Rasisme merupakan sumber buatan dari unsur asal usul dan garis keturunan, dan rasisme adalah diskriminasi antara orang-orang atas dasar ras, asal usul, warna kulit, negara, dll. dan memperlakukan mereka atas dasar itu.
Seorang rasis adalah seseorang yang lebih mengutamakan rasnya sendiri daripada ras manusia lainnya dan bersikap bias terhadapnya. Orang pertama yang menyerukan hal ini adalah Setan, semoga laknat Allah menimpanya, ketika ia berkata: "Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah." (Shad: 76)
Masyarakat manusia telah mengenal berbagai jenis stratifikasi sosial, seperti kelas pangeran, kelas prajurit, kelas petani, dan kelas budak. Hal ini mengakibatkan banyak ketidakadilan, perbudakan, penindasan, penaklukan, dan erosi hak-hak manusia. Namun, Islam sama sekali tidak mengakui hal ini, melainkan menyamakan hak antara si kaya dan si miskin, si bangsawan dan si hina.
Dasar dan asal muasal kesenjangan dan perbedaan antarmanusia dalam Islam disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat, di mana Allah SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al-Hujurat: 13). Dan sabda Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian: "Hai manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan sesungguhnya ayahmu adalah satu. Sesungguhnya, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas Arab, atau merah atas hitam, atau hitam atas merah, kecuali karena takwa..."
Bagaimana Islam mengatasi rasisme?
Islam telah menentang rasisme dan menawarkan solusi praktis, model, rencana, serta visi untuk memberantasnya, yang kini sangat dibutuhkan dunia. Inilah poros terpenting yang telah diupayakan Islam untuk memberantas rasisme dan membangun masyarakat yang welas asih, kooperatif, dan suportif.
Pertama: Mengubah pola pikir dan membangun kesadaran
Al-Qur'an berulang kali menekankan bahwa semua manusia berasal dari satu asal usul, dan seruan ini diulang dalam Al-Qur'an Suci: "Hai anak Adam," "Hai manusia." Surah pertama dalam urutan Al-Qur'an adalah "Al-Fatihah," yang dimulai dengan "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," dan surah terakhir adalah "Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhan manusia.
Menekankan bahwa perbedaan antara orang-orang di dunia ini hanya disebabkan oleh upaya psikologis, moral, spiritual, dan praktis yang mereka lakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain, dan bahwa jenis kelamin, warna kulit, atau ras tidak berperan dalam menentukan status seseorang.
Saling mengenal adalah tujuan dari perbedaan dalam penciptaan, sebagaimana Allah SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al-Hujurat: 13)
Kedua: Pengakuan dan penerapan hak asasi manusia
Islam tidak berhenti pada pembahasan tentang kesetaraan dan persaudaraan universal, melainkan menetapkan hukum dan perundang-undangan yang melindungi martabat manusia dan menjaga hak-hak kaum lemah. Islam mewajibkan zakat untuk melindungi hak-hak kaum fakir, miskin, dan mereka yang membutuhkan. Islam menganjurkan untuk merawat anak yatim agar mereka tidak merasa kehilangan dan diperlakukan tidak adil. Islam menghormati status perempuan, mengangkat derajat mereka, dan memulihkan martabat mereka. Ketika Islam datang, Islam menetapkan rencana untuk mengeringkan sumber-sumber perbudakan dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap mereka, memperlakukan mereka dengan baik, mengambil manfaat dari mereka, dan melindungi hak-hak mereka. Islam membuka pintu pembebasan dan mendorongnya, serta menjadikan banyak penebusan dosa sebagai titik awal pembebasan budak. Bahkan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar biasa membebaskan budak yang salat. Salah satu dari mereka akan berpura-pura salat untuk mendapatkan kebebasannya. Ketika diberitahu, "Mereka menipu kalian," ia berkata, "Barangsiapa menipu kami demi Allah, kami akan tertipu olehnya."
