo-Saxon dan Abad Pertengahan, sambil juga menaruh minat pada warisan kuno negara tersebut melalui lagu-lagu daerah dan puisi.
Pada tahun 1940, ia pergi ke Mesir untuk mengunjungi seorang teman lama di Universitas Kairo (saat itu Fuad I) dan untuk mempelajari Islam dan bahasa Arab. Namun, temannya meninggal dalam kecelakaan berkuda, dan ia ditawari posisi yang sebelumnya dipegangnya di universitas tersebut.
Kisah Martin Lings yang masuk Islam
Di Mesir, Lings masuk Islam setelah bertemu dengan beberapa Sufi Syadzili. Ia segera menjadi taat beragama dan mendalami ilmu mistik, mengubah namanya menjadi Abu Bakar Siraj al-Din dan menjadi sahabat karib penulis sufi Muslim Prancis, Abd al-Wahid Yahya (René Guénon), yang sepenuhnya yakin akan validitas kritik kerasnya terhadap peradaban Barat.
René Guénon memiliki pengaruh yang menentukan terhadap pemikiran Lings. Ia mengatakan tentang hal ini:
Yang memengaruhi dan membuat saya tertarik pada Islam adalah buku-buku karya seorang penulis hebat yang, seperti saya, masuk Islam dan menjadi salah satu sufi paling terkemuka. Beliau adalah Syekh Abdul Wahid Yahya. Saya terpengaruh oleh buku-buku beliau tentang Islam, sampai-sampai saya belum pernah membaca buku-buku sehebat beliau. Hal ini mendorong saya untuk mencari dan bertemu dengan orang yang menjadi alasan saya masuk Islam. Saya datang ke Mesir, tempat beliau tinggal saat itu.
Kemudian ia menambahkan, "Saya mendapat banyak manfaat darinya. Ia benar-benar seorang ulama yang mengamalkan ilmunya. Yang paling saya pelajari darinya adalah asketisme di dunia ini, yang kau sebut 'Sufisme'."
Beliau juga berkata: "Pemahaman saya tentang tasawuf bukanlah isolasi dari dunia, melainkan menerima sebab-sebab kehidupan secara lahiriah, sambil menjauhinya di dalam hati. Nabi Muhammad (saw) merangkum seluruh makna tasawuf dalam hadis mulia beliau: (Jadilah di dunia ini seolah-olah kamu orang asing atau musafir), atau sebagaimana beliau katakan dalam hadis mulia lainnya: (...Aku dan dunia ini ibarat seorang penunggang kuda yang berteduh di bawah pohon, lalu beranjak dan meninggalkannya). Inilah pemahaman tasawuf yang saya pelajari dari Syekh Abdul Wahid Yahya."
Patut dicatat bahwa ia masuk Islam di tangan seorang syekh Aljazair bernama Syekh Ahmed Al-Alawi, yang ia temui di Swiss, tempat ia bekerja sebagai guru. Ia kemudian mengubah namanya dari Martin Lings menjadi Abu Bakr Siraj al-Din.
Lings merasa telah menemukan dirinya dalam agama yang selaras dengan kodrat manusia, sebagaimana ia ungkapkan dengan mengatakan: "Dalam Islam, saya menemukan jati diri yang selama ini saya rindukan, dan saat itu saya merasa menjadi manusia untuk pertama kalinya. Islam adalah agama yang mengembalikan manusia kepada kodratnya, sebagaimana selaras dengan kodrat manusia."
Kemudian ia menambahkan, dengan senyum tersungging di wajahnya: "Allah telah menghendaki saya menjadi seorang Muslim, dan ketika Allah menghendakinya, tak seorang pun dapat mengubah ketetapan-Nya. Inilah alasan utama saya masuk Islam."
Inilah pemikir Muslim Inggris, Dr. Abu Bakar Sirajuddin, yang dulunya menganut agama selain Islam, tetapi Allah membimbingnya ke mazhab Hanafi yang toleran. Ia memeluk Islam dengan keyakinan penuh, dan kemudian imannya meroket hingga mencapai taraf meninggalkan dunia ini. Ia menjadi seorang Sufi di tengah masyarakat yang penuh godaan dan daya tarik kenikmatan. Ia mengabdikan dirinya untuk mengajak orang-orang kepada Allah di negaranya, didorong oleh keyakinan yang mendalam bahwa masa depan adalah milik Islam, agama sejati yang diturunkan ke seluruh penjuru bumi.
Lings tinggal di Mesir sepanjang tahun 1940-an, tempat ia mengajar pemikiran dan sastra Shakespeare kepada mahasiswa Fakultas Seni.
Pada tahun 1944, Lings menikah dengan Leslie Smalley, yang memiliki gagasan serupa dengannya selama enam puluh tahun berikutnya. Selama masa hidupnya di Kairo, rumah pedesaan mereka di sebuah desa kecil dekat piramida menjadi tempat berlindung yang aman bagi banyak orang Mesir dan orang asing yang merasakan beratnya kehidupan modern.
Martin Lings ingin menghabiskan hidupnya di Mesir, seandainya tidak ada intervensi politik. Revolusi 1952 diikuti oleh demonstrasi anti-Inggris, akibat pendudukan Inggris yang berkelanjutan di Mesir, campur tangan Inggris dalam urusan dalam negeri Mesir, korupsi yang dilakukannya di segala aspek kehidupan, dan banyaknya korban yang gugur di tangan pasukan pendudukan tanpa ampun. Tiga rekan Lings di universitas tewas dalam demonstrasi ini, dan para profesor Inggris dipecat dari universitas tanpa kompensasi.
Ia kembali ke London pada tahun 1952, dan melanjutkan studi bahasa Arabnya di School of Oriental and African Studies di London. Pada tahun 1962, ia meraih gelar doktor dalam bidang "Sheikh Ahmad al-Alawi", yang ia terbitkan dalam sebuah buku berjudul "A Sufi Saint of the Twentieth Century". Buku ini merupakan salah satu bukunya yang paling berpengaruh, karena menawarkan perspektif unik tentang spiritualitas Islam dari dalam. Buku ini kemudian diterbitkan dalam buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan bahasa lainnya. Sejak saat itu, Lings dianggap sebagai salah satu sejarawan utama Sufisme.
Pada tahun 1955, Lings bekerja di British Museum, dan di sana ia diangkat sebagai Kurator Naskah Oriental di English Museum. Ia juga bertanggung jawab atas naskah-naskah Al-Qur'an, yang kemudian menarik perhatiannya pada kaligrafi Al-Qur'an dan terwujudnya bukunya "Seni Al-Qur'an dalam Kaligrafi dan Iluminasi". Penerbitannya bertepatan dengan pendirian Yayasan Festival Islam Dunia pada tahun 1976, yang memiliki hubungan erat dengannya.
Ia juga menghasilkan dua katalog manuskrip Arab ini, yang ditempatkan di British Museum pada tahun 1959 dan British Library pada tahun 1976.
Kontribusi Martin Lings
Sebelum meninggalkan Mesir pada tahun 1952, Lings menerbitkan buku berjudul "The Book of Certainty: The Sufi School of Faith, Revelation, and Gnosticism." Saat menempuh pendidikan S1 Bahasa Arab, ia menerbitkan mahakaryanya yang fasih, "Muhammad, Utusan Tuhan dan Kehidupannya," yang didasarkan pada sumber-sumber tertua, pada tahun 1973, yang membuatnya menerima Penghargaan Presiden Pakistan.
Kematian Martin Lings
Sejarawan Sufi Abu Bakr Siraj al-Din (Martin Lings), yang dikenal sebagai penulis buku “Biografi Nabi, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian,” meninggal dunia pada pagi hari tanggal 12 Mei 2005, setelah merayakan ulang tahunnya yang kesembilan puluh enam.
Meskipun Lings, atau Abu Bakar Sirajuddin, telah meninggal dunia sejak lama, kabar kematiannya mengejutkan banyak orang yang telah bertahun-tahun mencari bimbingan spiritualnya. Sepuluh hari sebelum wafatnya, beliau berpidato di hadapan sekitar 3.000 hadirin di Wembley Convention Centre, London, tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, setelah kembali dari lawatannya yang mencakup Mesir, Dubai, Pakistan, dan Malaysia.
Siapa Eitan Dine?
Alphonse Etienne Dinet, lahir di Paris pada tahun 1861 dan meninggal pada usia tujuh puluh tahun, adalah salah satu seniman dan pelukis terhebat di dunia. Karya-karyanya tercatat dalam Kamus Larousse, dan dinding-dinding galeri seni di Prancis dihiasi dengan lukisan-lukisannya yang berharga, termasuk lukisan Ghada Ramadan yang terkenal. Ia juga seorang maestro dalam melukis padang pasir.
Kisah masuk Islamnya
Menjelaskan bagaimana ia mengenal Islam, Dinet berkata: “Saya mempelajari Islam dan merasa tertarik serta condong kepadanya. Saya mempelajarinya dalam Kitab Allah dan mendapatinya sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Saya menemukan di dalamnya apa yang menjamin kesejahteraan rohani dan jasmani manusia. Saya meyakininya sebagai agama yang paling benar untuk beribadah kepada Allah, dan saya menerimanya sebagai agama saya, dan saya secara resmi menyatakannya di depan umum.”
Kontribusinya
Setelah masuk Islam, Eitan Dinet menulis banyak buku berharga, termasuk bukunya yang unik: Sinar Istimewa Cahaya Islam, dan buku-bukunya: Mata Air Hati, Timur sebagaimana Dilihat Barat, dan Muhammad, Utusan Allah. Perjalanan ziarah Nasir al-Din Dinet ke Baitullah pada tahun 1928 M memengaruhinya untuk menulis buku Ziarah ke Baitullah, yang dipuji oleh Pangeran (Shakib Arslan), dengan mengatakan: "Beliau masuk Islam, menunaikan ziarah, dan menulis buku tentang ziarahnya ke Baitullah, salah satu buku paling kreatif yang pernah ditulis pada era ini."
Buku ini (Ziarah ke Baitullah) terdiri dari pendahuluan, tujuh bab, dan lampiran dua bab, yang semuanya lebih dari dua ratus halaman. Nasser al-Din menghiasinya dengan delapan gambar buatannya sendiri yang menampilkan Ka'bah, Tanah Suci, pemandangan haji di Arafah, salat Magrib di sekitar Ka'bah, dan Bukit Cahaya, tempat Rasulullah yang terpercaya menerima wahyu ketika beliau pertama kali turun.
Bukunya mengupas perjalanan penjelajah Swiss Burke Hardt dalam bukunya (Perjalanan ke Jazirah Arab) pada tahun 1914 M, penjelajah Inggris Burton dalam bukunya (Ziarah ke Mekkah dan Madinah), penjelajah Prancis Leon Roche yang melakukan perjalanan ke Hijaz atas perintah Jenderal Prancis (Bejud), dan menerbitkan bukunya (Sepuluh Tahun di Negeri Islam), penjelajah Prancis Loup Lecou dalam bukunya (Di Negeri Rahasia: Ziarah Kristen ke Mekkah dan Madinah), Gervais Cole Tilmon dalam bukunya (Perjalanan ke Mekkah) pada tahun 1896 M, dan Palgrave dalam bukunya (Setahun di Negeri-negeri Arab Tengah).
Buku ini dianggap sebagai tinjauan komprehensif dan adil atas semua buku sebelumnya, yang mengungkap tujuan tersembunyi dari perjalanan para orientalis, sekaligus memberikan keadilan bagi para orientalis yang mencari kebenaran dan akurasi dalam tulisan-tulisan mereka. Buku ini juga membahas isu-isu seperti: Orientalis dan Al-Qur'an, Orientalis dan bahasa Arab, Orientalisme dan kaligrafi Arab serta seruan kepada huruf Latin, Orientalisme dan puisi Arab.
Buku-bukunya telah menyebabkan kehebohan di kalangan orientalis.
Beliau juga membela tulisan Arab, dan menggambarkan dosa orang-orang yang ingin menggantinya dengan aksara lain. Beliau berkata, “Tulisan Arab adalah bentuk seni paling halus yang pernah dikenal manusia, dan aksara terindah. Tanpa melebih-lebihkan, kita dapat mengatakan bahwa tulisan Arab memiliki semangat yang sesuai dengan suara manusia, selaras dengan alunan musik.”
Ia juga menggambarkan tulisan Arab sebagai: "sebuah kunci yang menyingkap misteri gerakan-gerakan hati yang halus, seolah-olah huruf-hurufnya tunduk pada kekuatan roh yang meresap. Terkadang Anda melihat mereka terjalin satu sama lain dalam bentuk-bentuk geometris yang indah, sambil menyimpan semua rahasia yang tersimpan di dalamnya. Terkadang Anda melihat mereka melesat dan tiba-tiba berhenti seolah-olah mengagumi diri mereka sendiri. Terkadang Anda melihat mereka berlari dan berpelukan, dan terkadang mereka bubar."
Ia menambahkan: "Setiap kali saya merenungkan bentuknya yang menawan, pikiran saya membawa saya ke mimpi-mimpi yang jauh. Saya tidak perlu menjadi seorang Arabis atau pesulap untuk menikmati keindahannya yang unik dan mempesona. Sebaliknya, setiap orang yang memiliki jiwa seni akan terpikat oleh tulisan ini."
Ia menegaskan bahwa aksara Arab berbeda dari aksara lain karena ditulis dari kanan ke kiri, mengikuti gerakan alami tangan. Dengan demikian, kita merasa menulis lebih mudah dan cepat daripada menulis dari kiri ke kanan. Inilah sebabnya seniman besar Leonardo da Vinci menggambar dan menulis dari kanan ke kiri, mengikuti aturan aksara Arab.
Ucapannya
Islam telah menegaskan sejak awal kemunculannya bahwa ia adalah agama yang cocok untuk segala zaman dan tempat, karena ia adalah agama fitrah, dan fitrah tidak berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Oleh karena itu, Islam cocok untuk semua tingkat peradaban.
Karena Dinet adalah seniman berbakat, ia tertarik pada sisi estetika dan selera yang tinggi dalam kehidupan Nabi. Ia berkata: "Nabi sangat memperhatikan dirinya sendiri, dan beliau dikenal karena keanggunannya, yang sangat sederhana, namun sarat dengan selera dan keindahan."
“Gerakan-gerakan doa yang teratur bermanfaat bagi tubuh dan jiwa, dan sederhana, lembut, dan tak tertandingi dalam bentuk doa lainnya.”
Mengenai poligami, beliau berkata: “Poligami kurang lazim di kalangan umat Islam dibandingkan di kalangan orang Barat, yang menemukan kenikmatan buah terlarang ketika mereka menyimpang dari prinsip satu istri!”
Benarkah agama Kristen melarang poligami? Dan bisakah seseorang mengatakannya tanpa ditertawakan?
Poligami adalah hukum alam dan akan tetap demikian selama dunia masih ada. Teori monogami telah menghasilkan tiga akibat berbahaya: perawan tua, pelacur, dan anak haram.
Kematiannya
Pada bulan Desember 1929, Nasser al-Din Dinet wafat di Paris. Salat jenazah digelar di Masjid Agung di sana, dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka dan Menteri Pendidikan atas nama pemerintah Prancis. Jenazahnya kemudian diangkut ke Aljazair, di mana ia dimakamkan di pemakaman yang ia bangun sendiri di kota Bou Saada, sesuai dengan wasiatnya.
Siapa Rene Guénon?
Transisi René Guénon dari Kristen ke Islam, setelah mempelajari Freemasonry dan filsafat Timur kuno, bukanlah akibat keraguan, ketidakstabilan, atau kecintaan akan perubahan. Melainkan, ia mencari kebenaran yang hilang, kebenaran yang telah menghubungkan umat manusia purba dengan alam semesta yang luas dalam keseimbangan yang bijaksana, kebenaran yang telah terkoyak oleh tekanan zaman ini, yang berbalut materialisme. Ia adalah Abd al-Wahid Yahya, yang memeluk Islam dan menyusun rencana untuk membangun Masjidil Haram di Paris tak lama sebelum Perang Dunia I, serta mendirikan universitas Islam di Prancis.
René Guénon lahir pada 15 November 1886 di Blois, barat daya Paris. Ia tumbuh dalam keluarga Katolik yang konservatif. Tubuhnya yang lemah membuatnya tidak bisa bersekolah, sehingga bibinya, Doro, mengajarinya membaca dan menulis di rumahnya yang indah di tepi Sungai Loire hingga ia berusia dua belas tahun.
Ketika mencapai usia enam belas tahun, ia mendaftar di Roland College di Paris. Ia tidak puas dengan studi universitasnya, tetapi mulai menimba ilmu di Paris, yang penuh dengan guru dan pembimbing dari Timur dan Barat.
Pada tahun 1906, ia bergabung dengan Sekolah Bebas Studi Ilmu Gaib Japús, dan kemudian bergabung dengan organisasi lain seperti Martinisme dan Freemasonry, yang berafiliasi dengan Ritus yang dikenal sebagai Ritus Nasional Spanyol. Pada tahun 1908, ia bergabung dengan Loji Masonik Agung Prancis. Ia juga bergabung dengan Gereja Gnostik, yang, tidak seperti gereja pada umumnya, percaya pada inkarnasi Tuhan (Maha Suci Dia) dalam wujud manusia dan sebagainya (Tuhan jauh di atas apa yang mereka katakan). Selama periode yang sama, ia bertemu dengan banyak tokoh yang memperdalam pengetahuannya tentang Taoisme Tiongkok dan Islam.
Pada akhir tahun 1909, René Guénon diangkat menjadi uskup Gnostik di Gereja Gnostik Alexandria. Ia mendirikan jurnal Gnosticism dan menerbitkan sejumlah penelitian di jurnal tersebut. Namun, kritiknya terhadap gereja ini sangat keras, karena ia menganggap doktrin-doktrin spiritual modern tak lebih dari materialisme baru pada tingkatan yang berbeda, dan satu-satunya tujuan mereka adalah menerapkan metode sains positif pada jiwa.
Kisah masuk Islamnya
Perkenalannya dengan pemikir dan pelukis Swedia Jan Gustaf Ajli, yang masuk Islam pada tahun 1897 dan berganti nama menjadi Abd al-Hadi, dan terlibat dalam penyuntingan majalah Arab-Italia bernama “The Club,” memiliki pengaruh terbesar pada masuknya dia ke Islam, terutama karena Gino menerbitkan banyak artikel tentang mistikus Sufi Arab yang terkenal, Muhyiddin Ibn Arabi.
Saat itu, Guénon menerbitkan majalah "Al-Ma'rifa", dan pada tahun 1910, Abd al-Hadi mulai berkontribusi secara tekun dan aktif, menerbitkan penelitian dan menerjemahkan banyak teks Sufi ke dalam bahasa Prancis. Dari sinilah, Abd al-Hadi berhasil membangun hubungan yang kuat dan solid antara Guénon dan Syekh Alish, yang telah masuk Islam melaluinya, melalui pertukaran surat dan pendapat. Hasilnya, Guénon memeluk Islam pada tahun 1912 setelah mempelajarinya secara mendalam, dan mengambil nama Abd al-Wahid Yahya.
Imam Abdel Halim Mahmoud menjelaskan alasan di balik masuknya René Guénon ke Islam: "Alasan masuknya beliau ke Islam sederhana dan logis pada saat yang bersamaan. Beliau ingin berpegang teguh pada teks suci yang tak terjangkau oleh kepalsuan, baik dari depan maupun belakang. Setelah mempelajarinya secara mendalam, beliau tidak menemukan apa pun selain Al-Qur'an, satu-satunya kitab suci yang tidak terdistorsi atau diubah, karena Allah telah menjamin kelestariannya. Maka beliau berpegang teguh padanya dan berjalan di bawah panjinya, dan beliau dipenuhi rasa aman secara psikologis dalam keluasan Furqan."
Pada Juli 1915, Guénon meraih gelar Sarjana Seni (Sarjana Seni) di bidang filsafat dari Universitas Sorbonne yang ternama. Ia kemudian melanjutkan studinya dan meraih diploma studi tinggi (DES). Pada tahun 1917, ia diangkat sebagai profesor filsafat di Aljazair, tempat ia menghabiskan waktu selama satu tahun. Ia kemudian kembali ke Blois, Prancis. Namun, ia tidak menyukai kota kelahirannya, sehingga ia berangkat ke Paris untuk mempersiapkan disertasi doktoralnya dengan topik "Leibniz dan Kalkulus Diferensial". Namun, karena kemandirian intelektual dan pandangannya yang blak-blakan, pembimbing doktoralnya menolak memberikan gelar tersebut. Pada tahun 1918, Guénon mulai mempersiapkan diri untuk agrégation di bidang filsafat.
Hal ini tidak menghalangi Syekh Abdul Wahid Yahya untuk melanjutkan karyanya dan mengabdikan dirinya pada penelitian. Berkat dedikasinya ini, ia menerbitkan dua buku pada tahun 1921, salah satunya adalah "Pengantar Studi Doktrin India".
Setelah itu, buku-bukunya diterbitkan secara berurutan, dan artikel-artikelnya dimuat di berbagai surat kabar. Pada tahun 1925, majalah "Topeng Isis" dibuka untuknya, dan ia mulai menulis di sana. Pada tahun 1929, ia akhirnya menjadi editor terpenting di sana, tetapi meskipun demikian, ia menolak untuk menjadi pemimpin redaksi.
Pada tahun 1925, Syekh Abdul Wahid Yahya menyampaikan salah satu kuliah terpenting di Universitas Sorbonne, berjudul "Metafisika Timur". Ia menjelaskan perbedaan antara Timur dan Barat dalam ranah metafisika, menjelaskan bahwa metafisika itu satu, bukan Timur maupun Barat, melainkan seperti kebenaran murni. Namun, konsep atau pendekatannya berbeda di Timur dan Barat. Pilihan istilah "Timur"-nya mengacu pada studi ranah metafisika di Timur secara umum, bukan hanya di India. Peradaban Timur terus berlanjut dengan kontinuitas yang sama, dan mereka tetap menjadi representasi yang kompeten untuk mendapatkan informasi autentik, karena peradaban Barat tidak memiliki asal-usul yang luas ini.
Pada tahun 1927, ia menerbitkan bukunya, "Raja Dunia" atau "Kutub", dan menerbitkan bukunya, "Krisis Dunia Modern", yang meraih sukses besar dan dicetak ulang puluhan kali dalam edisi mewah dan populer. Buku ini bukanlah seruan untuk mengisolasi diri, melainkan seruan untuk pemahaman yang benar dan pandangan kritis terhadap peradaban Barat sebagai karya manusia yang mampu menerima kritik dan tidak melampauinya.
Kairo... akhirnya
Syekh Abdul Wahid Yahya ditawari oleh sebuah penerbit di Paris untuk pergi ke Mesir guna mendalami budaya Sufi, menyalin, dan menerjemahkan beberapa teksnya. Ia pindah ke Kairo pada tahun 1930. Ia seharusnya hanya tinggal beberapa bulan di sana, tetapi pekerjaan ini membutuhkan waktu yang panjang. Kemudian penerbit tersebut berubah pikiran tentang proyeknya, dan Syekh Abdul Wahid Yahya tetap tinggal di Kairo, hidup sederhana dan sembunyi-sembunyi di distrik Al-Azhar, tidak berinteraksi dengan orang Eropa atau terlibat dalam kehidupan publik, melainkan menghabiskan seluruh waktunya dengan belajar.
Abdul Wahid datang ke Kairo sendirian dan merasa sulit untuk hidup sendiri. Pada tahun 1934, ia menikahi putri Syekh Muhammad Ibrahim, dan dikaruniai empat orang anak.
Syekh Abdul Wahid ingin menyebarkan budaya Sufi di Mesir, sehingga ia mendirikan majalah "Al-Ma'rifa" bekerja sama dengan Abdul Aziz Al-Istanbouli. Mungkin pilihan nama ini mengungkapkan sebagian dari pemikiran batinnya: ilmu adalah salah satu jalan menuju Allah SWT, sementara jalan lainnya adalah cinta.
Dengan demikian, program majalah tersebut mencakup keseluruhan proyek yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu suci yang sejati. Syekh Abdul Wahid Yahya terus menulis buku, menulis artikel, dan mengirim surat, serta senantiasa terlibat dalam kegiatan intelektual dan spiritual.
Kontribusinya
Syekh Abdul Wahid Yahya meninggalkan banyak karya yang mencakup pembelaan terhadap Islam dan citranya di Barat, menentang citra yang dipromosikan oleh kaum orientalis bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan tidak menghasilkan spiritualitas yang mendalam.
Kontribusinya dalam menanggapi tuduhan ini muncul melalui buku-bukunya, yang paling penting di antaranya adalah:
Kesalahan Arah Spiritual (Premonisi), Timur dan Barat, Esoterisme Dante, Manusia dan Masa Depannya Menurut Vedanta, Krisis Dunia Modern, Raja Dunia, Saint Bernard, Simbolisme Salib, Otoritas Spiritual dan Temporal, Berbagai Modus Keberadaan, Presentasi Kritis, Kedaulatan Kuantum dan Tanda-tanda Waktu, Metafisika Timur, Sekilas Konduksi Spiritual, Trinitas Agung, Prinsip Kalkulus Diferensial, Sekilas Esoterisme Kristen, Awal Mula: Sebuah Studi tentang Freemasonry dan Persaudaraan (Dua Bagian), Gambaran Tradisional dan Siklus Kosmik, Sekilas tentang Sufisme dan Taoisme Islam, dan Tulisan-tulisan yang Tersebar.
Kematiannya
Syekh Abdul Wahid Yahya wafat pada tahun 1951 di usia enam puluh empat tahun di Kairo, dikelilingi oleh istri, tiga anak, dan seorang janin yang masih dalam kandungan. Kata-kata terakhirnya adalah nama tunggal "Allah".