Nabi, saw, menikahkan Zaid bin Haritsah—yang bukan dari keturunan bangsawan—dengan Zainab binti Jahsy, seorang keturunan bangsawan. Kemudian beliau mengangkatnya menjadi anak angkat, menandai era baru dalam perlakuan terhadap manusia. Perbudakannya di masa lalu tidak menghalangi beliau untuk menjadi panglima pasukan Muslim dalam Perang Mu'tah, sebagaimana usia muda putranya, Usamah, tidak menghalangi beliau, atas perintah Rasulullah, saw, untuk memimpin pasukan, yang terdiri dari para sahabat terkemuka.
Inilah Bilal bin Rabah, semoga Allah meridhoinya, seorang budak kulit hitam yang memiliki kedudukan paling tinggi di hati para sahabat dan hati umat.
Ketiga: Melindungi hak asasi manusia
Tidaklah cukup hanya mendeklarasikan hak; harus ada badan yang menjaganya, melaksanakannya, dan memantau kemungkinan pelanggarannya.
Mungkin konstitusi tertua di dunia adalah Piagam Madinah, yang menciptakan masyarakat bersatu di mana semua orang setara, didirikan atas prinsip-prinsip kewarganegaraan dan persatuan dalam keberagaman. Piagam tersebut menjamin bahwa non-Muslim akan hidup damai dan aman bersama saudara-saudara Muslim mereka.
Ketika seorang Yahudi dituduh mencuri secara tidak adil, Al-Qur'an diturunkan untuk menyatakan ketidakbersalahannya dan menolak berteman dengan para pengkhianat. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya, agar kamu memutuskan perkara di antara manusia menurut apa yang telah Allah tunjukkan kepadamu. Dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang curang." (An-Nisa': 105)
Islam menolak segala bentuk diskriminasi antarmanusia, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Hujurat. Tidak ada ruang untuk ejekan, ghibah, sindiran, atau fitnah. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum lain, barangkali mereka lebih baik dari mereka; dan janganlah perempuan-perempuan mengejek perempuan-perempuan lain, barangkali mereka lebih baik dari mereka. Dan janganlah kamu saling mencaci dan janganlah kamu saling memanggil dengan sebutan-sebutan yang buruk. Seburuk-buruknya nama kemaksiatan setelah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Hujurat: 11)
Dan ketika Abu Dzar Al-Ghifari menghina Bilal dan mengejeknya tentang ibunya, dengan berkata: “Wahai putra seorang wanita berkulit hitam,” Nabi, saw, berkata kepadanya dengan marah: “Putra seorang wanita berkulit putih tidak memiliki keunggulan atas putra seorang wanita berkulit hitam.”
Nabi Muhammad saw., saat Haji Wada, bersabda dan menegaskan bahwa semua manusia adalah bersaudara, dan bahwa Tuhan dan Bapak mereka adalah satu. Beliau saw., bersabda: "Wahai manusia, Tuhan kalian satu, dan Bapak kalian satu. Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, tidak ada keutamaan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keutamaan orang kulit merah atas orang kulit hitam, tidak ada keutamaan orang kulit hitam atas orang kulit merah, kecuali karena takwa." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Hadits ini menunjukkan prinsip agung Islam, yaitu keadilan di antara manusia, dan tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan ras, penampilan, warna kulit, atau negara. Allah, Yang Maha Tinggi, berfirman: (Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.) Kriteria pembeda antarmanusia adalah ketakwaan, keimanan, amal shaleh, akhlak yang luhur, dan berbuat baik kepada sesama. Hadits ini menjelaskan bahwa umat manusia memiliki satu Tuhan, dan asal usul mereka satu, yaitu Adam, bapak umat manusia, saw. Oleh karena itu, tidak seorang pun boleh lebih unggul dari yang lain, dan tidak seorang pun orang Arab boleh lebih mengutamakan dirinya sendiri daripada non-Arab (yaitu, orang yang tidak berbicara bahasa Arab), atau non-Arab daripada orang Arab. Baik yang merah maupun yang hitam tidak dapat mengalahkan yang merah, kecuali melalui ketakwaan dan keimanan. Dalam hadits ini terdapat seruan kepada manusia agar meninggalkan sikap sombong terhadap bapak-bapak, keturunan, silsilah dan negaranya serta meninggalkan sikap fanatik terhadap semuanya, karena hal itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun.