Tamer Badr

Pertanyaan dan Jawaban Islam

Kami hadir di sini untuk membuka jendela Islam yang jujur, tenang, dan penuh hormat.

Di bagian ini, dengan senang hati kami memperkenalkan Anda kepada agama Islam sebagaimana adanya, dari sumber aslinya, jauh dari kesalahpahaman dan stereotip umum. Islam bukanlah agama yang khusus diperuntukkan bagi orang Arab atau wilayah tertentu di dunia, melainkan pesan universal bagi semua orang, yang menyerukan tauhid, keadilan, perdamaian, dan kasih sayang.

Di sini Anda akan menemukan artikel yang jelas dan sederhana yang menjelaskan kepada Anda:
• Apa itu Islam?
• Siapakah Nabi Muhammad, semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian?
• Apa yang diyakini umat Muslim?
• Apa posisi Islam terhadap perempuan, sains, dan kehidupan?

Kami hanya meminta Anda membaca dengan pikiran terbuka dan hati yang tulus dalam mencari kebenaran.

Tanya Jawab tentang Islam

Kepercayaan kepada Sang Pencipta

Seseorang harus beriman, baik kepada Tuhan yang benar maupun kepada tuhan yang palsu. Ia boleh menyebut-Nya tuhan atau sesuatu yang lain. Tuhan ini bisa berupa pohon, bintang di langit, perempuan, atasan, teori ilmiah, atau bahkan hasrat pribadi. Namun, ia harus beriman kepada sesuatu yang ia ikuti, sucikan, kembalikan dalam hidupnya, dan bahkan mungkin rela mati untuknya. Inilah yang kita sebut penyembahan. Menyembah Tuhan yang benar membebaskan seseorang dari "perbudakan" terhadap orang lain dan masyarakat.

Tuhan yang sejati adalah Sang Pencipta, dan menyembah siapa pun selain Tuhan yang sejati berarti mengklaim bahwa mereka adalah tuhan, dan Tuhan pastilah Sang Pencipta, dan bukti bahwa Dia adalah Sang Pencipta adalah dengan mengamati apa yang Dia ciptakan di alam semesta, atau melalui wahyu dari Tuhan yang telah terbukti sebagai Sang Pencipta. Jika tidak ada bukti untuk klaim ini, baik dari penciptaan alam semesta yang kasat mata, maupun dari firman Tuhan Sang Pencipta, maka tuhan-tuhan ini sudah pasti palsu.

Kita mencatat bahwa di masa-masa sulit, manusia berpaling kepada satu kebenaran dan berharap kepada satu Tuhan, dan tidak lebih. Sains telah membuktikan kesatuan materi dan kesatuan tatanan di alam semesta dengan mengidentifikasi manifestasi dan fenomena alam semesta, serta dengan meneliti persamaan dan kemiripan dalam keberadaan.

Lalu, mari kita bayangkan, pada tingkat sebuah keluarga, ketika ayah dan ibu berselisih pendapat tentang keputusan penting yang menyangkut keluarga, dan korban dari perselisihan mereka adalah hilangnya anak-anak dan hancurnya masa depan mereka. Lalu bagaimana dengan dua dewa atau lebih yang menguasai alam semesta?

Allah SWT berfirman:

Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan binasa. Maka Maha Tinggi Allah, Tuhan 'Arsy, dari apa yang mereka gambarkan. (Al-Anbiya: 22)

Kami juga menemukan bahwa:

Keberadaan Sang Pencipta pastilah mendahului keberadaan waktu, ruang, dan tenaga, dan berdasarkan itu, alam tidak mungkin menjadi sebab terciptanya alam semesta, sebab alam sendiri terdiri dari waktu, ruang, dan tenaga, dan dengan demikian sebab itu pasti telah ada sebelum keberadaan alam.

Sang Pencipta pastilah mahakuasa, artinya memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.

Dia harus memiliki kekuatan untuk mengeluarkan perintah untuk memulai penciptaan.

Ia harus memiliki kemahatahuan, yaitu memiliki pengetahuan lengkap tentang segala hal.

Dia haruslah satu dan individu, Dia tidak harus membutuhkan sebab lain untuk ada bersama-Nya, Dia tidak harus berinkarnasi dalam bentuk makhluk-Nya yang mana pun, dan Dia tidak harus memiliki istri atau anak dalam keadaan apa pun, karena Dia haruslah merupakan gabungan sifat-sifat kesempurnaan.

Dia harus bijaksana dan tidak berbuat apa-apa kecuali dengan kebijaksanaan khusus.

Dia pasti adil, dan merupakan bagian dari keadilan-Nya untuk memberi pahala dan menghukum, serta berhubungan dengan umat manusia, karena Dia bukanlah Tuhan jika Dia menciptakan mereka lalu meninggalkan mereka. Itulah sebabnya Dia mengutus para utusan kepada mereka untuk menunjukkan jalan dan memberi tahu umat manusia tentang metode-Nya. Mereka yang mengikuti jalan ini pantas mendapatkan pahala, dan mereka yang menyimpang darinya pantas mendapatkan hukuman.

Umat Kristen, Yahudi, dan Muslim di Timur Tengah menggunakan kata "Allah" untuk menyebut Tuhan. Kata ini merujuk pada satu-satunya Tuhan yang benar, Tuhan Musa dan Yesus. Sang Pencipta telah mengidentifikasi diri-Nya dalam Al-Qur'an dengan nama "Allah" dan nama serta sifat-sifat lainnya. Kata "Allah" disebutkan 89 kali dalam Perjanjian Lama.

Salah satu sifat Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah: Sang Pencipta.

Dialah Allah, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Membuat, Yang Maha Membentuk. Bagi-Nya-lah nama-nama yang terbaik. Segala yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [2] (Al-Hasyr: 24).

Yang Awal, yang sebelumnya tidak ada sesuatu pun, dan Yang Akhir, yang sesudahnya tidak ada sesuatu pun: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Nyata dan Yang Kekal, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” [3] (Al-Hadid: 3).

Yang Maha Pengatur, yang Maha Mengatur: Dialah yang mengatur urusan dari langit ke bumi…[4] (As-Sajdah: 5).

Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa: … Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa [5] (Fatir: 44).

Dia tidak menyerupai bentuk makhluk-Nya sedikit pun: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [6] (Ash-Shura: 11).

Dia tidak mempunyai sekutu bagi-Nya dan tidak mempunyai anak. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (1) Tuhan, Tempat berlindung yang kekal, (2) Dia tidak beranak dan tidak dilahirkan, (3) dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [7] (Al-Ikhlas 1-4).

Yang Maha Bijaksana: …Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[8] (An-Nisa’: 111).

Keadilan: …dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun [9] (Al-Kahfi: 49).

Pertanyaan ini bermula dari kesalahpahaman tentang Sang Pencipta dan menyamakan-Nya dengan ciptaan. Konsep ini ditolak secara rasional dan logis. Misalnya:

Bisakah manusia menjawab pertanyaan sederhana: Seperti apa aroma warna merah? Tentu saja, tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini karena merah tidak tergolong warna yang dapat dicium.

Produsen suatu produk atau barang, seperti televisi atau kulkas, menetapkan aturan dan regulasi untuk penggunaan perangkat tersebut. Instruksi ini tertulis dalam sebuah buku yang menjelaskan cara penggunaan perangkat dan disertakan dalam perangkat tersebut. Konsumen wajib mengikuti dan mematuhi instruksi ini jika ingin memanfaatkan perangkat sebagaimana mestinya, sementara produsen tidak terikat oleh peraturan ini.

Dari contoh-contoh sebelumnya, kita memahami bahwa setiap sebab memiliki penyebab, tetapi Tuhan tidak disebabkan dan tidak tergolong di antara segala sesuatu yang dapat diciptakan. Tuhan didahulukan sebelum segala sesuatu; Dia adalah penyebab utama. Meskipun hukum kausalitas merupakan salah satu hukum kosmik Tuhan, Tuhan Yang Mahakuasa mampu melakukan apa pun yang Dia kehendaki dan memiliki kekuasaan absolut.

Kepercayaan kepada Sang Pencipta didasarkan pada fakta bahwa segala sesuatu tidak muncul tanpa sebab, belum lagi bahwa alam semesta material yang luas dan berpenghuni beserta makhluk-makhluknya memiliki kesadaran tak berwujud dan mematuhi hukum matematika immaterial. Untuk menjelaskan keberadaan alam semesta material yang terbatas, kita membutuhkan sumber yang independen, immaterial, dan abadi.

Peluang tidak mungkin menjadi asal mula alam semesta, karena peluang bukanlah penyebab utama. Melainkan, peluang merupakan konsekuensi sekunder yang bergantung pada keberadaan faktor-faktor lain (keberadaan waktu, ruang, materi, dan energi) agar sesuatu terjadi secara kebetulan. Kata "peluang" tidak dapat digunakan untuk menjelaskan apa pun, karena peluang bukanlah apa-apa.

Misalnya, jika seseorang masuk ke kamarnya dan mendapati jendelanya pecah, ia akan bertanya kepada keluarganya siapa yang memecahkannya, dan mereka akan menjawab, "Pecah karena tidak sengaja." Jawaban ini salah, karena yang ditanyakan bukan bagaimana jendela itu pecah, melainkan siapa yang memecahkannya. Kebetulan menggambarkan tindakan, bukan subjeknya. Jawaban yang benar adalah, "Si Anu memecahkannya," lalu jelaskan apakah orang yang memecahkannya melakukannya secara tidak sengaja atau sengaja. Hal ini berlaku persis untuk alam semesta dan semua ciptaan.

Jika kita bertanya siapa yang menciptakan alam semesta dan semua makhluk, dan beberapa orang menjawab bahwa mereka muncul secara kebetulan, maka jawabannya salah. Kita tidak bertanya bagaimana alam semesta muncul, melainkan siapa yang menciptakannya. Oleh karena itu, kebetulan bukanlah penyebab maupun pencipta alam semesta.

Pertanyaannya kemudian: Apakah Sang Pencipta alam semesta menciptakannya secara kebetulan atau sengaja? Tentu saja, tindakan dan hasilnyalah yang memberi kita jawabannya.

Jadi, jika kita kembali ke contoh jendela, misalkan seseorang masuk ke kamarnya dan menemukan kaca jendela pecah. Ia bertanya kepada keluarganya siapa yang memecahkannya, dan mereka menjawab, "Si Anu memecahkannya secara kebetulan." Jawaban ini dapat diterima dan masuk akal, karena memecahkan kaca adalah kejadian acak yang dapat terjadi secara kebetulan. Namun, jika orang yang sama masuk ke kamarnya keesokan harinya dan menemukan kaca jendela telah diperbaiki dan kembali ke keadaan semula, lalu bertanya kepada keluarganya, "Siapa yang memperbaikinya secara kebetulan?", mereka akan menjawab, "Si Anu memperbaikinya secara kebetulan." Jawaban ini tidak dapat diterima, dan bahkan mustahil secara logis, karena tindakan memperbaiki kaca bukanlah tindakan acak; melainkan tindakan terorganisir yang diatur oleh hukum. Pertama, kaca yang rusak harus dilepas, kusen jendela dibersihkan, kemudian kaca baru dipotong sesuai ukuran kusen, kemudian kaca diikat ke kusen dengan karet, dan kemudian kusen dipasang pada tempatnya. Semua tindakan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan dilakukan dengan sengaja. Aturan rasional menyatakan bahwa jika suatu tindakan bersifat acak dan tidak tunduk pada suatu sistem, tindakan tersebut mungkin terjadi secara kebetulan. Namun, suatu tindakan yang terorganisir dan saling terkait atau suatu tindakan yang dihasilkan dari suatu sistem tidak dapat terjadi secara kebetulan, melainkan terjadi secara kebetulan.

Jika kita mengamati alam semesta dan makhluk-makhluknya, kita akan menemukan bahwa mereka diciptakan dalam sistem yang presisi, dan bahwa mereka beroperasi serta tunduk pada hukum-hukum yang presisi dan tepat. Oleh karena itu, kita katakan: Secara logika mustahil alam semesta dan makhluk-makhluknya diciptakan secara kebetulan. Sebaliknya, mereka diciptakan dengan sengaja. Dengan demikian, kebetulan sepenuhnya disingkirkan dari persoalan penciptaan alam semesta. [10] Yaqeen Channel untuk Kritik Ateisme dan Irreligius. https://www.youtube.com/watch?v=HHASgETgqxI

Di antara bukti adanya Sang Pencipta adalah:

1- Bukti penciptaan dan keberadaan:

Artinya, terciptanya alam semesta dari ketiadaan, menunjukkan eksistensi Tuhan Sang Pencipta.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. [11] (Al Imran: 190).

2- Bukti kewajiban:

Jika kita mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki sumber, dan bahwa sumber ini memiliki sumber, dan jika urutan ini berlanjut selamanya, maka logis bahwa kita sampai pada awal atau akhir. Kita harus sampai pada sumber yang tidak memiliki sumber, dan inilah yang kita sebut "penyebab fundamental", yang berbeda dari peristiwa primer. Misalnya, jika kita berasumsi bahwa Big Bang adalah peristiwa primer, maka Sang Pencipta adalah penyebab primer yang menyebabkan peristiwa ini.

3- Panduan untuk penguasaan dan ketertiban:

Artinya, ketepatan susunan dan hukum alam semesta menunjukkan eksistensi Tuhan Sang Pencipta.

Dia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat sedikit pun ketidaksesuaian dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah kembali, apakah kamu melihat suatu cacat? [12] (Al-Mulk: 3).

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir [13] (Al-Qamar: 49).

4-Panduan Perawatan:

Alam semesta diciptakan sedemikian rupa agar sesuai dengan penciptaan manusia, dan bukti ini disebabkan oleh sifat-sifat keindahan dan rahmat ilahi.

Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu menghasilkan dengan air itu berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Dan Dia menundukkan untukmu bahtera agar bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia menundukkan untukmu sungai-sungai. [14] (Ibrahim: 32).

5- Panduan untuk penaklukan dan pengelolaan:

Hal ini ditandai dengan sifat-sifat keagungan dan kekuasaan ilahi.

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya kamu memperoleh kehangatan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. (5) Dan bagimu pada binatang-binatang itu terdapat perhiasan, ketika kamu menggiringnya dan ketika kamu melepaskannya ke padang rumput. (6) Dan binatang-binatang itu mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak akan pernah sampai di sana, melainkan dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (7) Dan (Dialah) yang menunggangi kuda, bagal, dan keledai, dan (pula) sebagai perhiasan bagimu. Dan Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui. Kamu mengetahuinya. (15) (An-Nahl: 5-8)

6-Panduan Spesialisasi:

Maksudnya, apa yang kita lihat di alam semesta ini bisa saja bentuknya bermacam-macam, namun Allah SWT telah memilih bentuk yang terbaik.

Tahukah kamu tentang air yang kamu minum? Apakah kamu yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya? Dan Kami jadikan air itu payau, maka mengapa kamu tidak bersyukur? [16] (Al-Waqi’ah: 68-69-70).

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Tuhanmu memanjangkan bayang-bayang itu? Jika Dia menghendaki, tentu Dia menjadikannya tetap. Kemudian Kami jadikan matahari sebagai penunjuk jalan. [17] (Al-Furqan: 45).

Al-Quran menyebutkan kemungkinan untuk menjelaskan bagaimana alam semesta diciptakan dan ada[18]: Realitas Ilahi: Tuhan, Islam & Fatamorgana Atheisme..Hamza Andreas Tzortzi

Atau apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka benar-benar pencipta? Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi? Bahkan, mereka tidak yakin. Ataukah mereka memiliki perbendaharaan Tuhanmu, ataukah mereka benar-benar penguasa? [19] (At-Tur: 35-37).

Atau apakah mereka diciptakan dari ketiadaan?

Hal ini bertentangan dengan banyak hukum alam yang kita lihat di sekitar kita. Contoh sederhana, seperti mengatakan bahwa piramida Mesir diciptakan dari ketiadaan, sudah cukup untuk membantah kemungkinan ini.

Atau apakah mereka penciptanya?

Penciptaan Diri: Mungkinkah Alam Semesta Menciptakan Dirinya Sendiri? Istilah "diciptakan" mengacu pada sesuatu yang tidak ada dan menjadi ada. Penciptaan diri adalah kemustahilan yang logis dan praktis. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa penciptaan diri menyiratkan bahwa sesuatu ada dan tidak ada pada saat yang bersamaan, yang merupakan hal yang mustahil. Mengatakan bahwa manusia menciptakan dirinya sendiri menyiratkan bahwa ia ada sebelum ia ada!

Bahkan ketika beberapa skeptis berpendapat tentang kemungkinan penciptaan spontan pada organisme uniseluler, pertama-tama harus diasumsikan bahwa sel pertama ada untuk mendukung argumen ini. Jika kita berasumsi demikian, maka ini bukanlah penciptaan spontan, melainkan sebuah metode reproduksi (reproduksi aseksual), di mana keturunan muncul dari satu organisme dan mewarisi materi genetik dari induknya saja.

Banyak orang, ketika ditanya siapa yang menciptakan mereka, hanya menjawab, "Orang tua saya adalah alasan saya berada di dunia ini." Jawaban ini jelas dimaksudkan untuk singkat dan untuk menemukan jalan keluar dari dilema ini. Secara alami, manusia tidak suka berpikir mendalam dan berusaha keras. Mereka tahu bahwa orang tua mereka akan meninggal, dan mereka akan tetap hidup, diikuti oleh keturunan mereka yang akan memberikan jawaban yang sama. Mereka tahu bahwa mereka tidak terlibat dalam menciptakan anak-anak mereka. Jadi pertanyaan sebenarnya adalah: Siapa yang menciptakan umat manusia?

Atau apakah mereka menciptakan langit dan bumi?

Tidak ada seorang pun yang pernah mengklaim telah menciptakan langit dan bumi, kecuali Dia yang Maha Esa yang telah memerintahkan dan menciptakan. Dialah yang mengungkapkan kebenaran ini ketika Dia mengutus para utusan-Nya kepada umat manusia. Kebenarannya adalah bahwa Dia adalah Pencipta, Pencipta, dan Pemilik langit dan bumi serta segala sesuatu di antaranya. Dia tidak memiliki sekutu atau putra.

Allah SWT berfirman:

Katakanlah, “Panggillah kepada tuhan-tuhan yang kamu anggap sebagai tuhan selain Allah. Mereka itu tidak memiliki sedikit pun atom di langit dan di bumi, dan mereka tidak memiliki bagian apa pun pada keduanya, dan tidak ada seorang pun pendukung bagi-Nya di antara mereka.” [20] (Saba’: 22).

Contohnya adalah ketika sebuah tas ditemukan di tempat umum, dan tidak ada seorang pun yang datang untuk mengklaim kepemilikannya, kecuali satu orang yang memberikan spesifikasi tas dan isinya untuk membuktikan bahwa tas itu miliknya. Dalam hal ini, tas tersebut menjadi haknya, hingga orang lain muncul dan mengklaimnya sebagai miliknya. Hal ini sesuai dengan hukum manusia.

Adanya Sang Pencipta:

Semua ini membawa kita pada jawaban yang tak terelakkan: keberadaan Sang Pencipta. Anehnya, manusia selalu mencoba mengasumsikan banyak kemungkinan yang jauh dari kemungkinan ini, seolah-olah kemungkinan ini adalah sesuatu yang imajiner dan mustahil, yang keberadaannya tidak dapat dipercaya atau diverifikasi. Jika kita mengambil sikap yang jujur dan adil, dan perspektif ilmiah yang mendalam, kita akan sampai pada kebenaran bahwa Tuhan Sang Pencipta tak terselami. Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta, sehingga hakikat-Nya pastilah di luar pemahaman manusia. Adalah logis untuk berasumsi bahwa keberadaan kekuatan tak kasat mata ini tidak mudah diverifikasi. Kekuatan ini harus mengekspresikan dirinya dengan cara yang dianggapnya tepat bagi persepsi manusia. Manusia harus mencapai keyakinan bahwa kekuatan tak kasat mata ini adalah realitas yang ada, dan bahwa tidak ada jalan keluar dari kepastian kemungkinan terakhir dan tersisa ini untuk menjelaskan rahasia keberadaan ini.

Allah SWT berfirman:

Maka larilah kamu kepada Allah. Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata dari-Nya bagimu. [21] (Adh-Dhariyat: 50).

Kita harus percaya dan berserah diri kepada keberadaan Tuhan Sang Pencipta ini jika kita ingin mencari kebaikan abadi, kebahagiaan, dan keabadian.

Kita melihat pelangi dan fatamorgana, tapi itu tidak ada! Dan kita percaya pada gravitasi tanpa melihatnya, semata-mata karena sains fisika telah membuktikannya.

Allah SWT berfirman:

Tidak ada penglihatan yang dapat menangkap-Nya, tetapi Dia Maha Melihat segala penglihatan. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [22] (Al-An’am: 103).

Misalnya, dan hanya untuk memberi contoh, manusia tidak dapat mendeskripsikan sesuatu yang tidak berwujud seperti sebuah “ide,” beratnya dalam gram, panjangnya dalam sentimeter, komposisi kimianya, warnanya, tekanannya, bentuknya, dan bayangannya.

Persepsi dibagi menjadi empat jenis:

Persepsi sensorik: seperti melihat sesuatu dengan indera penglihatan, misalnya.

Persepsi imajinatif: membandingkan gambaran sensorik dengan ingatan dan pengalaman sebelumnya.

Persepsi ilusi: merasakan perasaan orang lain, seperti merasa anak Anda sedih, misalnya.

Dengan ketiga cara ini, manusia dan hewan berbagi.

Persepsi mental: Persepsi yang membedakan manusia saja.

Kaum ateis berusaha menghapuskan persepsi semacam ini untuk menyamakan manusia dengan hewan. Persepsi rasional merupakan jenis persepsi yang paling kuat, karena pikiranlah yang mengoreksi indra. Ketika seseorang melihat fatamorgana, misalnya, seperti yang telah disebutkan pada contoh sebelumnya, peran pikiran adalah memberi tahu pemiliknya bahwa ini hanyalah fatamorgana, bukan air, dan bahwa kemunculannya semata-mata disebabkan oleh pantulan cahaya di pasir, dan bahwa fatamorgana tidak memiliki dasar keberadaan. Dalam hal ini, indra telah menipunya dan pikiran telah membimbingnya. Kaum ateis menolak bukti rasional dan menuntut bukti material, memperindah istilah ini dengan istilah "bukti ilmiah". Bukankah bukti rasional dan logis juga ilmiah? Sebenarnya, bukti tersebut ilmiah, tetapi bukan material. Bayangkan bagaimana reaksinya jika seseorang yang hidup di planet Bumi lima ratus tahun yang lalu dihadapkan dengan gagasan tentang keberadaan mikroba kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. [23] https://www.youtube.com/watch?v=P3InWgcv18A Fadel Suleiman.

Meskipun pikiran dapat memahami keberadaan Sang Pencipta dan beberapa sifat-Nya, ia memiliki keterbatasan, dan ia mungkin memahami kebijaksanaan beberapa hal dan tidak memahami hal lainnya. Sebagai contoh, tidak seorang pun dapat memahami kebijaksanaan dalam pikiran seorang fisikawan seperti Einstein, misalnya.

Dan bagi Allah lah teladan yang paling tinggi. Menganggap bahwa engkau mampu memahami Allah sepenuhnya adalah definisi dari ketidaktahuan akan-Nya. Mobil mungkin membawamu ke pantai, tetapi mobil itu tidak akan mengizinkanmu untuk mengarunginya. Misalnya, jika saya bertanya kepadamu berapa liter air laut, dan engkau menjawab dengan angka berapa pun, maka engkau bodoh. Jika engkau menjawab "Aku tidak tahu," maka engkau berpengetahuan. Satu-satunya cara untuk mengenal Allah adalah melalui tanda-tanda-Nya di alam semesta dan ayat-ayat Al-Qur'an-Nya. [24] Dari sabda Syekh Muhammad Rateb al-Nabulsi.

Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah: Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'. Akal budi tunduk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dan kepada apa yang ditunjukkan oleh akal budi yang sehat dan tidak bertentangan dengan wahyu. Allah telah menjadikan akal budi yang dipandu oleh ayat-ayat kosmik dan hal-hal indrawi yang menjadi saksi kebenaran wahyu dan tidak bertentangan dengannya.

Allah SWT berfirman:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian mengulanginya lagi? Sesungguhnya, yang demikian itu mudah bagi Allah. (19) Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana Dia memulai penciptaan. Kemudian Allah akan menyempurnakan penciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [25] (Al-Ankabut: 19-20).

Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah diwahyukan-Nya [26] (An-Najm: 10).

Hal terindah tentang sains adalah ia tak terbatas. Semakin kita mendalami sains, semakin banyak pula ilmu baru yang kita temukan. Kita takkan pernah mampu memahami semuanya. Orang terpintar adalah orang yang mencoba memahami segalanya, dan orang terbodoh adalah orang yang berpikir ia akan memahami segalanya.

Allah SWT berfirman:

Katakanlah: "Seandainya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu." [27] (Al-Kahfi: 109).

Misalnya, dan Tuhan adalah contoh terbaik, dan hanya untuk memberi gambaran, ketika seseorang menggunakan perangkat elektronik dan mengendalikannya dari luar, ia tidak dengan cara apa pun memasuki perangkat tersebut.

Sekalipun kita berkata bahwa Tuhan mampu melakukan ini karena Dia mampu melakukan segalanya, kita juga harus menerima bahwa Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa, kemuliaan bagi-Nya, tidak melakukan apa yang tidak sesuai dengan kemuliaan-Nya. Tuhan jauh di atas itu.

Misalnya, dan Tuhan mempunyai contoh yang paling tinggi: setiap pendeta atau orang yang memiliki kedudukan agama yang tinggi tidak akan keluar ke jalan umum dalam keadaan telanjang, meskipun ia dapat melakukannya, tetapi ia tidak akan keluar di depan umum dengan cara seperti itu, karena perilaku tersebut tidak sesuai dengan kedudukan agamanya.

Dalam hukum manusia, sebagaimana diketahui, melanggar hak raja atau penguasa tidak setara dengan kejahatan lainnya. Lalu bagaimana dengan hak Raja segala raja? Hak Allah SWT atas hamba-hamba-Nya adalah bahwa hanya Dia yang disembah, sebagaimana sabda Nabi (saw): "Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah bahwa mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun... Tahukah kalian apa hak hamba-hamba Allah jika mereka melakukannya?" Aku berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Beliau berkata: "Hak hamba-hamba Allah atas Allah adalah bahwa Dia tidak menghukum mereka."

Bayangkan saja kita memberi seseorang hadiah, lalu mereka berterima kasih dan memuji orang lain. Tuhan adalah contoh terbaik. Beginilah keadaan hamba-hamba-Nya di hadapan Sang Pencipta. Tuhan telah menganugerahkan mereka nikmat yang tak terhitung, dan mereka pun berterima kasih kepada sesama. Dalam segala situasi, Sang Pencipta tidak bergantung pada mereka.

Penggunaan kata "kami" oleh Tuhan semesta alam untuk menggambarkan diri-Nya dalam banyak ayat Al-Qur'an menunjukkan bahwa hanya Dialah yang memiliki sifat-sifat keindahan dan keagungan. Kata ini juga mengungkapkan kekuasaan dan kebesaran dalam bahasa Arab, dan dalam bahasa Inggris disebut "royal we", di mana kata ganti jamak digunakan untuk merujuk pada seseorang yang memiliki kedudukan tinggi (seperti raja, monarki, atau sultan). Namun, Al-Qur'an selalu menekankan keesaan Tuhan dalam hal ibadah.

Allah SWT berfirman:

Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang menghendaki, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang menghendaki, hendaklah ia kafir.” [28] (Al-Kahfi: 29).

Sang Pencipta bisa saja memaksa kita untuk taat dan beribadah, namun pemaksaan tidak akan mencapai tujuan penciptaan manusia.

Kebijaksanaan ilahi terwakili dalam penciptaan Adam dan keistimewaannya dalam hal pengetahuan.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama makhluk, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, dan berfirman: "Beritahukanlah kepadaku nama-nama makhluk ini jika kamu orang-orang yang benar." [29] (Al-Baqarah: 31).

Dan memberinya kemampuan untuk memilih.

Dan Kami berfirman: "Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga, dan makanlah dari surga itu sebanyak-banyaknya jika kamu suka, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." [30] (Al-Baqarah: 35)

Dan dibukakanlah baginya pintu taubat dan kembali kepada-Nya, karena pilihan itu niscaya akan membawa kepada kesesatan, tergelincir dan maksiat.

Maka Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Allah memaafkannya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [31] (Al-Baqarah: 37).

Tuhan Yang Maha Esa menghendaki Adam menjadi penerus di Bumi.

Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi suatu pemerintahan yang berkuasa." Mereka menjawab: "Apakah Engkau akan menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal Kami bertasbih kepada-Mu dengan memuji dan menyucikan-Mu?" Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 30)

Kemauan dan kemampuan untuk memilih merupakan suatu berkat jika digunakan dan diarahkan dengan baik dan benar, dan merupakan kutukan jika dieksploitasi untuk maksud dan tujuan yang jahat.

Kemauan dan pilihan pastilah penuh dengan bahaya, godaan, perjuangan, dan pergulatan diri, dan itu semua tidak diragukan lagi merupakan derajat dan kehormatan yang lebih besar bagi manusia daripada penyerahan diri, yang membawa kepada kebahagiaan palsu.

Allah SWT berfirman:

Tidaklah sama orang-orang mukmin yang duduk (di rumah), kecuali orang-orang cacat, dengan orang-orang yang berjihad dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah telah melebihkan orang-orang yang berjihad dan berjuang dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk (di rumah), beberapa derajat. Dan Allah telah menjanjikan kebaikan kepada semuanya. Dan Allah telah melebihkan orang-orang yang berjihad dan berjuang atas orang-orang yang duduk (di rumah) dengan pahala yang besar. [33] (An-Nisa’: 95)

Apa gunanya pahala dan hukuman jika tidak ada pilihan yang membuat kita berhak menerima pahala?

Semua ini terlepas dari kenyataan bahwa ruang pilihan yang diberikan kepada manusia sebenarnya terbatas di dunia ini, dan Tuhan Yang Mahakuasa hanya akan meminta pertanggungjawaban kita atas kebebasan memilih yang telah Dia berikan. Kita tidak memiliki pilihan dalam keadaan dan lingkungan tempat kita dibesarkan, dan kita tidak memilih orang tua kita, juga tidak memiliki kendali atas penampilan dan warna kulit kita.

Ketika seseorang merasa dirinya sangat kaya dan sangat dermawan, ia akan mengundang teman-teman dan orang-orang yang dicintainya untuk makan dan minum.

Kualitas-kualitas kita ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang Tuhan miliki. Tuhan, Sang Pencipta, memiliki kualitas-kualitas keagungan dan keindahan. Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi. Dia menciptakan kita untuk menyembah-Nya, untuk mengasihani kita, untuk membahagiakan kita, dan untuk memberi kepada kita, jika kita sungguh-sungguh menyembah-Nya, menaati-Nya, dan menaati perintah-Nya. Semua kualitas manusia yang indah berasal dari kualitas-kualitas-Nya.

Dia menciptakan kita dan memberi kita kemampuan untuk memilih. Kita bisa memilih jalan ketaatan dan penyembahan, atau menyangkal keberadaan-Nya dan memilih jalan pemberontakan dan ketidaktaatan.

Allah SWT berfirman:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (56) Aku tidak menghendaki dari mereka suatu rezeki dan tidak pula Aku menghendaki mereka memberi Aku makan. (57) Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Memiliki kekuatan lagi Maha Teguh. [34] (Adh-Dhariyat: 56-58).

Persoalan independensi Tuhan terhadap ciptaan-Nya merupakan salah satu persoalan yang ditetapkan oleh teks dan akal budi.

Allah SWT berfirman:

…Sesungguhnya Allah Maha Kaya terhadap semesta alam [35] (Al-Ankabut: 6).

Adapun akal, telah ditetapkan bahwa Sang Pencipta kesempurnaan itu bercirikan sifat-sifat kesempurnaan mutlak, dan salah satu sifat kesempurnaan mutlak ialah bahwa Dia tidak membutuhkan apa pun selain Diri-Nya sendiri, karena kebutuhan-Nya terhadap apa pun selain Diri-Nya sendiri merupakan sifat kekurangan yang darinya, Maha Suci Dia, Dia sangat jauh.

Ia membedakan jin dan manusia dari semua makhluk lainnya melalui kebebasan memilih mereka. Keistimewaan manusia terletak pada pengabdian langsungnya kepada Tuhan semesta alam dan pengabdian tulusnya kepada-Nya atas kehendak bebasnya sendiri. Dengan demikian, ia memenuhi kebijaksanaan Sang Pencipta dalam menempatkan manusia di garda terdepan di antara semua ciptaan.

Pengetahuan tentang Tuhan semesta alam dicapai melalui pemahaman atas nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang agung, yang terbagi menjadi dua kelompok dasar:

Nama-nama keindahan: Yaitu semua sifat yang berhubungan dengan belas kasihan, pengampun, dan kebaikan, termasuk Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi, Yang Maha Benar, Yang Maha Penyayang, dan sebagainya.

Nama-nama Keagungan: Yaitu setiap sifat yang berhubungan dengan kekuatan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan, termasuk Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Qahar, Al-Qadib, Al-Khafidh, dan lain-lain.

Mengenal sifat-sifat Allah SWT mengharuskan kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, keagungan-Nya, dan melampaui segala yang tidak pantas bagi-Nya, mencari rahmat-Nya, dan menghindari murka serta hukuman-Nya. Beribadah kepada-Nya mencakup menaati perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta melakukan perbaikan dan pembangunan di bumi. Berdasarkan hal ini, konsep kehidupan duniawi menjadi ujian dan cobaan bagi umat manusia, agar mereka dapat dimuliakan dan Allah mengangkat derajat orang-orang yang bertakwa, sehingga layak mendapatkan suksesi di bumi dan warisan surga di akhirat. Sementara itu, orang-orang yang rusak akan dipermalukan di dunia ini dan akan dihukum di Neraka.

Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan untuknya, agar Kami menguji mereka siapa di antara mereka yang terbaik perbuatannya. [36] (Al-Kahfi: 7).

Masalah penciptaan manusia oleh Tuhan terkait dengan dua aspek:

Aspek yang berkaitan dengan kemanusiaan: Hal ini dijelaskan dengan jelas dalam Al-Qur’an, dan merupakan perwujudan ibadah kepada Allah agar memperoleh surga.

Aspek yang berkaitan dengan Sang Pencipta, Maha Suci-Nya: hikmat di balik penciptaan. Kita harus memahami bahwa hikmat hanya milik-Nya, dan bukan urusan ciptaan-Nya. Pengetahuan kita terbatas dan tidak sempurna, sementara pengetahuan-Nya sempurna dan mutlak. Penciptaan manusia, kematian, kebangkitan, dan akhirat semuanya merupakan bagian yang sangat kecil dari ciptaan. Ini adalah urusan-Nya, Maha Suci-Nya, dan bukan urusan malaikat, manusia, atau makhluk lainnya.

Para malaikat menanyakan pertanyaan ini kepada Tuhan mereka ketika Dia menciptakan Adam, dan Tuhan memberi mereka jawaban yang final dan jelas, sebagaimana Dia, Yang Mahakuasa, berfirman:

Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi suatu pemerintahan yang berkuasa." Mereka menjawab: "Apakah Engkau akan menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih kepada-Mu dengan memuji dan menyucikan-Mu?" Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 30)

Jawaban Allah atas pertanyaan para malaikat, bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui, menjelaskan beberapa hal: bahwa hikmah penciptaan manusia adalah milik-Nya semata, bahwa urusan itu sepenuhnya urusan Allah dan makhluk tidak ada hubungannya dengan itu, karena Dia Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki[38] dan Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah yang ditanya[39] dan bahwa sebab penciptaan manusia adalah ilmu dari ilmu Allah, yang tidak diketahui para malaikat, dan selama urusan itu terkait dengan ilmu Allah yang mutlak, maka Dia lebih mengetahui hikmah itu daripada mereka, dan tidak seorang pun di antara makhluk-Nya yang mengetahuinya kecuali dengan izin-Nya. (Al-Buruj: 16) (Al-Anbiya’: 23).

Jika Tuhan ingin memberi ciptaan-Nya kesempatan untuk memilih apakah akan ada di dunia ini atau tidak, maka keberadaan mereka harus disadari terlebih dahulu. Bagaimana manusia bisa berpendapat ketika mereka berada dalam ketiadaan? Persoalannya di sini adalah tentang ada dan tidak ada. Keterikatan manusia pada kehidupan dan ketakutannya terhadapnya merupakan bukti terbesar dari rasa puasnya atas berkat ini.

Keberkahan hidup merupakan ujian bagi umat manusia untuk membedakan orang baik yang ridha kepada Tuhannya dari orang jahat yang murka kepada-Nya. Kebijaksanaan Tuhan semesta alam dalam menciptakan manusia mengharuskan mereka dipilih sesuai keridhaan-Nya agar mereka dapat meraih kemuliaan-Nya di akhirat.

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa keraguan yang muncul dalam benak akan mengaburkan logika berpikir. Ini merupakan salah satu tanda keajaiban Al-Quran.

Seperti yang Tuhan katakan:

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dari ayat-ayat-Ku. Dan jika mereka melihat setiap ayat, mereka tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan petunjuk yang benar, mereka tidak akan menjadikannya sebagai jalan. Dan jika mereka melihat jalan yang sesat, mereka akan menjadikannya sebagai jalan. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan lalai terhadapnya. [40] (Al-A’raf: 146).

Tidaklah benar jika kita menganggap pengetahuan akan hikmat Allah dalam ciptaan-Nya sebagai salah satu hak yang kita tuntut, dan dengan demikian menahannya dari kita bukanlah ketidakadilan bagi kita.

Ketika Tuhan memberi kita kesempatan untuk hidup abadi dalam kebahagiaan abadi di surga yang di dalamnya terdapat sesuatu yang tak pernah didengar telinga, tak pernah dilihat mata, dan tak pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Ketidakadilan apa yang ada di sana?

Ia memberi kita kehendak bebas untuk memutuskan sendiri apakah kita memilihnya atau memilih siksaan.

Tuhan memberi tahu kita apa yang menanti kita dan memberi kita peta jalan yang sangat jelas untuk mencapai kebahagiaan ini dan menghindari siksaan.

Allah SWT mendorong kita dengan berbagai cara dan sarana untuk menempuh jalan menuju Surga dan berulang kali memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan menuju Neraka.

Allah SWT menuturkan kepada kita kisah-kisah para penghuni Surga dan bagaimana mereka mendapatkannya, dan kisah-kisah para penghuni Neraka dan bagaimana mereka menanggung siksaannya, agar kita dapat mengambil pelajaran.

Diceritakan tentang dialog-dialog yang terjadi antara penduduk surga dan penduduk neraka, agar kita dapat memahami hikmahnya dengan baik.

Allah memberi kita sepuluh kebaikan sebagai ganti satu kebaikan, dan satu keburukan sebagai ganti satu keburukan. Hal ini Allah sampaikan agar kita bersegera berbuat kebaikan.

Allah berfirman bahwa jika kita mengikuti perbuatan buruk dengan kebaikan, kebaikan itu akan menghapusnya. Kita mendapatkan sepuluh kebaikan, dan kebaikan itu dihapus dari kita.

Beliau berpesan bahwa taubat menghapus dosa sebelumnya, maka orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tidak berdosa.

Allah menjadikan orang yang memberi petunjuk kepada kebaikan seperti orang yang mengerjakannya.

Allah memudahkan kita meraih kebaikan. Dengan memohon ampunan, bertasbih kepada Allah, dan mengingat-Nya, kita dapat meraih kebaikan-kebaikan besar dan terbebas dari dosa-dosa tanpa kesulitan.

Semoga Allah membalas kita dengan sepuluh kebaikan untuk setiap huruf Al-Quran.

Tuhan mengganjar kita dengan pahala atas niat kita untuk berbuat baik, meskipun kita tidak mampu melakukannya. Dia tidak akan meminta pertanggungjawaban atas niat jahat kita jika kita tidak melakukannya.

Allah berjanji kepada kita, jika kita berinisiatif berbuat baik, maka Dia akan menambah petunjuk bagi kita, menganugerahkan kesuksesan bagi kita, dan memudahkan jalan kebaikan bagi kita.

Ketidakadilan apa yang ada dalam hal ini?

Sesungguhnya, Allah tidak saja memperlakukan kita dengan adil, tetapi juga dengan belas kasihan, kemurahan hati, dan kebaikan.

Agama yang dipilih Sang Pencipta untuk hamba-hamba-Nya

Agama merupakan suatu cara hidup yang mengatur hubungan seseorang dengan Sang Pencipta dan dengan orang-orang di sekitarnya, dan merupakan jalan menuju akhirat.

Kebutuhan akan agama lebih mendesak daripada kebutuhan akan makanan dan minuman. Manusia pada dasarnya religius; jika ia tidak menemukan agama yang benar, ia akan menciptakan agama baru, seperti yang terjadi pada agama-agama pagan yang diciptakan manusia. Manusia membutuhkan rasa aman di dunia ini, sama seperti ia membutuhkan rasa aman di tujuan akhir dan setelah kematian.

Agama yang benar adalah agama yang memberikan keamanan penuh bagi para pengikutnya di kedua dunia. Misalnya:

Jika kita berjalan di suatu jalan dan tidak tahu ujungnya, dan kita punya dua pilihan: mengikuti petunjuk pada rambu-rambu jalan, atau mencoba menebak, yang dapat menyebabkan kita tersesat dan mati.

Jika kita membeli TV dan mencoba mengoperasikannya tanpa mengacu pada petunjuk pengoperasian, kita akan merusaknya. TV dari produsen yang sama, misalnya, datang ke sini dengan buku petunjuk yang sama dengan TV dari negara lain, jadi kita harus menggunakannya dengan cara yang sama.

Jika seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, misalnya, orang lain itu harus memberitahukan kepadanya mengenai cara-cara yang memungkinkan, seperti menyuruhnya berbicara kepadanya lewat telepon dan bukan lewat email, dan ia harus menggunakan nomor telepon yang ia berikan secara pribadi kepadanya, dan ia tidak boleh menggunakan nomor lain.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menyembah Tuhan dengan mengikuti hawa nafsunya, karena mereka akan merugikan diri sendiri terlebih dahulu sebelum merugikan orang lain. Kita menemukan beberapa bangsa, untuk berkomunikasi dengan Tuhan Semesta Alam, menari dan bernyanyi di tempat ibadah, sementara yang lain bertepuk tangan untuk membangkitkan dewa sesuai keyakinan mereka. Beberapa menyembah Tuhan melalui perantara, membayangkan bahwa Tuhan datang dalam bentuk manusia atau batu. Tuhan ingin melindungi kita dari diri kita sendiri ketika kita menyembah sesuatu yang tidak bermanfaat maupun merugikan kita, dan bahkan menyebabkan kehancuran kita di akhirat. Menyembah apa pun selain Tuhan bersama-Nya dianggap sebagai dosa besar yang terbesar, dan hukumannya adalah kutukan kekal di Neraka. Bagian dari kebesaran Tuhan adalah bahwa Dia telah menciptakan sebuah sistem untuk kita semua ikuti, untuk mengatur hubungan kita dengan-Nya dan hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita. Sistem ini disebut agama.

Agama yang sejati haruslah sesuai dengan kodrat manusia, yang menghendaki adanya hubungan langsung dengan Sang Pencipta tanpa campur tangan perantara, dan yang mencerminkan kebajikan serta sifat-sifat baik dalam diri manusia.

Agama itu haruslah satu, mudah dan sederhana, mudah dipahami dan tidak rumit, dan berlaku di segala masa dan tempat.

Agama haruslah agama yang tetap untuk semua generasi, untuk semua negara, dan untuk semua golongan manusia, dengan berbagai hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia pada setiap zaman. Agama tidak boleh menerima penambahan atau pengurangan berdasarkan keinginan, sebagaimana halnya adat dan tradisi yang berasal dari manusia.

Agama harus mengandung keyakinan yang jelas dan tidak memerlukan perantara. Agama tidak boleh dipahami berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan bukti yang kuat dan terbukti.

Ia harus meliputi segala persoalan kehidupan, di segala waktu dan di segala tempat, dan harus sesuai untuk dunia dan akhirat, membangun jiwa dan tak lupa jasad.

Dia harus melindungi kehidupan orang-orang, menjaga kehormatan mereka, uang mereka, dan menghormati hak dan pikiran mereka.

Maka barangsiapa yang tidak mengamalkan amalan ini yang selaras dengan fitrahnya, maka ia akan mengalami kegoncangan, ketidakstabilan, sesak dada dan jiwa, ditambah siksaan akhirat.

Agama yang sejati haruslah sesuai dengan kodrat manusia, yang menghendaki adanya hubungan langsung dengan Sang Pencipta tanpa campur tangan perantara, dan yang mencerminkan kebajikan serta sifat-sifat baik dalam diri manusia.

Agama itu haruslah satu, mudah dan sederhana, mudah dipahami dan tidak rumit, dan berlaku di segala masa dan tempat.

Agama haruslah agama yang tetap untuk semua generasi, untuk semua negara, dan untuk semua golongan manusia, dengan berbagai hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia pada setiap zaman. Agama tidak boleh menerima penambahan atau pengurangan berdasarkan keinginan, sebagaimana halnya adat dan tradisi yang berasal dari manusia.

Agama harus mengandung keyakinan yang jelas dan tidak memerlukan perantara. Agama tidak boleh dipahami berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan bukti yang kuat dan terbukti.

Ia harus meliputi segala persoalan kehidupan, di segala waktu dan di segala tempat, dan harus sesuai untuk dunia dan akhirat, membangun jiwa dan tak lupa jasad.

Dia harus melindungi kehidupan orang-orang, menjaga kehormatan mereka, uang mereka, dan menghormati hak dan pikiran mereka.

Maka barangsiapa yang tidak mengamalkan amalan ini yang selaras dengan fitrahnya, maka ia akan mengalami kegoncangan, ketidakstabilan, sesak dada dan jiwa, ditambah siksaan akhirat.

Ketika umat manusia musnah, hanya yang hidup yang tersisa, yang abadi. Siapa pun yang mengatakan bahwa kepatuhan terhadap moralitas di bawah payung agama tidak penting adalah seperti seseorang yang menghabiskan dua belas tahun di sekolah dan kemudian berkata di akhir, "Saya tidak ingin gelar."

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami akan melihat kembali apa-apa yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan semuanya seperti debu yang beterbangan.”[41] (Al-Furqan: 23).

Mengembangkan bumi dan berakhlak mulia bukanlah tujuan agama, melainkan sarana! Tujuan agama adalah menyadarkan manusia akan Tuhannya, kemudian akan sumber keberadaannya, jalannya, dan takdirnya. Tujuan dan takdir yang baik hanya dapat dicapai dengan mengenal Tuhan semesta alam melalui ibadah kepada-Nya dan meraih keridhaan-Nya. Jalan menuju hal ini adalah melalui mengembangkan bumi dan berakhlak mulia, dengan syarat amal seorang hamba selalu mencari keridhaan-Nya.

Misalkan seseorang telah berlangganan lembaga jaminan sosial untuk menerima pensiun, dan perusahaan itu mengumumkan bahwa mereka tidak akan mampu membayar pensiun dan akan segera tutup, dan dia mengetahui hal ini, apakah dia akan terus berurusan dengan hal itu?

Ketika seseorang menyadari bahwa umat manusia pasti akan binasa, bahwa pada akhirnya umat manusia tidak akan mampu membalasnya, dan bahwa amalnya untuk umat manusia akan sia-sia, ia akan merasa sangat kecewa. Seorang mukmin adalah orang yang bekerja keras, berbuat baik kepada sesama, dan menolong umat manusia, tetapi semata-mata karena Allah. Dengan demikian, ia akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tidak ada gunanya seorang karyawan menjaga dan menghormati hubungannya dengan rekan kerja sambil mengabaikan hubungannya dengan atasannya. Oleh karena itu, agar kita dapat mencapai kebaikan dalam hidup dan orang lain menghormati kita, hubungan kita dengan Sang Pencipta haruslah yang terbaik dan terkuat.

Selain itu, kami bertanya, apa yang memotivasi seseorang untuk menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai, menghormati hukum, atau menghormati orang lain? Atau apa regulator yang mengendalikan seseorang dan memaksanya untuk berbuat baik dan bukan berbuat jahat? Jika mereka mengklaim bahwa hal itu terjadi karena kekuatan hukum, kami menjawab dengan mengatakan bahwa hukum tidak tersedia di setiap waktu dan tempat, dan hukum itu sendiri tidak cukup untuk menyelesaikan semua perselisihan di tingkat lokal dan internasional. Sebagian besar tindakan manusia terjadi tanpa hukum dan sorotan publik.

Bukti yang memadai akan perlunya agama adalah keberadaan sejumlah besar agama ini, yang dianut oleh mayoritas bangsa di dunia untuk mengatur kehidupan dan perilaku masyarakatnya berdasarkan hukum agama. Sebagaimana kita ketahui, satu-satunya kendali atas seseorang adalah keyakinan agamanya tanpa adanya hukum, dan hukum tidak dapat selalu hadir di tengah masyarakat, kapan pun dan di mana pun.

Satu-satunya penghalang dan pengekangan bagi manusia adalah keyakinan batin mereka bahwa ada seseorang yang mengawasi dan meminta pertanggungjawaban mereka. Keyakinan ini berakar kuat dan tertanam dalam hati nurani mereka, dan menjadi jelas ketika mereka hendak melakukan kesalahan. Kecenderungan mereka untuk berbuat baik dan jahat saling bertentangan, dan mereka berusaha menyembunyikan setiap tindakan yang memalukan dari publik, atau tindakan apa pun yang akan dikutuk oleh akal sehat. Semua ini merupakan bukti keberadaan sejati konsep agama dan keimanan yang terpendam dalam jiwa manusia.

Agama datang untuk mengisi kekosongan yang tidak dapat diisi oleh hukum buatan manusia atau mengikat pikiran dan hati, terlepas dari waktu dan tempat.

Motivasi atau dorongan untuk berbuat baik berbeda-beda pada setiap orang. Setiap orang memiliki motivasi dan minatnya masing-masing untuk melakukan atau mematuhi etika atau nilai-nilai tertentu. Misalnya:

Hukuman: Mungkin menjadi pencegah bagi seseorang untuk menghentikan kejahatannya terhadap orang lain.

Hadiah: Mungkin menjadi motivasi seseorang untuk berbuat baik.

Kepuasan diri: Ini mungkin kemampuan seseorang untuk mengendalikan hasrat dan hawa nafsunya. Setiap orang memiliki suasana hati dan hasrat, dan apa yang mereka sukai hari ini mungkin berbeda besok.

Pencegah agama: yaitu mengenal Tuhan, takut kepada-Nya, dan merasakan kehadiran-Nya di mana pun seseorang berada. Ini adalah motif yang kuat dan efektif [42]. Ateisme adalah lompatan iman yang besar, Dr. Raida Jarrar.

Agama memiliki dampak yang mendalam dalam menggugah perasaan dan emosi manusia, baik secara positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan bahwa naluri alami manusia didasarkan pada pengetahuan tentang Tuhan, dan pengetahuan ini seringkali dapat dieksploitasi, baik sengaja maupun tidak sengaja, sebagai motivasi untuk menggugah mereka. Hal ini membawa kita pada keseriusan agama dalam kesadaran manusia, dalam kaitannya dengan Sang Pencipta.

Peran akal budi adalah untuk menilai dan meyakini berbagai hal. Ketidakmampuan akal budi untuk mencapai tujuan keberadaan manusia, misalnya, tidak meniadakan perannya, melainkan memberi agama kesempatan untuk menginformasikan apa yang gagal dipahaminya. Agama menginformasikannya tentang Penciptanya, sumber keberadaannya, dan tujuan keberadaannya. Saat itulah ia memahami, menilai, dan meyakini informasi ini. Dengan demikian, mengakui keberadaan Sang Pencipta tidak melumpuhkan akal budi atau logika.

Banyak orang saat ini percaya bahwa cahaya berada di luar waktu, dan mereka tidak menerima bahwa Sang Pencipta tidak tunduk pada hukum ruang dan waktu. Ini berarti bahwa Tuhan Yang Mahakuasa ada sebelum segala sesuatu dan setelah segala sesuatu, dan tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang dapat melingkupi-Nya.

Banyak yang percaya bahwa ketika partikel-partikel terpisah satu sama lain, mereka tetap berkomunikasi satu sama lain pada saat yang bersamaan. Mereka menolak gagasan bahwa Sang Pencipta, dengan pengetahuan-Nya, menyertai hamba-hamba-Nya ke mana pun mereka pergi. Mereka percaya bahwa Dia memiliki pikiran tanpa melihatnya, dan mereka menolak kepercayaan kepada Tuhan tanpa melihatnya juga.

Banyak yang menolak mempercayai surga dan neraka, menerima keberadaan dunia lain yang belum pernah mereka lihat. Ilmu pengetahuan materialistis mengajarkan mereka untuk percaya dan menerima hal-hal yang tidak ada, seperti fatamorgana. Mereka percaya dan menerima hal ini, dan ketika manusia mati, fisika dan kimia tidak akan berguna, karena telah menjanjikan ketiadaan.

Seseorang tidak dapat menyangkal keberadaan penulis hanya dengan mengetahui kitab tersebut; keduanya bukanlah pengganti. Sains menemukan hukum-hukum alam semesta, tetapi tidak menetapkannya; Sang Penciptalah yang menetapkannya.

Beberapa orang beriman memiliki gelar lanjutan di bidang fisika dan kimia, namun mereka mengakui bahwa hukum-hukum universal ini didasarkan pada Sang Pencipta Agung. Ilmu pengetahuan materialistis yang diyakini kaum materialis telah menemukan hukum-hukum yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi sains tidak menciptakan hukum-hukum ini. Para ilmuwan tidak akan memiliki apa pun untuk dipelajari tanpa hukum-hukum yang diciptakan oleh Tuhan ini. Namun, iman bermanfaat bagi orang beriman di dunia ini dan akhirat, melalui pengetahuan dan pembelajaran mereka tentang hukum-hukum universal, yang meningkatkan iman mereka kepada Sang Pencipta.

Ketika seseorang terserang flu parah atau demam tinggi, ia mungkin tidak dapat meraih segelas air untuk diminum. Lalu, bagaimana ia bisa melepaskan hubungannya dengan Sang Pencipta?

Sains terus berubah, dan keyakinan penuh pada sains saja sudah menjadi masalah, karena penemuan-penemuan baru meruntuhkan teori-teori sebelumnya. Sebagian dari apa yang kita anggap sebagai sains tetaplah teoretis. Sekalipun kita berasumsi bahwa semua penemuan ilmiah sudah mapan dan akurat, kita masih punya masalah: sains saat ini memberikan semua kemuliaan kepada penemunya dan mengabaikan penciptanya. Misalnya, anggaplah seseorang masuk ke sebuah ruangan dan menemukan sebuah lukisan yang indah dan diukir dengan sangat indah, lalu keluar untuk memberi tahu orang-orang tentang penemuan ini. Semua orang kagum pada orang yang menemukan lukisan itu dan lupa menanyakan pertanyaan yang lebih penting: "Siapa yang melukisnya?" Inilah yang dilakukan manusia; mereka menjadi begitu terkesan oleh penemuan-penemuan ilmiah tentang hukum-hukum alam dan ruang sehingga mereka melupakan kreativitas Dia yang menciptakan hukum-hukum ini.

Dengan ilmu material, seseorang dapat membuat roket, tetapi dengan ilmu ini, ia tidak dapat menilai keindahan sebuah lukisan, misalnya, atau memperkirakan nilai suatu benda, juga tidak dapat mengetahui baik dan buruk. Dengan ilmu material, kita tahu bahwa peluru dapat membunuh, tetapi kita tidak tahu bahwa menggunakannya untuk membunuh orang lain adalah tindakan yang salah.

Fisikawan ternama Albert Einstein pernah berkata: "Sains tidak bisa menjadi sumber moralitas. Tidak diragukan lagi bahwa sains memiliki landasan moral, tetapi kita tidak bisa berbicara tentang landasan ilmiah untuk moralitas. Semua upaya untuk menundukkan moralitas pada hukum dan persamaan sains telah gagal dan akan terus gagal."

Filsuf Jerman ternama, Immanuel Kant, berkata: "Bukti moral keberadaan Tuhan didasarkan pada tuntutan keadilan, karena orang baik harus diberi pahala, dan orang jahat harus dihukum. Hal ini hanya akan terjadi di hadapan sumber yang lebih tinggi yang meminta pertanggungjawaban setiap orang atas apa yang telah dilakukannya. Buktinya juga didasarkan pada apa yang dituntut oleh kemungkinan menggabungkan kebajikan dan kebahagiaan, karena keduanya tidak dapat digabungkan kecuali di hadapan sesuatu yang berada di atas kodrat, yaitu Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Sumber yang lebih tinggi ini dan makhluk supernatural mewakili Tuhan."

Kenyataannya, agama adalah sebuah komitmen dan tanggung jawab. Agama membuat hati nurani waspada dan mendorong orang beriman untuk bertanggung jawab atas setiap hal, baik kecil maupun besar. Orang beriman bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya, tetangganya, bahkan orang yang lewat. Ia mengambil tindakan pencegahan dan berserah diri kepada Tuhan. Saya rasa hal-hal ini bukanlah ciri-ciri pecandu opium [43]. Opium adalah zat narkotika yang diekstrak dari tanaman opium dan digunakan untuk memproduksi heroin.

Candu sejati bagi massa adalah ateisme, bukan iman. Ateisme mengajak para pengikutnya kepada materialisme, meminggirkan hubungan mereka dengan Sang Pencipta dengan menolak agama dan mengabaikan tanggung jawab serta kewajiban. Ateisme mendorong mereka untuk menikmati momen apa pun konsekuensinya. Mereka berbuat sesuka hati, aman dari hukuman duniawi, percaya bahwa tidak ada pengawasan atau pertanggungjawaban ilahi, tidak ada kebangkitan, dan tidak ada pertanggungjawaban. Bukankah ini benar-benar gambaran tentang para pecandu?

Agama yang benar dapat dibedakan dari agama-agama lain melalui tiga poin dasar[44]: Dikutip dari buku The Myth of Atheism, oleh Dr. Amr Sharif, edisi 2014.

Sifat-sifat Sang Pencipta atau Tuhan dalam agama ini.

Ciri-ciri Utusan atau Nabi.

Isi pesan.

Pesan ilahi atau agama harus mengandung uraian dan penjelasan tentang sifat-sifat keindahan dan keagungan Sang Pencipta, dan definisi tentang Diri-Nya dan hakikat-Nya, serta bukti-bukti keberadaan-Nya.

Katakanlah, “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. (1) Allah, Tempat berlindung yang kekal. (2) Dia tidak beranak dan tidak dilahirkan. (3) Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” [45] (Al-Ikhlas 1-4).

Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Suci, Yang Maha Memberi Kesejahteraan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Memaksa, Yang Maha Agung. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan-Nya. Dialah Allah, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Membuat, Yang Maha Membentuk. Bagi-Nya-lah nama-nama yang terbaik. Yang terbaik. Segala yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [46] (Al-Hashr 22-24).

Adapun konsep Rasul dan sifat-sifatnya, agama atau risalah samawi:

1- Jelaskan bagaimana Sang Pencipta berkomunikasi dengan Sang Pembawa Pesan.

Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang telah diturunkan. [47] (Taha: 13).

2- Jelaslah bahwa para nabi dan rasul bertanggung jawab menyampaikan risalah Allah.

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu…[48] (Al-Ma’idah: 67).

3- Jelaslah bahwa para utusan itu tidak datang untuk mengajak manusia menyembah mereka, tetapi untuk menyembah Allah semata.

Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah memberinya Kitab, hikmah, dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia: "Jadilah kamu hamba-Ku selain Allah!", tetapi jadilah kamu orang-orang yang taat kepada Allah, karena kamu telah diberi Kitab dan karena kamu selalu mempelajarinya. [49] (QS. Ali Imran: 79).

4- Menegaskan bahwa para nabi dan rasul merupakan puncak kesempurnaan manusia yang terbatas.

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung. [50] (Al-Qalam: 4).

5- Menegaskan bahwa para utusan itu merupakan suri tauladan bagi umat manusia.

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” [51] (Al-Ahzab: 21).

Mustahil untuk menerima suatu agama yang teksnya menceritakan kepada kita bahwa para nabinya adalah pezina, pembunuh, penjahat, dan pengkhianat, ataupun suatu agama yang teksnya penuh dengan pengkhianatan dalam arti terburuk.

Adapun isi pesannya, hendaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1- Mendefinisikan Tuhan Sang Pencipta.

Agama yang sejati tidak menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat yang tidak sesuai dengan keagungan-Nya atau mengurangi nilai-Nya, seperti bahwa Dia menampakkan diri dalam bentuk batu atau binatang, atau bahwa Dia melahirkan atau dilahirkan, atau bahwa Dia mempunyai persamaan dengan ciptaan-Nya.

...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [52] (Ash-Shura: 11).

Allah - tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Maha Pemelihara segala sesuatu. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya? Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak dapat mengetahui sedikit pun dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi, dan pemeliharaan-Nya tidak melelahkan-Nya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar. [53] (Al-Baqarah: 255).

2- Memperjelas tujuan dan sasaran keberadaan.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [54] (Adh-Dhariyat: 56).

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu. Telah diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”[55] (Al-Kahfi: 110).

3- Konsep-konsep keagamaan harus berada dalam batas-batas kemampuan manusia.

…Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesempitan bagi kamu…[56]. (Al-Baqarah: 185).

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Baginya apa yang telah diusahakannya, dan baginya apa yang telah diperbuatnya…[57] (Al-Baqarah: 286).

Allah ingin meringankan bebanmu, dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah. [58] (An-Nisa’: 28).

4- Memberikan bukti rasional atas validitas konsep dan asumsi yang disampaikannya.

Pesan tersebut harus memberi kita bukti rasional yang jelas dan cukup untuk menilai validitas isinya.

Al-Quran tidak membatasi diri pada penyampaian bukti-bukti rasional, melainkan menantang kaum musyrik dan atheis untuk memberikan bukti-bukti kebenaran ucapan mereka.

Dan mereka berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itulah khayalan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu memang orang-orang yang benar.” [59] (Al-Baqarah: 111).

Dan barangsiapa menyembah di samping Allah tuhan yang lain, padahal ia tidak mempunyai dalil untuk itu, maka sesungguhnya perhitungannya hanyalah pada sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung. [60] (Al-Mu’minun: 117).

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." Dan sekali-kali tidak berguna bagi kaum yang tidak beriman tanda-tanda (kebesaran Allah) dan juga tidak (pula) peringatan. [61] (Yunus: 101)

5- Tidak ada pertentangan antara isi keagamaan yang disampaikan dalam pesan tersebut.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an itu? Kalau seandainya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. [62] (An-Nisa’: 82).

Dialah yang telah menurunkan Kitab Suci kepadamu; di dalamnya ada ayat-ayat yang jelas dan menjadi dasar Kitab Suci, dan ada pula ayat-ayat yang samar. Adapun orang-orang yang hatinya sesat, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang samar, mencari perselisihan dan mencari penafsiran terhadapnya. Padahal tidak ada yang mengetahui penafsirannya kecuali Allah. Dan orang-orang yang berilmu berkata, "Kami beriman kepadanya. Semuanya dari Tuhan kami." Dan tidak ada yang diberi peringatan kecuali orang-orang yang berakal. "Akal" [63]. (Ali Imran: 7).

6- Teks agama tidak bertentangan dengan hukum kodrat moral manusia.

Maka arahkanlah wajahmu kepada agama dengan condong kepada kebenaran. (Berpegang teguhlah) pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak boleh ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [64] (Ar-Rum: 30).

“Allah hendak menerangkan kepadamu dan memberi petunjuk kepadamu jalan-jalan orang-orang sebelum kamu, dan agar kamu menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (26) Dan Allah hendak menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya menginginkan supaya kamu menyimpang jauh. [65] (An-Nisa’: 26-27).

7- Bukankah konsep-konsep keagamaan bertentangan dengan konsep-konsep ilmu material?

“Apakah orang-orang kafir tidak memperhatikan bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup? Maka mengapa mereka tidak beriman?” [66] (Al-Anbiya’: 30).

8- Tidak boleh dipisahkan dari realitas kehidupan manusia, dan harus sejalan dengan kemajuan peradaban.

“Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu adalah untuk orang-orang yang beriman di dunia, dan khusus untuk mereka di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.’”[67] (Al-A’raf: 32).

9- Cocok untuk semua waktu dan tempat.

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu…”[68]. (Al-Ma’idah: 3).

10- Universalitas pesan.

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kamu sekalian, yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, seorang nabi yang ummi, yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.’”[69] (Al-A’raf: 158).

Ada yang namanya akal sehat. Segala sesuatu yang logis dan sesuai dengan akal sehat dan akal sehat berasal dari Tuhan, dan segala sesuatu yang rumit berasal dari manusia.

Misalnya:

Jika seorang Muslim, Kristen, Hindu, atau cendekiawan agama lainnya memberi tahu kita bahwa alam semesta memiliki satu Pencipta, yang tidak memiliki sekutu atau putra, yang tidak datang ke bumi dalam wujud manusia, hewan, batu, atau berhala, dan bahwa kita harus menyembah-Nya saja dan berlindung kepada-Nya saja di masa-masa sulit, maka inilah agama Tuhan yang sesungguhnya. Namun, jika seorang Muslim, Kristen, Hindu, atau cendekiawan agama lainnya memberi tahu kita bahwa Tuhan berinkarnasi dalam wujud apa pun yang dikenal manusia, dan bahwa kita harus menyembah Tuhan dan berlindung kepada-Nya melalui siapa pun, nabi, pendeta, atau wali, maka ini berasal dari manusia.

Agama Tuhan itu jelas dan logis, serta bebas dari misteri. Jika seorang ulama ingin meyakinkan seseorang bahwa Muhammad (saw) adalah Tuhan dan bahwa mereka harus menyembahnya, ia harus berusaha keras untuk meyakinkan mereka, tetapi mereka tidak akan pernah yakin. Mereka mungkin bertanya, "Bagaimana mungkin Nabi Muhammad adalah Tuhan jika beliau makan dan minum seperti kita?" Ulama itu mungkin akan berkata, "Kamu tidak yakin karena itu teka-teki dan konsep yang samar. Kamu akan memahaminya ketika kamu bertemu Tuhan." Hal ini sama seperti yang dilakukan banyak orang saat ini untuk membenarkan penyembahan Yesus, Buddha, dan lainnya. Contoh ini menunjukkan bahwa agama Tuhan yang sejati harus bebas dari misteri, dan misteri hanya berasal dari manusia.

Agama Tuhan juga bebas. Setiap orang bebas berdoa dan beribadah di rumah Tuhan, tanpa harus membayar iuran keanggotaan. Namun, jika mereka dipaksa mendaftar dan membayar di tempat ibadah mana pun, ini adalah perilaku manusia. Namun, jika seorang ulama memerintahkan mereka untuk bersedekah langsung untuk membantu sesama, ini adalah bagian dari agama Tuhan.

Manusia setara dalam agama Tuhan, bagaikan gigi sisir. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab, kulit putih dan kulit hitam, kecuali dalam kesalehan. Jika seseorang percaya bahwa masjid, gereja, atau kuil tertentu memiliki tempat terpisah untuk kulit putih dan kulit hitam, itu manusiawi.

Menghormati dan meninggikan derajat perempuan, misalnya, adalah perintah Tuhan, tetapi menindas perempuan adalah tindakan manusiawi. Jika perempuan Muslim ditindas di suatu negara, misalnya, maka agama Hindu, Buddha, dan Kristen juga ditindas di negara yang sama. Ini adalah budaya masing-masing bangsa dan tidak ada hubungannya dengan agama Tuhan yang sejati.

Agama Tuhan yang sejati selalu selaras dan selaras dengan kodrat manusia. Misalnya, setiap perokok cerutu atau peminum alkohol akan selalu meminta anak-anak mereka untuk menjauhi alkohol dan merokok, karena keyakinan yang mendalam bahwa hal itu berbahaya bagi kesehatan dan masyarakat. Ketika suatu agama melarang alkohol, misalnya, hal itu memang merupakan perintah dari Tuhan. Namun, jika susu dilarang, misalnya, hal itu akan menjadi tidak logis, seperti yang kita pahami. Semua orang tahu bahwa susu baik untuk kesehatan; oleh karena itu, agama tidak melarangnya. Adalah karena rahmat dan kebaikan Tuhan kepada ciptaan-Nya sehingga Dia mengizinkan kita memakan yang baik dan melarang kita memakan yang buruk.

Penutup kepala bagi perempuan, dan kesopanan bagi pria dan wanita, misalnya, merupakan perintah dari Tuhan, tetapi detail warna dan desainnya bersifat manusiawi. Perempuan pedesaan Tionghoa yang ateis dan perempuan pedesaan Swiss yang Kristen menganut penutup kepala atas dasar bahwa kesopanan adalah sesuatu yang bawaan.

Terorisme, misalnya, tersebar luas dalam berbagai bentuk di seluruh dunia, di antara semua sekte agama. Ada sekte-sekte Kristen di Afrika dan di seluruh dunia yang membunuh dan mempraktikkan bentuk-bentuk penindasan dan kekerasan paling keji atas nama agama dan atas nama Tuhan. Mereka merupakan 41% dari umat Kristen dunia. Sementara itu, mereka yang mempraktikkan terorisme atas nama Islam merupakan 1% dari umat Muslim dunia. Tidak hanya itu, terorisme juga tersebar luas di antara umat Buddha, Hindu, dan sekte-sekte agama lainnya.

Dengan cara ini kita dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan sebelum kita membaca buku agama apa pun.

Ajaran Islam bersifat fleksibel dan komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan. Agama ini berakar pada fitrah manusia yang menjadi dasar penciptaan manusia oleh Tuhan. Agama ini konsisten dengan prinsip-prinsip fitrah ini, yaitu:

Kepercayaan kepada satu Tuhan, Sang Pencipta yang tidak memiliki sekutu atau putra, yang tidak berinkarnasi dalam bentuk manusia, hewan, berhala, atau batu, dan yang bukan trinitas. Hanya Sang Pencipta ini yang harus disembah tanpa perantara. Dia adalah Pencipta alam semesta dan segala isinya, dan tidak ada yang seperti Dia. Manusia harus menyembah Sang Pencipta saja, dengan berkomunikasi langsung kepada-Nya ketika bertobat dari dosa atau mencari pertolongan, bukan melalui pendeta, orang suci, atau perantara lainnya. Tuhan semesta alam lebih penyayang kepada ciptaan-Nya daripada seorang ibu kepada anak-anaknya, karena Dia mengampuni mereka setiap kali mereka kembali dan bertobat kepada-Nya. Hanya Sang Pencipta yang berhak disembah, dan manusia berhak untuk memiliki hubungan langsung dengan Tuhan mereka.

Agama Islam adalah keyakinan yang jelas, lugas, dan sederhana, jauh dari keyakinan buta. Islam tidak hanya menyentuh hati dan nurani, melainkan juga menjadikannya sebagai dasar keyakinan. Sebaliknya, Islam mengikuti prinsip-prinsipnya dengan argumen yang meyakinkan dan meyakinkan, bukti yang jelas, dan penalaran yang kuat yang memikat pikiran dan menuntun jalan menuju hati. Hal ini dicapai melalui:

Mengirim utusan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berputar di benak manusia tentang tujuan keberadaan, sumber keberadaan, dan takdir setelah kematian. Dia menetapkan bukti dalam hal keilahian dari alam semesta, dari jiwa, dan dari sejarah untuk keberadaan, keesaan, dan kesempurnaan Tuhan. Dalam hal kebangkitan, Dia menunjukkan kemungkinan menciptakan manusia, langit dan bumi, dan menghidupkan kembali bumi setelah kematiannya. Dia menunjukkan kebijaksanaan-Nya melalui keadilan dalam memberi pahala kepada pelaku kebaikan dan menghukum pelaku kejahatan.

Nama Islam mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan. Islam tidak mewakili nama orang atau tempat tertentu, tidak seperti agama-agama lain. Misalnya, Yudaisme mengambil namanya dari Yudas, putra Yakub, saw; Kristen mengambil namanya dari Kristus; dan Hindu mengambil namanya dari wilayah asalnya.

Rukun Iman

Rukun iman adalah:

Kepercayaan kepada Tuhan: “Keyakinan teguh bahwa Tuhan adalah Tuhan dan Raja segala sesuatu, bahwa Dia adalah Sang Pencipta saja, bahwa Dia adalah Dzat yang patut disembah, direndahkan, dan ditundukkan, bahwa Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan bebas dari segala ketidaksempurnaan, sambil berpegang teguh pada hal itu dan bertindak berdasarkan hal itu.”[70] Pagar Iman: Kepercayaan kepada Tuhan, Abdul Aziz Al Rajhi (hal. 9).

Kepercayaan kepada malaikat: mempercayai keberadaan mereka dan bahwa mereka adalah makhluk cahaya yang menaati Tuhan Yang Maha Esa dan tidak melanggar perintah-Nya.

Iman kepada kitab-kitab suci: Ini mencakup setiap kitab yang diturunkan Allah SWT kepada setiap rasul, termasuk Injil yang diturunkan kepada Musa, Taurat kepada Isa, Zabur kepada Daud, kitab-kitab Ibrahim dan Musa[71], dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad, semoga Allah memberkahi mereka semua. Versi asli kitab-kitab ini mengandung pesan tauhid, yaitu kepercayaan kepada Sang Pencipta dan menyembah-Nya semata, tetapi versi aslinya telah terdistorsi dan dihapuskan setelah turunnya Al-Qur'an dan Syariat Islam.

Kepercayaan kepada para nabi dan rasul.

Kepercayaan kepada Hari Akhir: Kepercayaan kepada Hari Kebangkitan di mana Allah akan membangkitkan orang-orang untuk diadili dan diberi pahala.

Kepercayaan kepada takdir dan nasib: percaya kepada ketetapan Allah atas semua makhluk sesuai dengan pengetahuan-Nya dan kebijaksanaan-Nya.

Derajat ihsan berada setelah iman dan merupakan derajat tertinggi dalam agama. Makna ihsan dijelaskan dengan jelas dalam sabda Rasulullah saw: “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.”[72] Hadits Jibril diriwayatkan oleh al-Bukhari (4777) dan Muslim (9).

Ihsan adalah kesempurnaan segala tindakan dan perbuatan yang mengharap keridhaan Allah SWT tanpa imbalan materi atau mengharapkan pujian atau ucapan terima kasih dari manusia, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya. Ihsan adalah melakukan tindakan dengan cara yang sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW, dengan ikhlas karena Allah SWT, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Para pelaku kebaikan di masyarakat adalah teladan yang sukses yang memotivasi orang lain untuk meniru mereka dalam melakukan amal saleh, baik di bidang agama maupun duniawi, demi mencari keridhaan Allah. Melalui mereka, Allah SWT mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan masyarakat, kesejahteraan hidup manusia, serta pembangunan dan kemajuan bangsa.

Kepercayaan kepada semua utusan yang diutus Tuhan kepada umat manusia, tanpa diskriminasi, merupakan salah satu pilar iman Muslim. Menyangkal utusan atau nabi mana pun bertentangan dengan dasar-dasar agama. Semua nabi Tuhan menubuatkan kedatangan Penutup para Nabi, Muhammad, damai dan berkah besertanya. Banyak nabi dan utusan Tuhan yang diutus ke berbagai bangsa disebutkan namanya dalam Al-Qur'an Suci (seperti Nuh, Abraham, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Yesus, dll.), sementara yang lain tidak. Kemungkinan bahwa beberapa tokoh agama dalam agama Hindu dan Buddha (seperti Rama, Krishna, dan Gautama Buddha) adalah nabi yang diutus oleh Tuhan bukanlah hal yang mustahil, tetapi tidak ada bukti untuk ini dalam Al-Qur'an Suci, sehingga umat Islam tidak mempercayainya karena alasan ini. Perbedaan antar keyakinan muncul ketika orang-orang menguduskan nabi mereka dan menyembah mereka, bukan Tuhan.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu, di antara mereka ada orang-orang yang Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada orang-orang yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Dan tidaklah pantas bagi seorang rasul untuk membawa suatu mukjizat, melainkan dengan izin Allah. Maka apabila datang keputusan Allah, maka ia akan dinilai dengan benar, dan di sanalah orang-orang yang dusta akan merugi.”[73] (Ghafir: 78).

Rasulullah telah beriman kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan begitu pula orang-orang mukmin. Semuanya telah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul-Nya, dan mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami taat. Ya Tuhan kami, ampunan-Mu, dan kepada-Mu-lah tempat kembali.’” [74] (Al-Baqarah: 285).

Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah, kitab-kitab yang diwahyukan kepada kami, kitab-kitab yang diwahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan bani-bani kami, kitab-kitab yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan kitab-kitab yang diberikan kepada para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.’”[75] (Al-Baqarah: 136).

Adapun para malaikat: mereka juga salah satu ciptaan Tuhan, tetapi ciptaan yang agung. Mereka diciptakan dari cahaya, diciptakan dengan kebaikan, taat pada perintah Allah SWT, mengagungkan dan menyembah-Nya, tak pernah lelah atau mengendur.

“Mereka bertasbih kepada-Nya di malam hari dan siang hari, tanpa merasa lelah.”[76] (Al-Anbiya’: 20).

“…Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [77] (At-Tahrim: 6).

Kepercayaan kepada mereka dianut oleh umat Muslim, Yahudi, dan Kristen. Di antara mereka adalah Jibril, yang dipilih Allah untuk menjadi perantara antara-Nya dan para utusan-Nya, agar Ia menurunkan wahyu kepada mereka; Mikail, yang misinya adalah menurunkan hujan dan tanaman; Israfil, yang misinya adalah meniup sangkakala pada Hari Kiamat; dan lainnya.

Adapun jin, mereka adalah alam gaib. Mereka tinggal bersama kita di bumi ini. Mereka diperintahkan untuk menaati Allah dan dilarang untuk bermaksiat kepada-Nya, sama seperti manusia. Namun, kita tidak dapat melihat mereka. Mereka diciptakan dari api, sementara manusia diciptakan dari tanah liat. Allah menyebutkan kisah-kisah yang menunjukkan kekuatan dan kekuasaan jin, termasuk kemampuan mereka untuk memengaruhi orang lain melalui bisikan atau sugesti tanpa campur tangan fisik. Namun, mereka tidak mengetahui hal-hal gaib dan tidak dapat menyakiti orang beriman yang kuat imannya.

“…dan sesungguhnya setan-setan itu menyesatkan sekutu-sekutu mereka untuk berdebat denganmu…”[78] (Al-An’am: 121).

Setan: adalah setiap orang yang memberontak dan keras kepala, baik manusia maupun jin.

Semua bukti keberadaan dan fenomena menunjukkan adanya penciptaan ulang dan rekonstruksi kehidupan yang terus-menerus. Contohnya berlimpah, seperti kebangkitan bumi setelah mati melalui hujan dan cara-cara lainnya.

Allah SWT berfirman:

“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan demikianlah kamu akan dikeluarkan.”[79] (Ar-Rum: 19).

Bukti lain kebangkitan adalah sistem alam semesta yang sempurna, tanpa cacat. Bahkan elektron yang sangat kecil pun tidak dapat berpindah dari satu orbit ke orbit lain dalam atom kecuali ia melepaskan atau mengambil sejumlah energi yang setara dengan pergerakannya. Jadi, bagaimana Anda bisa membayangkan, dalam sistem ini, seorang pembunuh atau penindas dapat lolos tanpa dimintai pertanggungjawaban atau dihukum oleh Tuhan semesta alam?

Allah SWT berfirman:

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa hanya kepada Kami kamu tidak akan dikembalikan? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang benar. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang memiliki 'Arsy yang mulia. (Al-Mu’minun: 115-116)

Atau apakah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Amat buruk apa yang mereka putuskan. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, agar setiap jiwa diberi balasan terhadap apa yang telah dikerjakannya, dan mereka tidak dizalimi. [81] (Al-Jatsiyah: 21-22).

Tidakkah kita menyadari bahwa dalam hidup ini kita kehilangan banyak kerabat dan teman, dan kita tahu bahwa kita akan mati seperti mereka suatu hari nanti, namun jauh di lubuk hati kita merasa bahwa kita akan hidup selamanya? Jika tubuh manusia bersifat material dalam kerangka kehidupan material, diatur oleh hukum-hukum material, tanpa jiwa yang akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban, rasa kebebasan bawaan ini tidak akan berarti apa-apa. Jiwa melampaui waktu dan kematian.

Tuhan menghidupkan kembali orang mati sebagaimana Dia menciptakannya pertama kali.

Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, jika kamu ragu tentang Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging, yang sempurna dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu. Dan Kami tetapkan dalam rahim siapa yang Kami kehendaki, hingga waktu yang tertentu; kemudian Kami keluarkan kamu sebagai anak kecil, kemudian [ini] [pernyataan] [lain] agar kamu mencapai kekuatanmu [sempurna]. Dan di antara kamu ada orang yang diambil [dalam kematian], dan di antara kamu ada orang yang dikembalikan ke usia tua yang sangat renta. "Agar dia tidak mengetahui sesuatu pun setelah memiliki pengetahuan. Dan kamu melihat bumi itu tandus, tetapi ketika Kami turunkan hujan padanya, bergetar dan membengkak dan menumbuhkan [melimpah] segala pasangan yang indah. "[82] (Al-Hajj: 5).

“Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani? Kemudian tiba-tiba dia menjadi musuh yang nyata. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, lalu dia lupa akan penciptaannya. Dia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, padahal tulang belulang itu telah hancur?’ Katakanlah, ‘Yang menghidupkannya adalah Dia yang telah menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui segala yang diciptakan.’” [83] (Yasin: 77-79).

“Maka perhatikanlah betapa besar rahmat Allah, bagaimana Dia menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya bumi itu adalah Yang Maha Menghidupkan orang-orang yang mati dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[84] (Ar-Rum: 50).

Allah meminta pertanggungjawaban hamba-hamba-Nya dan sekaligus memberi mereka bekal.

Allah SWT berfirman:

“Penciptaanmu dan kebangkitanmu hanyalah seperti satu jiwa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [85] (Luqman: 28).

Segala sesuatu di alam semesta berada di bawah kendali Sang Pencipta. Hanya Dia yang memiliki pengetahuan yang komprehensif, ilmu pengetahuan yang absolut, serta kemampuan dan kuasa untuk menundukkan segala sesuatu kepada kehendak-Nya. Matahari, planet, dan galaksi telah beroperasi dengan presisi tak terbatas sejak awal penciptaan, dan presisi serta kuasa yang sama ini berlaku untuk penciptaan manusia. Keharmonisan antara tubuh dan jiwa manusia menunjukkan bahwa jiwa-jiwa ini tidak dapat bersemayam dalam tubuh hewan, juga tidak dapat berkelana di antara tumbuhan dan serangga (reinkarnasi), atau bahkan di dalam tubuh manusia lain. Tuhan telah memuliakan manusia dengan akal dan pengetahuan, menjadikannya khalifah di bumi, dan telah mengungguli, memuliakan, serta meninggikannya di atas banyak makhluk lainnya. Sebagian dari kebijaksanaan dan keadilan Sang Pencipta adalah adanya Hari Penghakiman, di mana Tuhan akan membangkitkan seluruh ciptaan dan meminta pertanggungjawaban mereka sendiri. Tujuan akhir mereka adalah Surga atau Neraka, dan semua perbuatan baik dan buruk akan ditimbang pada Hari itu.

Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah pun, niscaya akan melihat (balasan)nya, (7) dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya akan melihat (balasan)nya.” [86] (Al-Zalzalah: 7-8).

Sebagai contoh, bila seseorang ingin membeli sesuatu di toko, dan memutuskan untuk menyuruh anak laki-lakinya yang pertama membeli barang tersebut, karena ia tahu sebelumnya bahwa anak tersebut pintar, dan akan langsung pergi membeli barang yang diinginkan ayahnya, sedangkan ayahnya tahu bahwa anak yang satunya akan sibuk bermain dengan teman-temannya, dan akan menghamburkan uang, maka ini sebenarnya adalah asumsi yang dijadikan dasar pertimbangan ayahnya.

Mengetahui takdir tidak bertentangan dengan kehendak bebas kita, karena Tuhan mengetahui tindakan kita berdasarkan pengetahuan-Nya yang lengkap tentang niat dan pilihan kita. Dia memiliki cita-cita tertinggi—Dia mengetahui sifat manusia. Dialah yang menciptakan kita dan mengetahui keinginan untuk kebaikan atau kejahatan dalam hati kita. Dia mengetahui niat kita dan menyadari tindakan kita. Mencatat pengetahuan ini bersama-Nya tidak bertentangan dengan kehendak bebas kita. Perlu dicatat bahwa pengetahuan Tuhan bersifat mutlak, dan harapan manusia mungkin benar atau mungkin juga salah.

Seseorang mungkin saja berperilaku tidak menyenangkan Tuhan, tetapi tindakannya tidak akan bertentangan dengan kehendak-Nya. Tuhan telah memberikan ciptaan-Nya kehendak untuk memilih. Namun, meskipun tindakan mereka merupakan ketidaktaatan kepada-Nya, tindakan mereka tetap berada dalam kehendak Tuhan dan tidak dapat dibantah, karena Tuhan tidak memberi siapa pun kesempatan untuk melanggar kehendak-Nya.

Kita tidak bisa memaksakan hati kita untuk menerima sesuatu yang tidak kita inginkan. Kita mungkin memaksa seseorang untuk tetap bersama kita dengan ancaman dan intimidasi, tetapi kita tidak bisa memaksa orang itu untuk mencintai kita. Tuhan telah melindungi hati kita dari segala bentuk paksaan, itulah sebabnya Dia menghakimi dan memberi pahala kepada kita berdasarkan niat dan isi hati kita.

Tujuan hidup

Tujuan utama kehidupan bukanlah untuk menikmati kebahagiaan sesaat; melainkan untuk mencapai kedamaian batin melalui pengenalan dan penyembahan kepada Tuhan.

Mencapai tujuan ilahi ini akan membawa kita kepada kebahagiaan abadi dan kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, jika ini adalah tujuan utama kita, masalah atau kesulitan apa pun yang mungkin kita hadapi dalam mengejar tujuan ini akan terasa ringan.

Bayangkan seseorang yang tidak pernah mengalami penderitaan atau rasa sakit. Orang ini, karena kemewahan hidupnya, telah melupakan Tuhan dan gagal melakukan apa yang diciptakan untuknya. Bandingkan orang ini dengan seseorang yang pengalaman kesulitan dan rasa sakitnya membawanya kepada Tuhan dan mencapai tujuan hidupnya. Dari perspektif ajaran Islam, seseorang yang penderitaannya membawanya kepada Tuhan lebih baik daripada seseorang yang tidak pernah mengalami rasa sakit dan kesenangannya menjauhkannya dari-Nya.

Setiap orang dalam kehidupan ini berusaha untuk mencapai suatu tujuan atau maksud, dan tujuan tersebut seringkali didasarkan pada keyakinan yang dimilikinya, dan hal yang kita temukan dalam agama dan bukan dalam sains adalah alasan atau pembenaran atas apa yang diperjuangkan oleh orang tersebut.

Agama menerangkan dan menjelaskan alasan diciptakannya manusia dan terjadinya kehidupan, sedangkan ilmu pengetahuan hanya sarana dan tidak menjabarkan maksud dan tujuan.

Ketakutan terbesar orang-orang ketika memeluk agama adalah hilangnya kenikmatan hidup. Keyakinan yang umum di antara orang-orang adalah bahwa agama selalu berarti isolasi, dan bahwa segala sesuatu dilarang kecuali yang diizinkan oleh agama.

Ini adalah kesalahan yang telah dilakukan banyak orang, yang menyebabkan mereka menjauh dari agama. Islam datang untuk meluruskan kesalahpahaman ini, yaitu bahwa apa yang diperbolehkan adalah diperbolehkan bagi manusia, dan bahwa larangan serta batasannya terbatas dan tidak dapat dibantah.

Agama menyerukan individu untuk berintegrasi dengan semua anggota masyarakat dan menyeimbangkan kebutuhan jiwa dan raga dengan hak orang lain.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat non-religius adalah bagaimana menghadapi kejahatan dan perilaku buruk manusia. Satu-satunya cara untuk membuat jera mereka yang berjiwa menyimpang adalah dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya.

“Dialah yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…”[87] (Al-Mulk: 2).

Ujian ini bertujuan untuk membedakan tingkatan dan derajat siswa saat mereka memulai kehidupan praktis yang baru. Meskipun singkat, ujian ini menentukan nasib siswa terkait kehidupan baru yang akan dijalaninya. Demikian pula, kehidupan dunia ini, meskipun singkat, merupakan tempat ujian dan ujian bagi manusia, agar mereka dapat dibedakan tingkatan dan derajatnya saat mereka memasuki akhirat. Seseorang meninggalkan dunia ini melalui amalnya, bukan dengan harta benda. Seseorang harus memahami dan menyadari bahwa ia harus bekerja di dunia ini demi akhirat dan mencari pahala di akhirat.

Kebahagiaan dicapai dengan berserah diri kepada Tuhan, menaati-Nya, dan merasa puas dengan keputusan dan takdir-Nya.

Banyak yang berpendapat bahwa segala sesuatu pada dasarnya tidak berarti, dan oleh karena itu kita bebas mencari makna bagi diri sendiri agar hidup kita terasa bermakna. Menyangkal tujuan hidup kita sebenarnya menipu diri sendiri. Seolah-olah kita berkata pada diri sendiri, "Mari kita berasumsi atau berpura-pura bahwa kita memiliki tujuan dalam hidup ini." Seolah-olah kita seperti anak-anak yang berpura-pura menjadi dokter dan perawat atau ibu dan ayah. Kita tidak akan mencapai kebahagiaan kecuali kita mengetahui tujuan hidup kita.

Jika seseorang ditempatkan di kereta mewah di luar kehendaknya dan mendapati dirinya di kelas utama, sebuah pengalaman yang mewah dan nyaman, puncak kemewahan, akankah ia bahagia dalam perjalanan ini tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di sekelilingnya seperti: Bagaimana saya bisa naik kereta? Apa tujuan perjalanan ini? Ke mana Anda akan pergi? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tetap tidak terjawab, bagaimana ia bisa bahagia? Sekalipun ia mulai menikmati semua kemewahan yang dimilikinya, ia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan sejati dan bermakna. Apakah hidangan lezat dalam perjalanan ini cukup untuk membuatnya melupakan pertanyaan-pertanyaan ini? Kebahagiaan semacam ini akan bersifat sementara dan palsu, dicapai hanya dengan sengaja mengabaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting ini. Ini seperti keadaan mabuk palsu yang diakibatkan oleh kemabukan yang membawa pemiliknya pada kehancuran. Oleh karena itu, kebahagiaan sejati bagi seseorang tidak akan tercapai kecuali ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini.

Toleransi agama yang benar

Ya, Islam tersedia bagi semua orang. Setiap anak dilahirkan dengan fitrah (kebiasaan alami) yang benar, menyembah Tuhan tanpa perantara (Muslim). Mereka menyembah Tuhan secara langsung, tanpa campur tangan orang tua, sekolah, atau otoritas agama apa pun, hingga masa pubertas, ketika mereka menjadi bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Pada saat itu, mereka menerima Kristus sebagai perantara antara mereka dan Tuhan dan menjadi seorang Kristen, atau menerima Buddha sebagai perantara dan menjadi seorang Buddha, atau Krishna sebagai perantara dan menjadi seorang Hindu, atau menerima Muhammad sebagai perantara dan sepenuhnya meninggalkan Islam, atau tetap pada agama fitrah, menyembah Tuhan semata. Mengikuti pesan Muhammad (damai dan berkah besertanya), yang dibawanya dari Tuhannya, adalah agama yang benar yang sesuai dengan fitrah yang sehat. Apa pun selain itu adalah penyimpangan, bahkan jika itu berarti menerima Muhammad sebagai perantara antara manusia dan Tuhan.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (keadaan alamiah), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi.”[88] (Sahih Muslim).

Agama sejati yang datang dari Sang Pencipta adalah satu agama dan tidak lebih, dan itu adalah kepercayaan pada satu-satunya Pencipta dan menyembah-Nya saja. Segala sesuatu yang lain adalah ciptaan manusia. Cukuplah bagi kita untuk mengunjungi India, misalnya, dan berkata di antara massa: Tuhan Sang Pencipta adalah satu, dan semua orang akan menjawab dengan satu suara: Ya, ya, Sang Pencipta adalah satu. Dan ini memang apa yang tertulis dalam buku-buku mereka [89], tetapi mereka berbeda dan bertarung, dan bahkan mungkin saling membantai atas suatu hal yang mendasar: gambar dan bentuk di mana Tuhan datang ke bumi. Misalnya, orang India Kristen mengatakan: Tuhan itu satu, tetapi Dia berinkarnasi dalam tiga pribadi (Bapa, Putra, dan Roh Kudus), dan di antara orang-orang India Hindu ada yang mengatakan: Tuhan datang dalam bentuk binatang, manusia, atau berhala. Dalam agama Hindu: (Chandogya Upanishad 6:2-1) “Dia hanya satu Tuhan dan Dia tidak memiliki yang kedua.” (Weda, Sveta Svatara Upanishad: 4:19, 4:20, 6:9) "Tuhan tidak memiliki ayah dan tuan." "Dia tidak dapat dilihat, tidak ada yang melihat-Nya dengan mata." "Tidak ada yang seperti Dia." (Yajurveda 40:9) "Mereka yang menyembah unsur-unsur alam (udara, air, api, dll.) memasuki kegelapan. Mereka yang menyembah sambuti (benda buatan manusia seperti berhala, batu, dll.) tenggelam dalam kegelapan." Dalam Kekristenan (Matius 4:10) “Lalu Yesus berkata kepadanya, ‘Pergilah, Iblis, sebab ada tertulis, ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia saja engkau berbakti.’” (Keluaran 20:3-5) “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”

Jika orang-orang berpikir mendalam, mereka akan menemukan bahwa semua masalah dan perbedaan antara sekte-sekte agama dan agama itu sendiri disebabkan oleh perantara yang digunakan manusia antara diri mereka dan Sang Pencipta. Misalnya, sekte-sekte Katolik, Protestan, dan lainnya, serta sekte-sekte Hindu, berbeda dalam cara berkomunikasi dengan Sang Pencipta, bukan dalam konsep keberadaan Sang Pencipta. Jika mereka semua menyembah Tuhan secara langsung, mereka akan bersatu.

Sebagai contoh, pada masa Nabi Ibrahim (saw), siapa pun yang menyembah Sang Pencipta saja berarti mengikuti agama Islam, yang merupakan agama yang benar. Namun, siapa pun yang menjadikan seorang pendeta atau wali sebagai pengganti Tuhan berarti mengikuti kebatilan. Para pengikut Ibrahim (saw) diwajibkan untuk menyembah Tuhan saja dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Ibrahim adalah Utusan Allah. Allah mengutus Musa (saw) untuk membenarkan risalah Ibrahim. Para pengikut Ibrahim (saw) diwajibkan untuk menerima nabi baru dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Musa dan Ibrahim adalah utusan Allah. Sebagai contoh, siapa pun yang menyembah anak sapi pada masa itu berarti mengikuti kebatilan.

Ketika Yesus Kristus, saw, datang untuk meneguhkan pesan Musa, saw, para pengikut Musa diwajibkan untuk beriman dan mengikuti Kristus, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Kristus, Musa, dan Abraham adalah utusan Allah. Siapa pun yang percaya kepada Tritunggal dan menyembah Kristus dan ibu-Nya, Maria yang saleh, adalah salah.

Ketika Muhammad, saw, datang untuk membenarkan risalah para nabi sebelum beliau, para pengikut Isa dan Musa diwajibkan untuk menerima nabi baru tersebut dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad, Isa, Musa, dan Ibrahim adalah utusan Allah. Siapa pun yang menyembah Muhammad, meminta syafaat darinya, atau meminta pertolongan darinya, berarti mengikuti kebatilan.

Islam meneguhkan prinsip-prinsip agama-agama samawi yang mendahuluinya dan yang diperluas hingga zamannya, dibawa oleh para rasul, sesuai dengan zaman mereka. Seiring dengan perubahan kebutuhan, muncullah fase baru agama ini, yang sejalan dalam asal-usulnya dan berbeda dalam syariatnya, yang secara bertahap beradaptasi dengan perubahan kebutuhan. Agama yang muncul kemudian meneguhkan prinsip dasar monoteisme dari agama sebelumnya. Dengan menempuh jalan dialog, umat beriman memahami kebenaran dari satu sumber pesan Sang Pencipta.

Dialog antaragama harus dimulai dari konsep dasar ini untuk menekankan konsep satu agama yang benar dan ketidakabsahan segala sesuatu lainnya.

Dialog memiliki fondasi dan prinsip eksistensial dan berbasis iman yang mengharuskan orang untuk menghormatinya dan membangunnya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tujuan dialog ini adalah untuk menghilangkan fanatisme dan prasangka, yang merupakan proyeksi afiliasi kesukuan buta yang menghalangi manusia dari monoteisme sejati dan murni serta mengarah pada konflik dan kehancuran, sebagaimana realitas kita saat ini.

Islam didasarkan pada dakwah, toleransi dan argumentasi yang baik.

Allah SWT berfirman:

“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[90] (An-Nahl: 125).

Karena Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir dan Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi, hukum Islam yang terakhir membuka pintu bagi setiap orang untuk berdialog dan membahas dasar-dasar serta prinsip-prinsip agama ini. Prinsip "tidak ada paksaan dalam beragama" dijamin dalam Islam, dan tidak seorang pun dipaksa untuk menganut keyakinan Islam yang benar, asalkan mereka menghormati kesucian orang lain dan memenuhi kewajiban mereka kepada negara sebagai imbalan atas kesetiaan mereka pada keyakinan tersebut dan memberikan mereka rasa aman dan perlindungan.

Sebagaimana disebutkan, misalnya, dalam Pakta Umar, sebuah dokumen yang ditulis oleh Khalifah Umar bin Khattab (ra) kepada penduduk Aelia (Yerusalem) ketika kaum Muslim menaklukkannya pada tahun 638 M, yang menjamin gereja dan properti mereka. Pakta Umar dianggap sebagai salah satu dokumen terpenting dalam sejarah Yerusalem.

“Dengan nama Allah, dari Umar bin Khattab kepada penduduk kota Ilia. Darah, anak-anak, harta, dan gereja-gereja mereka aman. Mereka tidak akan dihancurkan dan tidak akan dihuni.” [91] Ibn Al-Batrik: Al-Tarikh Al-Majmu’ ala Al-Tahqiq wa Al-Tasdied, Vol. 2, hlm. (147).

Bahasa Indonesia: Ketika Khalifah Umar, semoga Allah meridhoinya, sedang mendiktekan perjanjian ini, tibalah waktu untuk salat, sehingga Patriark Sophronius mengundangnya untuk salat di tempat ia berada, yaitu di Gereja Kebangkitan. Akan tetapi Khalifah menolak dan berkata kepadanya: Aku khawatir jika aku salat di sana, kaum Muslimin akan mengalahkanmu dan mengatakan bahwa Amirul Mukminin salat di sini. [92] Riwayat Al-Tabari dan Mujir al-Din al-Alimī al-Maqdisi.

Islam menghormati dan memenuhi perjanjian serta kesepakatan dengan non-Muslim, namun Islam bersikap tegas terhadap pengkhianat dan orang-orang yang melanggar perjanjian dan kesepakatan, dan melarang umat Islam berteman dengan orang-orang yang suka menipu ini.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang menjadikan agamamu sebagai olok-olokan dan bahan tertawaan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir sebagai sekutu. Dan bertakwalah kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.” [93] (Al-Ma’idah: 57).

Al-Quran secara jelas dan gamblang menyatakan di lebih dari satu tempat tentang tidak boleh setia kepada orang-orang yang memerangi umat Islam dan mengusir mereka dari rumah mereka.

Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, untuk berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kalian dari orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari kampung halaman kalian, dan membantu pengusiran kalian, untuk menjadikan mereka sekutu. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sekutu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [94] (Al-Mumtahanah: 8-9).

Al-Quran memuji kaum monoteis dari umat Kristus dan Musa, saw, pada zaman mereka.

“Tidaklah mereka semuanya sama. Di antara Ahli Kitab ada suatu kaum yang berdiri (bersalat), membaca ayat-ayat Allah di waktu malam, dan mereka bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada amal shaleh. Dan mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” [95] (Ali Imran: 113-114).

“Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, dengan khusyuk kepada Allah. Mereka tidak menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka itu akan memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [96] (Ali Imran: 199).

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, orang-orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [97] (Al-Baqarah: 62).

Konsep pencerahan dalam Islam didasarkan pada fondasi iman dan ilmu pengetahuan yang kokoh, yang menggabungkan pencerahan akal dengan pencerahan hati, dengan mengutamakan iman kepada Tuhan, dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari iman.

Konsep Pencerahan Eropa, sebagaimana konsep-konsep Barat lainnya, juga diadopsi oleh masyarakat Islam. Pencerahan, dalam pengertian Islam, tidak bergantung pada akal abstrak yang tidak dibimbing oleh cahaya iman. Demikian pula, iman seseorang tidak akan berguna jika ia tidak menggunakan anugerah akal yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya, dalam berpikir, merenungkan, merefleksikan, dan mengelola urusan dengan cara yang mencapai kepentingan umum, bermanfaat bagi manusia, dan kekal di bumi.

Pada Abad Pertengahan yang gelap, umat Islam menghidupkan kembali cahaya peradaban dan urbanisme yang telah padam di semua negara di Barat dan Timur, bahkan Konstantinopel.

Gerakan Pencerahan di Eropa merupakan reaksi alami terhadap tirani yang dilakukan oleh otoritas gereja terhadap akal dan kehendak manusia, suatu situasi yang tidak dikenal oleh peradaban Islam.

Allah SWT berfirman:

Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Dan orang-orang yang kafir, penolong mereka adalah Thaghut. Dia mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [98] (Al-Baqarah: 257).

Dengan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an ini, kita menemukan bahwa Kehendak Ilahi-lah yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan. Inilah bimbingan ilahi bagi umat manusia, yang hanya dapat dicapai dengan izin Allah. Manusia yang Allah SWT bawa keluar dari kegelapan kebodohan, kemusyrikan, dan takhayul menuju cahaya iman, ilmu, dan pemahaman sejati adalah manusia yang pikiran, wawasan, dan hati nuraninya tercerahkan.

Karena Allah SWT telah menyebut Al-Quran sebagai cahaya.

“…Telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menjelaskan.”[99] (Al-Ma’idah: 15).

Allah SWT menurunkan Al-Qur'an kepada Rasul-Nya Muhammad, dan menurunkan Taurat dan Injil (yang murni) kepada Rasul-Nya Musa dan Al-Masih, untuk membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Dengan demikian, Allah menjadikan petunjuk yang berkaitan dengan cahaya.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya…” [100]. (Al-Ma’idah: 44).

“…Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil, yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya serta pembenaran terhadap kitab-kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat, dan petunjuk serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”[101] (Al-Ma’idah: 46).

Tidak ada petunjuk kecuali cahaya dari Allah, dan tidak ada cahaya yang dapat menerangi hati dan kehidupan seseorang kecuali dengan izin Allah.

Allah SWT berfirman:

“Allah adalah Cahaya langit dan bumi…”[102]. (An-Nur: 35).

Di sini kita mencatat bahwa cahaya muncul dalam Al-Qur’an dalam bentuk tunggal dalam semua kasus, sedangkan kegelapan muncul dalam bentuk jamak, dan ini adalah ketepatan tertinggi dalam menggambarkan kondisi-kondisi ini [103].

Dari artikel "Pencerahan dalam Islam" oleh Dr. Al-Tuwaijri.

Posisi Islam terhadap teori asal usul keberadaan

Beberapa pengikut Darwin, yang menganggap seleksi alam sebagai proses fisik yang tidak rasional, sebuah kekuatan kreatif unik yang memecahkan semua masalah evolusi yang sulit tanpa dasar eksperimen yang nyata, kemudian menemukan kompleksitas desain dalam struktur dan fungsi sel bakteri dan mulai menggunakan frasa seperti bakteri "cerdas", "kecerdasan mikroba", "pengambilan keputusan", dan "bakteri pemecah masalah". Dengan demikian, bakteri menjadi dewa baru mereka.[104]

Sang Pencipta, Maha Suci Dia, telah menjelaskannya dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa semua tindakan yang dikaitkan dengan kecerdasan bakteri itu adalah atas tindakan, kebijaksanaan, dan kehendak Tuhan Semesta Alam, serta sesuai dengan kehendak-Nya.

Allah SWT berfirman:

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia Maha Mengatur segala sesuatu.” [105] (Az-Zumar: 62).

“Dia yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat sedikit pun ketidaksesuaian pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka pandanglah kembali, apakah kamu melihat suatu cacat?”[106] (Al-Mulk: 3).

Dia juga mengatakan:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” [107] (Al-Qamar: 49).

Desain, penyempurnaan, bahasa kode, kecerdasan, niat, sistem kompleks, hukum yang saling terkait, dan sebagainya adalah istilah-istilah yang oleh kaum ateis dikaitkan dengan keacakan dan kebetulan, meskipun mereka tidak pernah mengakuinya. Para ilmuwan menyebut Sang Pencipta dengan nama-nama lain (Ibu Pertiwi, hukum alam semesta, seleksi alam (teori Darwin), dll.), dalam upaya sia-sia untuk melepaskan diri dari logika agama dan meyakini keberadaan Sang Pencipta.

Allah SWT berfirman:

“Itu hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu telah sebutkan, yang tidak diturunkan Allah suatu keterangan pun tentangnya. Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka dan apa yang diinginkan hati mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.”[108] (An-Najm: 23).

Menggunakan nama selain "Allah" menghilangkan beberapa sifat mutlak-Nya dan menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Misalnya:

Untuk menghindari penyebutan Tuhan, penciptaan hukum-hukum universal dan sistem-sistem yang saling berhubungan yang rumit dianggap terjadi pada alam yang acak, sedangkan penglihatan dan kecerdasan manusia dianggap terjadi pada asal-usul yang buta dan bodoh.

Islam sepenuhnya menolak gagasan ini, dan Al-Quran menjelaskan bahwa Tuhan membedakan Adam dari semua makhluk lainnya dengan menciptakannya secara independen untuk menghormati umat manusia dan untuk memenuhi kebijaksanaan Tuhan semesta alam dalam menjadikannya sebagai khalifah di Bumi.

Para pengikut Darwin menganggap siapa pun yang percaya pada Pencipta alam semesta terbelakang karena mereka percaya pada sesuatu yang belum mereka lihat. Meskipun orang yang percaya percaya pada apa yang meningkatkan status dan kedudukan mereka, mereka percaya pada apa yang merendahkan dan mengurangi status mereka. Bagaimanapun, mengapa kera-kera lainnya tidak berevolusi menjadi umat manusia lainnya?

Teori adalah serangkaian hipotesis. Hipotesis-hipotesis ini dibentuk melalui observasi atau perenungan terhadap suatu fenomena tertentu. Untuk membuktikan hipotesis ini, diperlukan eksperimen atau observasi langsung yang berhasil untuk menunjukkan validitas hipotesis tersebut. Jika salah satu hipotesis dalam suatu teori tidak dapat dibuktikan baik melalui eksperimen maupun observasi langsung, keseluruhan teori harus dipertimbangkan kembali.

Jika kita mengambil contoh evolusi yang terjadi lebih dari 60.000 tahun yang lalu, teori tersebut tidak akan berarti apa-apa. Jika kita tidak menyaksikan atau mengamatinya, argumen ini tidak dapat diterima. Jika baru-baru ini diamati bahwa paruh burung telah berubah bentuk pada beberapa spesies, tetapi tetap menjadi burung, maka berdasarkan teori ini, burung pasti telah berevolusi menjadi spesies lain. "Bab 7: Oller dan Omdahl." Moreland, JP Hipotesis Penciptaan: Ilmiah

Faktanya, gagasan bahwa manusia berasal dari kera atau berevolusi dari kera tidak pernah menjadi salah satu gagasan Darwin, tetapi ia mengatakan bahwa manusia dan kera kembali ke satu asal usul bersama yang tidak diketahui yang ia sebut (mata rantai yang hilang), yang mengalami evolusi khusus dan berubah menjadi manusia. (Dan umat Islam sepenuhnya menolak kata-kata Darwin), tetapi ia tidak mengatakan, seperti yang dipikirkan beberapa orang, bahwa kera adalah nenek moyang manusia. Darwin sendiri, penulis teori ini, terbukti memiliki banyak keraguan, dan ia menulis banyak surat kepada rekan-rekannya untuk mengungkapkan keraguan dan penyesalannya [109]. Autobiografi Darwin - Edisi London: Collins 1958 - hlm. 92, 93.

Telah terbukti bahwa Darwin meyakini keberadaan Tuhan[110], tetapi gagasan bahwa manusia berasal dari hewan muncul dari para pengikut Darwin di kemudian hari ketika mereka menambahkannya ke dalam teorinya, dan mereka awalnya adalah ateis. Tentu saja, umat Islam mengetahui dengan pasti bahwa Tuhan memuliakan Adam dan menjadikannya khalifah di Bumi, dan tidaklah tepat jika posisi khalifah ini berasal dari hewan atau sesuatu yang serupa.

Sains memberikan bukti yang meyakinkan mengenai konsep evolusi dari asal usul yang sama, yang disebutkan dalam Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Maka mengapa mereka tidak beriman?” [111]. (Al-Anbiya: 30).

Allah SWT menciptakan makhluk hidup yang cerdas dan secara alami beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat berevolusi dalam ukuran, bentuk, atau panjang. Misalnya, domba di negara-negara dingin memiliki bentuk dan kulit khusus untuk melindungi mereka dari dingin. Bulu mereka bertambah atau berkurang tergantung pada suhu, sementara di negara lain berbeda. Bentuk dan jenisnya bervariasi tergantung pada lingkungan. Bahkan manusia pun berbeda dalam warna, karakteristik, lidah, dan bentuk. Tidak ada manusia yang sama, tetapi mereka tetap manusia dan tidak berubah menjadi jenis hewan lain. Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan beraneka ragam bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”[112] (Ar-Rum: 22).

“Dan Allah menciptakan semua makhluk dari air. Sebagian dari mereka merayap di atas perutnya, sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [113] (An-Nur: 45).

Teori evolusi, yang berusaha menyangkal keberadaan Sang Pencipta, menyatakan bahwa semua organisme hidup, baik hewan maupun tumbuhan, memiliki asal usul yang sama. Mereka berevolusi dari organisme bersel tunggal. Pembentukan sel pertama dihasilkan dari akumulasi asam amino dalam air, yang kemudian membentuk struktur DNA pertama, yang membawa karakteristik genetik organisme tersebut. Kombinasi asam amino ini menciptakan struktur pertama sel hidup. Berbagai faktor lingkungan dan eksternal menyebabkan proliferasi sel-sel ini, yang membentuk sperma pertama, yang kemudian berkembang menjadi lintah, dan akhirnya menjadi segumpal daging.

Seperti yang dapat kita lihat di sini, tahapan-tahapan ini sangat mirip dengan tahapan penciptaan manusia di dalam rahim ibu. Namun, organisme hidup berhenti tumbuh pada tahap ini, dan organisme tersebut dibentuk berdasarkan karakteristik genetiknya yang dibawa oleh DNA. Misalnya, katak menyelesaikan pertumbuhannya tetapi tetap menjadi katak. Demikian pula, setiap organisme hidup menyelesaikan pertumbuhannya berdasarkan karakteristik genetiknya.

Sekalipun kita memasukkan topik mutasi genetik dan dampaknya terhadap sifat-sifat keturunan dalam kemunculan organisme hidup baru, hal ini tidak menyangkal kuasa dan kehendak Sang Pencipta. Namun, kaum ateis mengklaim bahwa hal ini terjadi secara acak. Namun, kami percaya bahwa teori tersebut menegaskan bahwa tahapan-tahapan evolusi ini hanya dapat terjadi dan berlanjut dengan niat dan perencanaan seorang ahli yang mahatahu. Oleh karena itu, kita dapat mengadopsi konsep evolusi terarah, atau evolusi ilahi, yang menganjurkan evolusi biologis dan menolak keacakan, dan bahwa pasti ada Pencipta yang bijaksana dan cakap di balik evolusi. Dengan kata lain, kita dapat menerima evolusi tetapi sepenuhnya menolak Darwinisme. Ahli paleontologi dan biologi terkemuka, Stephen Joll, berkata, "Entah separuh kolega saya sangat bodoh, atau Darwinisme penuh dengan konsep-konsep yang sejalan dengan agama."

Al-Quran mengoreksi konsep evolusi dengan menceritakan kisah penciptaan Adam:

Manusia tidak ada yang perlu disebutkan:

“Bukankah telah datang atas manusia suatu masa, sedang dia belum menjadi sesuatu yang patut disebut?” [114] (Al-Insan: 1).

Penciptaan Adam dimulai dari tanah liat:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah.” [115] (Al-Mu’minun: 12).

“Dialah yang menyempurnakan segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” [116] (As-Sajdah: 7).

“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah seperti perumpamaan Adam. Allah menciptakannya dari tanah, lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.”[117] (Al Imran: 59).

Menghormati Adam, bapak umat manusia:

“Dia berkata, ‘Hai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang sombong?’” [118]. (Shad: 75).

Keagungan Adam, bapak segala manusia, bukan saja karena ia diciptakan secara terpisah dari tanah liat, akan tetapi ia diciptakan langsung oleh tangan Tuhan semesta alam, sebagaimana tertera dalam ayat yang mulia, dan Allah SWT meminta para malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai tanda ketaatan kepada Allah.

“Dan ketika Kami berkata kepada para malaikat, ‘Sujudlah kepada Adam,’ mereka pun sujud, kecuali Iblis. Dia enggan dan menyombongkan diri dan jadilah dia termasuk orang-orang yang kafir.”[119] (Al-Baqarah: 34).

Penciptaan keturunan Adam:

“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.”[120] (As-Sajdah: 8).

“Kemudian Kami jadikan dia mani dalam tempat yang kokoh. (13) Kemudian mani itu Kami jadikan segumpal darah yang melekat, kemudian segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, kemudian segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, kemudian tulang belulang itu Kami lapisi dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.”[121] (Al-Mu’minun 13-14).

“Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu kerabat dan nasab. Dan Tuhanmu Maha Kuasa.” [122] (Al-Furqan 54).

Menghormati keturunan Adam:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan di atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”[123] (Al-Isra’: 70).

Di sini kita melihat adanya kemiripan antara tahapan penciptaan keturunan Adam (air yang terdegradasi, sperma, lintah, segumpal daging…) dengan apa yang dinyatakan dalam teori evolusi mengenai penciptaan organisme hidup dan metode reproduksinya.

“Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan pasangan-pasangan dari jenis binatang ternak. Pada (pasangan-pasangan itu) Dia memperbanyak kamu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”[124] (Asy-Syura: 11).

Dan bahwa Allah menciptakan keturunan Adam dari air yang hina untuk menunjukkan keesaan sumber ciptaan dan keesaan Sang Pencipta. Dan bahwa Dia membedakan Adam dari semua makhluk lain dengan menciptakannya secara terpisah untuk memuliakan manusia dan memenuhi kebijaksanaan Tuhan semesta alam dalam menjadikannya khalifah di Bumi. Dan bahwa penciptaan Adam tanpa ayah atau ibu juga untuk menunjukkan kemahahadiran kekuasaan. Dan Dia memberikan contoh lain dalam penciptaan Isa, saw, tanpa ayah, sebagai mukjizat kemahahadiran kekuasaan dan tanda bagi umat manusia.

“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah seperti perumpamaan Adam. Allah menciptakannya dari tanah, lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.”[125] (Al Imran: 59).

Apa yang banyak orang coba bantah dengan teori evolusi adalah bukti yang menentangnya.

Adanya beragam teori dan keyakinan di antara orang-orang bukan berarti tidak ada satu kebenaran yang benar. Misalnya, betapa pun beragamnya konsep dan persepsi orang tentang alat transportasi yang digunakan seseorang yang memiliki mobil hitam, misalnya, hal itu tidak meniadakan fakta bahwa ia memiliki mobil hitam. Sekalipun seluruh dunia percaya bahwa mobil orang ini berwarna merah, keyakinan ini tidak menjadikannya merah. Hanya ada satu kebenaran, yaitu bahwa mobil itu berwarna hitam.

Banyaknya konsep dan persepsi tentang realitas sesuatu tidak meniadakan eksistensi realitas tunggal yang tetap untuk hal tersebut.

Dan Allah adalah teladan tertinggi. Betapa pun beragamnya persepsi dan konsep manusia tentang asal usul keberadaan, hal ini tidak meniadakan keberadaan satu kebenaran, yaitu Tuhan Pencipta Yang Esa, yang tidak memiliki rupa yang dikenal manusia, dan yang tidak memiliki sekutu atau putra. Jadi, jika seluruh dunia ingin menerima gagasan bahwa Sang Pencipta berwujud dalam wujud hewan, misalnya, atau manusia, hal ini tidak akan menjadikan-Nya demikian. Allah jauh di atas itu, dimuliakan jauh di atas.

Tidaklah logis bagi manusia, yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, untuk menentukan apakah pemerkosaan itu jahat atau tidak. Sebaliknya, jelas bahwa pemerkosaan itu sendiri merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran nilai serta kebebasan manusia. Hal ini membuktikan bahwa pemerkosaan itu jahat, begitu pula homoseksualitas, yang merupakan pelanggaran hukum universal, dan hubungan di luar nikah. Hanya apa yang benar yang valid, meskipun seluruh dunia sepakat bahwa itu salah. Kesalahan sejelas matahari, meskipun seluruh umat manusia mengakui validitasnya.

Demikian pula, dalam hal sejarah, meskipun kita menerima bahwa setiap era seharusnya menulis sejarah dari perspektifnya sendiri—karena penilaian setiap era tentang apa yang penting dan bermakna baginya berbeda satu sama lain—hal ini tidak menjadikan sejarah relatif. Hal ini tidak meniadakan fakta bahwa peristiwa-peristiwa memiliki satu kebenaran, suka atau tidak suka. Sejarah manusia, yang rentan terhadap distorsi, ketidakakuratan, dan berdasarkan keinginan, tidak seperti sejarah peristiwa yang ditulis oleh Tuhan Semesta Alam, yang memiliki ketepatan tertinggi, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan.

Pernyataan bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang dianut banyak orang sebenarnya merupakan keyakinan tentang apa yang benar dan salah, dan mereka mencoba memaksakannya kepada orang lain. Mereka mengadopsi standar perilaku dan memaksa semua orang untuk mematuhinya, sehingga melanggar hal yang mereka klaim untuk dijunjung tinggi—sebuah posisi yang saling bertentangan.

Bukti adanya kebenaran mutlak adalah sebagai berikut:

Hati nurani: (dorongan batin) Seperangkat pedoman moral yang membatasi perilaku manusia dan memberikan bukti bahwa dunia bekerja dengan cara tertentu dan bahwa ada yang benar dan yang salah. Prinsip-prinsip moral ini merupakan kewajiban sosial yang tidak dapat dibantah atau menjadi subjek referendum publik. Prinsip-prinsip ini merupakan fakta sosial yang sangat penting bagi masyarakat dalam isi dan maknanya. Misalnya, tidak menghormati orang tua atau mencuri selalu dipandang sebagai perilaku tercela dan tidak dapat dibenarkan dengan kejujuran atau rasa hormat. Hal ini berlaku secara umum untuk semua budaya dan sepanjang masa.

Sains: Sains adalah persepsi tentang segala sesuatu sebagaimana adanya; sains adalah pengetahuan dan kepastian. Oleh karena itu, sains tentu bergantung pada keyakinan bahwa terdapat kebenaran objektif di dunia yang dapat ditemukan dan dibuktikan. Apa yang dapat dipelajari jika tidak ada fakta yang terbukti? Bagaimana seseorang dapat mengetahui kebenaran temuan ilmiah? Padahal, prinsip-prinsip sains sendiri didasarkan pada keberadaan kebenaran absolut.

Agama: Semua agama di dunia memberikan visi, makna, dan definisi kehidupan, didorong oleh hasrat manusia yang membara untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terdalamnya. Melalui agama, manusia mencari sumber dan takdirnya, serta kedamaian batin yang hanya dapat dicapai dengan menemukan jawaban-jawaban ini. Keberadaan agama sendiri merupakan bukti bahwa manusia lebih dari sekadar hewan yang berevolusi, bahwa ada tujuan hidup yang lebih tinggi, dan bahwa ada Sang Pencipta yang menciptakan kita untuk suatu tujuan dan menanamkan dalam hati manusia keinginan untuk mengenal-Nya. Sesungguhnya, keberadaan Sang Pencipta adalah kriteria kebenaran mutlak.

Logika: Semua manusia memiliki pengetahuan dan pikiran yang terbatas, sehingga mustahil secara logis untuk menerima pernyataan yang sepenuhnya negatif. Seseorang tidak dapat secara logis mengatakan, "Tidak ada Tuhan," karena untuk membuat pernyataan tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan absolut tentang seluruh alam semesta dari awal hingga akhir. Karena hal ini mustahil, yang paling dapat dilakukan seseorang secara logis adalah mengatakan, "Dengan pengetahuan terbatas yang saya miliki, saya tidak percaya akan keberadaan Tuhan."

Kesesuaian: Menyangkal kebenaran mutlak akan berujung pada:

Kontradiksi dengan keyakinan kita akan keabsahan apa yang ada dalam hati nurani dan pengalaman hidup serta dengan realitas.

Tidak ada yang benar atau salah dalam segala hal yang ada. Jika hal yang benar bagi saya adalah mengabaikan peraturan lalu lintas, misalnya, saya akan membahayakan nyawa orang-orang di sekitar saya. Hal ini menciptakan benturan standar benar dan salah di antara manusia. Oleh karena itu, mustahil untuk memastikan apa pun.

Manusia memiliki kebebasan mutlak untuk melakukan kejahatan apa pun yang dikehendakinya.

Ketidakmungkinan menetapkan hukum atau mencapai keadilan.

Dengan kebebasan absolut, manusia menjadi makhluk yang buruk rupa, dan sebagaimana telah terbukti tanpa keraguan, ia tidak mampu menanggung kebebasan tersebut. Perilaku yang salah tetaplah salah, meskipun dunia sepakat akan kebenarannya. Satu-satunya kebenaran yang benar dan tepat adalah bahwa moralitas tidaklah relatif dan tidak berubah seiring waktu atau tempat.

Keteraturan: Tidak adanya kebenaran mutlak menimbulkan kekacauan.

Misalnya, jika hukum gravitasi bukan fakta ilmiah, kita tidak akan percaya diri untuk berdiri atau duduk di tempat yang sama sampai kita bergerak lagi. Kita tidak akan percaya bahwa satu tambah satu sama dengan dua setiap saat. Dampaknya terhadap peradaban akan sangat mengerikan. Hukum sains dan fisika akan menjadi tidak relevan, dan orang-orang tidak akan dapat berbisnis.

Keberadaan manusia di planet Bumi, yang melayang di angkasa, ibarat penumpang yang berasal dari berbagai budaya yang berkumpul dalam sebuah pesawat terbang yang tidak diketahui tujuannya dan tidak diketahui pilotnya. Mereka terpaksa melayani diri sendiri dan menanggung berbagai kesulitan di dalam pesawat terbang itu.

Mereka menerima pesan dari pilot dengan salah satu awak pesawat menjelaskan alasan kehadiran mereka, titik keberangkatan dan tujuan mereka, dan menjelaskan karakteristik pribadinya dan cara menghubunginya secara langsung.

Penumpang pertama berkata: Ya, jelas pesawat itu ada kaptennya dan dia berbelas kasih karena mengirim orang ini untuk menjawab pertanyaan kami.

Yang kedua berkata: Pesawat itu tidak punya pilot, dan aku tidak percaya utusan itu: Kami datang dari ketiadaan dan kami di sini tanpa tujuan.

Yang ketiga berkata: Tidak ada seorang pun yang membawa kami ke sini, kami dikumpulkan secara acak.

Yang keempat berkata: Pesawat itu ada pilotnya, tetapi utusannya adalah putra pemimpin, dan pemimpin itu datang dalam wujud putranya untuk tinggal di antara kita.

Yang kelima berkata: Pesawat itu punya pilot, tetapi ia tidak mengirim pesan kepada siapa pun. Pilot itu datang dalam wujud segalanya untuk tinggal di antara kita. Tidak ada tujuan akhir untuk perjalanan kita, dan kita akan tetap berada di pesawat.

Yang keenam berkata: Tidak ada pemimpin, dan saya ingin mengambil pemimpin simbolis dan imajiner untuk diri saya sendiri.

Yang ketujuh berkata: Kaptennya ada di sini, tapi dia yang menaikkan kita ke pesawat dan sibuk. Dia tidak lagi ikut campur dalam urusan kita atau urusan pesawat.

Yang kedelapan berkata: "Pemimpin ada di sini, dan saya menghormati utusannya, tetapi kita tidak membutuhkan aturan di atas kapal untuk menentukan apakah suatu tindakan benar atau salah. Kita membutuhkan pedoman untuk berinteraksi satu sama lain yang didasarkan pada keinginan dan kehendak kita sendiri, sehingga kita melakukan apa yang membuat kita bahagia."

Yang Kesembilan berkata: Pemimpin ada di sini, dan dialah satu-satunya pemimpinku, dan kalian semua di sini untuk melayaniku. Kalian tidak akan pernah mencapai tujuan kalian dalam keadaan apa pun.

Yang kesepuluh berkata: Keberadaan pemimpin itu relatif. Ia ada bagi mereka yang meyakini keberadaannya, dan ia tidak ada bagi mereka yang mengingkari keberadaannya. Setiap persepsi penumpang tentang pemimpin ini, tujuan penerbangan, dan cara mereka berinteraksi adalah benar.

Kita memahami dari cerita fiksi ini, yang memberikan gambaran tentang persepsi sebenarnya manusia saat ini di planet Bumi tentang asal usul keberadaan dan tujuan kehidupan:

Jelaslah bahwa sebuah pesawat terbang memiliki satu pilot yang tahu cara menerbangkan dan mengendalikannya dari satu arah ke arah lain untuk tujuan tertentu, dan tidak seorang pun akan tidak setuju dengan prinsip yang jelas ini.

Seseorang yang mengingkari keberadaan pilot atau memiliki banyak persepsi tentangnya diharuskan memberikan penjelasan dan klarifikasi dan mungkin memiliki persepsi benar atau salah.

Dan Tuhan adalah contoh tertinggi. Jika kita menerapkan contoh simbolis ini pada realitas keberadaan Sang Pencipta, kita menemukan bahwa keragaman teori tentang asal usul keberadaan tidak meniadakan keberadaan satu kebenaran absolut, yaitu:

Tuhan Pencipta yang Esa, yang tidak memiliki sekutu atau putra, tidak bergantung pada ciptaan-Nya dan tidak mengambil wujud apa pun dari mereka. Jadi, jika seluruh dunia ingin menerima gagasan bahwa Sang Pencipta mengambil wujud binatang, misalnya, atau manusia, ini tidak akan menjadikan-Nya demikian, dan Tuhan jauh lebih tinggi dari itu.

Tuhan Sang Pencipta itu adil, dan merupakan bagian dari keadilan-Nya untuk memberi pahala dan hukuman, serta terhubung dengan umat manusia. Dia bukanlah Tuhan jika Dia menciptakan mereka lalu meninggalkan mereka. Itulah sebabnya Dia mengutus para utusan kepada mereka untuk menunjukkan jalan dan memberi tahu umat manusia tentang metode-Nya, yaitu menyembah-Nya dan kembali kepada-Nya saja, tanpa pendeta, wali, atau perantara apa pun. Mereka yang mengikuti jalan ini pantas mendapatkan pahala, dan mereka yang menyimpang darinya pantas mendapatkan hukuman. Hal ini terwujud di akhirat, dalam kebahagiaan Surga dan siksaan Neraka.

Inilah yang disebut dengan “agama Islam”, yaitu agama yang benar yang telah dipilih oleh Sang Pencipta untuk hamba-hamba-Nya.

Bukankah seorang Kristen menganggap seorang Muslim kafir, misalnya, karena ia tidak percaya pada doktrin Trinitas, yang tanpanya seseorang tidak dapat masuk kerajaan surga? Kata "kafir" berarti penyangkalan kebenaran, dan bagi seorang Muslim, kebenaran adalah monoteisme, sementara bagi seorang Kristen, kebenaran adalah Trinitas.

Buku Terakhir

Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Umat Islam mengimani semua kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Qur'an (Naskah Ibrahim, Zabur, Taurat, Injil, dll.). Umat Islam meyakini bahwa pesan sejati dari semua kitab suci tersebut adalah tauhid murni (keyakinan kepada Tuhan dan penyembahan hanya kepada-Nya). Namun, tidak seperti kitab suci sebelumnya, Al-Qur'an tidak dimonopoli oleh kelompok atau sekte tertentu, tidak ada versi yang berbeda, dan tidak pernah diubah sama sekali. Sebaliknya, Al-Qur'an adalah satu versi untuk semua umat Islam. Teks Al-Qur'an tetap dalam bahasa aslinya (Arab), tanpa perubahan, distorsi, atau modifikasi apa pun. Al-Qur'an telah terpelihara sebagaimana adanya hingga saat ini dan akan tetap demikian, sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan semesta alam untuk melestarikannya. Al-Qur'an diedarkan di antara semua umat Islam dan dihafal di hati banyak dari mereka. Terjemahan Al-Qur'an yang beredar saat ini dalam berbagai bahasa yang beredar di antara manusia hanyalah terjemahan dari makna Al-Qur'an. Tuhan semesta alam menantang orang Arab maupun non-Arab untuk membuat sesuatu seperti Al-Quran ini. Pada masa itu, orang Arab menguasai kefasihan, retorika, dan puisi. Namun, mereka yakin bahwa Al-Quran ini tidak mungkin berasal dari siapa pun selain Allah. Tantangan ini terus berlanjut selama lebih dari empat belas abad, dan tak seorang pun mampu membuatnya. Inilah salah satu bukti terbesar bahwa Al-Quran ini berasal dari Allah.

Jika Al-Qur'an berasal dari orang Yahudi, mereka pastilah orang-orang pertama yang mengaitkannya dengan diri mereka sendiri. Apakah orang-orang Yahudi mengklaim hal ini pada saat wahyu diturunkan?

Bukankah hukum dan transaksi berbeda, seperti salat, haji, dan zakat? Lalu, mari kita simak kesaksian non-Muslim bahwa Al-Qur'an itu unik di antara kitab-kitab lainnya, bukan buatan manusia, dan mengandung mukjizat ilmiah. Ketika seseorang yang beriman mengakui keabsahan suatu keyakinan yang bertentangan dengan keyakinannya, inilah bukti terbesar keabsahannya. Itu adalah satu pesan dari Tuhan semesta alam, dan memang seharusnya begitu. Apa yang dibawa Nabi Muhammad bukanlah bukti kepalsuannya, melainkan bukti kejujurannya. Allah menantang orang-orang Arab, yang pada masa itu terkenal fasih berbicara, dan orang-orang non-Arab, untuk menghasilkan satu ayat saja yang serupa, dan mereka gagal. Tantangan itu masih ada.

Peradaban kuno memiliki banyak ilmu pengetahuan yang benar, tetapi juga banyak mitos dan legenda. Bagaimana mungkin seorang nabi buta huruf yang dibesarkan di gurun tandus hanya menyalin ilmu pengetahuan yang benar dari peradaban ini dan membuang mitos-mitosnya?

Ada ribuan bahasa dan dialek yang tersebar di seluruh dunia. Jika Al-Qur'an diturunkan dalam salah satu bahasa ini, orang-orang akan bertanya-tanya mengapa tidak dalam bahasa lain. Allah mengutus para utusan-Nya dalam bahasa kaum mereka, dan Allah memilih Rasul-Nya, Muhammad, untuk menjadi penutup para utusan. Bahasa Al-Qur'an adalah bahasa kaum-Nya, dan Dia telah menjaganya dari distorsi hingga Hari Kiamat. Demikian pula, Dia memilih bahasa Aram untuk kitab Kristus.

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar kami dapat menjelaskannya kepada mereka…”[126](Ibrahim:4).

Ayat-ayat yang membatalkan dan yang dibatalkan merupakan perkembangan dalam ketentuan perundang-undangan, seperti penangguhan suatu ketetapan sebelumnya, penggantian dengan ketetapan yang lebih baru, pembatasan terhadap hal-hal yang bersifat umum, atau penghapusan terhadap hal-hal yang dibatasi. Hal ini merupakan kejadian yang umum dan sudah lazim dalam hukum-hukum agama sebelumnya dan sejak zaman Adam. Demikian pula, praktik menikahkan saudara laki-laki dengan saudara perempuan merupakan suatu keutamaan pada zaman Adam, a.s., tetapi kemudian menjadi sumber kerusakan dalam semua hukum agama lainnya. Demikian pula, kebolehan bekerja pada hari Sabat merupakan keutamaan dalam hukum Ibrahim, a.s., dan dalam semua hukum agama sebelumnya, tetapi kemudian menjadi sumber kerusakan dalam hukum Musa, a.s. Allah Ta'ala memerintahkan Bani Israil untuk bunuh diri setelah mereka menyembah anak sapi, tetapi ketetapan ini kemudian dicabut dari mereka. Masih banyak contoh lainnya. Penggantian satu ketetapan dengan ketetapan lainnya terjadi dalam hukum agama yang sama atau antara satu hukum agama dengan hukum agama lainnya, sebagaimana telah disebutkan pada contoh-contoh sebelumnya.

Misalnya, seorang dokter yang mulai mengobati pasiennya dengan obat tertentu, kemudian secara bertahap menambah atau mengurangi dosisnya sebagai bagian dari perawatannya, dianggap bijaksana. Allah memiliki teladan tertinggi, dan keberadaan ayat-ayat yang membatalkan dan yang diurungkan dalam hukum Islam merupakan bagian dari kebijaksanaan Sang Pencipta Yang Mahakuasa.

Nabi mewariskan Al-Qur'an yang sahih dan tertulis di tangan para sahabat untuk mereka baca dan ajarkan kepada orang lain. Ketika Abu Bakar (ra) menjabat sebagai khalifah, beliau memerintahkan agar naskah-naskah ini dikumpulkan dan ditaruh di satu tempat agar dapat dibaca bersama. Pada masa pemerintahan Utsman, beliau memerintahkan pembakaran salinan dan naskah yang berada di tangan para sahabat di berbagai provinsi, yang memiliki dialek yang berbeda-beda. Beliau mengirimkan kepada mereka salinan-salinan baru yang identik dengan salinan asli peninggalan Nabi dan disusun oleh Abu Bakar. Hal ini memastikan bahwa semua provinsi akan merujuk pada salinan asli yang sama dan satu-satunya salinan peninggalan Nabi.

Al-Qur'an tetap sama seperti aslinya, tanpa perubahan apa pun. Al-Qur'an selalu bersama umat Islam sepanjang masa, dan mereka telah menyebarkannya di antara mereka sendiri dan membacanya dalam salat.

Islam tidak bertentangan dengan sains eksperimental. Bahkan, banyak ilmuwan Barat yang tidak percaya pada Tuhan menyimpulkan bahwa keberadaan Sang Pencipta tak terelakkan melalui penemuan-penemuan ilmiah mereka, yang membawa mereka pada kebenaran ini. Islam mengutamakan logika akal dan pikiran, serta menyerukan perenungan dan refleksi tentang alam semesta.

Islam mengajak seluruh umat manusia untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan keajaiban ciptaan-Nya, menjelajahi bumi, mengamati alam semesta, menggunakan akal, serta berpikir dan bernalar. Islam bahkan mengajak kita untuk terus-menerus mempertimbangkan kembali cakrawala dan jati diri kita. Kita pasti akan menemukan jawaban yang kita cari dan pasti akan mendapati diri kita meyakini keberadaan Sang Pencipta. Kita akan mencapai keyakinan dan kepastian penuh bahwa alam semesta ini diciptakan dengan penuh kehati-hatian, tujuan, dan tunduk pada suatu tujuan. Pada akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan yang diserukan oleh Islam: tiada Tuhan selain Allah.

Allah SWT berfirman:

“Dia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pengasih suatu ketidaksesuaian. Maka perhatikanlah kembali, apakah kamu melihat suatu cacat? Kemudian lihatlah kembali untuk kedua kalinya. Kelak penglihatanmu akan kembali kepadamu dalam keadaan khusyuk, padahal ia telah letih.” [127] (Al-Mulk: 3-4).

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan tidak cukupkah bagi Tuhanmu bahwa Dia menjadi saksi atas segala sesuatu?” [128] (Fussilat: 53).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan apa yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya, dan Dia tebarkan di bumi itu segala macam binatang yang bergerak, dan perkisaran angin dan awan yang terkendali antara langit dan bumi, merupakan tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang berpikir.” [129] (Al-Baqarah: 164).

“Dan Dia telah menundukkan untukmu malam, siang, matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepadamu dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berpikir.” [130] (An-Nahl: 12).

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan-Mu, dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”[131] (Adh-Dhariyat: 47).

“Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu menjadikannya sebagai sumber-sumber di bumi? Kemudian Dia tumbuhkan dengan air itu tumbuh-tumbuhan yang beraneka warna, kemudian tumbuh-tumbuhan itu kering, lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian Dia jadikan menjadi tanah yang kering kerontang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang berakal.” [132] (Az-Zumar: 21). Siklus air, sebagaimana ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, telah dijelaskan 500 tahun yang lalu. Sebelumnya, orang-orang percaya bahwa air berasal dari laut dan meresap ke daratan, sehingga membentuk mata air dan air tanah. Dipercaya pula bahwa uap air di dalam tanah mengembun menjadi air. Padahal Al-Qur’an telah menjelaskan dengan jelas bagaimana air terbentuk 1400 tahun yang lalu.

“Apakah orang-orang kafir tidak memperhatikan bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup? Maka mengapa mereka tidak beriman?” [133] (Al-Anbiya: 30). Hanya ilmu pengetahuan modern yang mampu menemukan bahwa kehidupan bermula dari air dan bahwa komponen dasar sel pertama adalah air. Informasi ini, serta keseimbangan dalam kerajaan tumbuhan, tidak diketahui oleh non-Muslim. Al-Qur’an menggunakannya untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya.

Bahasa Indonesia: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah liat. Kemudian Kami jadikan mani itu segumpal darah dalam wadah yang kokoh. Kemudian mani itu Kami jadikan segumpal darah yang melekat, kemudian segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, kemudian segumpal daging itu tulang-tulang, kemudian tulang-tulang itu Kami lapisi dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang sebaik-baiknya.” [134] (Al-Mu’minun: 12-14). Ilmuwan Kanada Keith Moore adalah salah satu ahli anatomi dan embriologi paling terkemuka di dunia. Ia memiliki karier akademis yang terhormat yang mencakup banyak universitas dan telah memimpin banyak perkumpulan ilmiah internasional, seperti Society of Anatomists and Embryologists of Canada and the United States, dan Council of the Union of Life Sciences. Ia juga telah terpilih sebagai anggota Royal Medical Society of Canada, International Academy of Cell Sciences, American Association of Anatomists, dan Pan-American Union of Anatomy. Pada tahun 1980, Keith Moore mengumumkan keislamannya setelah membaca Al-Qur'an dan ayat-ayat yang membahas perkembangan janin, yang mendahului semua ilmu pengetahuan modern. Ia menceritakan kisah keislamannya, dengan mengatakan: "Saya diundang untuk menghadiri Konferensi Internasional tentang Keajaiban Ilmiah, yang diadakan di Moskow pada akhir tahun 1970-an. Saat itu, beberapa cendekiawan Muslim sedang mengkaji ayat-ayat kosmik, khususnya ayat: 'Dia mengatur urusan dari langit ke bumi. Kemudian, urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun dari masa yang kamu hitung.'" (Surat As-Sajdah, ayat 5). Para cendekiawan Muslim terus meriwayatkan ayat-ayat lain yang membahas perkembangan janin dan manusia. Karena minat saya yang besar untuk mempelajari lebih lanjut tentang ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, saya terus mendengarkan dan mengamati. Ayat-ayat ini merupakan respons yang kuat bagi semua orang dan memiliki dampak khusus pada saya. Saya mulai merasa bahwa inilah yang saya inginkan, dan saya telah mencarinya selama bertahun-tahun melalui laboratorium, penelitian, dan penggunaan teknologi modern. Akan tetapi, apa yang dibawa Al-Quran sangatlah komprehensif dan lengkap sebelum hadirnya teknologi dan sains.

“Hai manusia, jika kamu ragu tentang Hari Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging, kemudian dari segumpal daging yang sempurna dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu. Dan Kami tetapkan dalam rahim siapa yang Kami kehendaki, hingga waktu yang ditentukan; kemudian Kami keluarkan kamu sebagai seorang anak, dan kemudian [ini] [periode] yang lain agar kamu mencapai kekuatanmu [sempurna]. Dan di antara kamu ada orang yang diambil [dalam kematian], dan di antara kamu ada orang yang dikembalikan ke keadaan yang lebih hina.” “Seumur hidup agar dia tidak mengetahui sesuatu pun setelah memiliki pengetahuan. Dan kamu melihat bumi itu tandus, tetapi ketika Kami turunkan hujan padanya, ia bergetar dan membengkak dan menumbuhkan [melimpah] segala jenis yang indah.” [135] (Al-Hajj: 5). Ini adalah siklus perkembangan embrio yang tepat sebagaimana ditemukan oleh sains modern.

Nabi terakhir

Nabi Muhammad, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hashim, dari suku Arab Quraisy, yang tinggal di Mekah, dan dia adalah keturunan Ismail, putra Abraham, sahabat Allah.

Seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama, Tuhan berjanji untuk memberkati Ismael dan membangkitkan bangsa yang besar dari keturunannya.

“Mengenai Ismael, Aku telah mendengarmu tentang dia. Sesungguhnya, Aku akan memberkatinya, membuatnya beranak cucu dan membuatnya sangat banyak; ia akan melahirkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.”[136] (Perjanjian Lama, Kejadian 17:20).

Ini adalah salah satu bukti terkuat bahwa Ismail adalah putra sah Abraham, saw (Perjanjian Lama, Kejadian 16:11).

“Lalu kata malaikat Tuhan kepadanya: ‘Sesungguhnya engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan engkau akan menamainya Ismael, sebab Tuhan telah mendengar penderitaanmu’” [137]. (Perjanjian Lama, Kejadian 16:3).

“Maka Sarah, istri Abraham, mengambil Hagar, perempuan Mesir, hambanya, setelah Abraham tinggal sepuluh tahun di tanah Kanaan, lalu memberikannya kepada Abraham sebagai istrinya.”[138]

Nabi Muhammad lahir di Mekah. Ayahnya meninggal sebelum beliau lahir. Ibunya meninggal saat beliau masih kecil, sehingga kakeknya yang mengasuhnya. Kakeknya kemudian meninggal, sehingga pamannya, Abu Thalib, yang mengasuhnya.

Beliau dikenal karena kejujuran dan kejujurannya. Beliau tidak bergaul dengan kaum jahiliyah, tidak pula terlibat dalam hiburan dan permainan, menari dan bernyanyi, juga tidak minum alkohol, dan beliau tidak menyukainya. Kemudian Nabi mulai pergi ke sebuah gunung di dekat Mekah (Gua Hira) untuk beribadah. Kemudian wahyu turun kepadanya di tempat ini, dan malaikat datang kepadanya dari Allah SWT. Malaikat itu berkata kepadanya: Bacalah. Bacalah, dan Nabi tidak bisa membaca atau menulis, maka Nabi berkata: Saya bukan pembaca - yaitu, saya tidak tahu cara membaca - jadi raja mengulangi permintaan itu, dan dia berkata: Saya bukan pembaca, jadi raja mengulangi permintaan itu untuk kedua kalinya, dan dia memeluknya erat-erat sampai dia kelelahan, lalu dia berkata: Bacalah, dan dia berkata: Saya bukan pembaca - yaitu, saya tidak tahu cara membaca - ketiga kalinya dia berkata kepadanya: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmu adalah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajar dengan pena (4) Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya ”[139]. (Al-Alaq: 1-5).

Bukti kebenaran kenabiannya:

Kita menemukannya dalam biografinya, karena ia dikenal sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Allah SWT berfirman:

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya suatu kitab pun dan tidak (pula) menulisnya dengan tangan kananmu. Maka tentulah orang-orang yang dusta itu ragu-ragu.”[140] (Al-Ankabut: 48).

Rasulullah adalah orang pertama yang mengamalkan apa yang beliau sampaikan, dan memperkuat ucapannya dengan perbuatan. Beliau tidak mengharap imbalan duniawi atas apa yang beliau sampaikan. Beliau menjalani kehidupan yang sederhana, dermawan, penuh kasih, dan rendah hati. Beliau adalah orang yang paling rela berkorban dan paling zuhud di antara mereka yang mencari apa yang dimiliki manusia. Allah SWT berfirman:

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu untuk (menulis) ini. Sesungguhnya ia hanyalah peringatan bagi semesta alam.” [141] (Al-An’am: 90).

Beliau memberikan bukti kebenaran kenabiannya melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan Allah kepadanya, yang berbahasa mereka dan begitu fasih serta fasih sehingga melampaui ucapan manusia. Allah SWT berfirman:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan seksama? Kalau seandainya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. [142] (An-Nisa’: 82).

Atau apakah mereka mengatakan: "Dia (Al-Qur'an) membuat-buatnya?" Katakanlah: "Maka buatlah sepuluh surat yang dibuat-buat seperti itu, dan serulah siapa saja yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." [143] (Hud: 13)

“Tetapi jika mereka tidak menaati perintahmu, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [144] (Al-Qasas: 50).

Ketika sekelompok orang di Madinah menyebarkan desas-desus bahwa matahari telah mengalami gerhana karena wafatnya putra Nabi, Ibrahim, Nabi (saw) menyapa mereka dan menyampaikan sebuah pernyataan yang menjadi pesan bagi semua orang yang masih mempercayai berbagai mitos tentang gerhana matahari. Beliau menyampaikan hal ini dengan jelas dan tegas lebih dari empat belas abad yang lalu:

“Matahari dan bulan adalah dua tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Maka, jika kalian melihatnya, maka segeralah berdzikir kepada Allah dan salat.” [145] (Sahih al-Bukhari).

Kalau dia benar-benar nabi palsu, niscaya dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk meyakinkan manusia akan kenabiannya.

Salah satu bukti kenabiannya adalah disebutkannya deskripsi dan namanya dalam Perjanjian Lama.

“Dan kitab itu akan diberikan kepada orang yang tidak dapat membaca, dan akan dikatakan kepadanya, ‘Bacalah ini,’ dan ia akan menjawab, ‘Aku tidak dapat membaca.’”[146] (Perjanjian Lama, Yesaya 29:12).

Meskipun umat Muslim tidak percaya bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada berasal dari Tuhan karena distorsi yang ada di dalamnya, mereka percaya bahwa keduanya memiliki sumber yang benar, yaitu Taurat dan Injil (yang diwahyukan Tuhan kepada para nabi-Nya: Musa dan Yesus Kristus). Oleh karena itu, mungkin ada sesuatu dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berasal dari Tuhan. Umat Muslim percaya bahwa nubuat ini, jika benar, berbicara tentang Nabi Muhammad dan merupakan sisa dari Taurat yang benar.

Pesan yang diserukan Nabi Muhammad adalah iman yang murni, yaitu (iman kepada satu Tuhan dan menyembah-Nya saja). Ini adalah pesan semua nabi sebelum beliau, dan beliau menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an:

Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kamu sekalian, yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, seorang nabi yang ummi, yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.’” [147] (Al-A’raf: 158).

Kristus tidak memuliakan siapa pun di bumi sebagaimana Muhammad, saw, memuliakannya.

Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, berkata: “Saya adalah orang yang paling dekat dengan Isa, putra Maryam, pada awal dan akhir.” Mereka bertanya: “Bagaimana itu, wahai Rasulullah?” Dia berkata: “Para nabi adalah saudara-saudara ayah, dan ibu mereka berbeda, tetapi agama mereka adalah satu, jadi tidak ada nabi di antara kami (antara Yesus Kristus dan saya).” [148] (Sahih Muslim).

Nama Yesus Kristus disebutkan dalam Al-Quran lebih banyak daripada nama Nabi Muhammad (25 kali berbanding 4 kali).

Maria, ibunda Isa, adalah wanita yang paling utama di antara semua wanita di dunia, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Al-Quran.

Maria adalah satu-satunya yang disebutkan namanya dalam Al-Quran.

Ada satu Surah penuh di dalam Al-Qur’an yang dinamai sesuai dengan nama Bunda Maria.[149] www.fatensabri.com Buku “An Eye on the Truth.” Faten Sabry.

Ini adalah salah satu bukti terbesar kejujurannya, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian. Seandainya dia seorang nabi palsu, dia pasti akan menyebutkan nama istri-istrinya, ibunya, atau putrinya. Seandainya dia seorang nabi palsu, dia tidak akan memuliakan Kristus atau menjadikan iman kepadanya sebagai pilar iman Muslim.

Perbandingan sederhana antara Nabi Muhammad dan pendeta mana pun saat ini akan mengungkapkan ketulusannya. Beliau menolak setiap hak istimewa yang ditawarkan kepadanya, baik kekayaan, prestise, maupun jabatan kependetaan. Beliau tidak mau menerima pengakuan dosa atau mengampuni dosa orang beriman. Sebaliknya, beliau memerintahkan para pengikutnya untuk langsung menghadap Sang Pencipta.

Salah satu bukti terbesar kebenaran kenabiannya adalah meluasnya dakwahnya, diterimanya dakwah oleh umat manusia, dan keberhasilan Allah baginya. Allah tidak pernah memberikan keberhasilan kepada seorang yang mengaku sebagai nabi palsu dalam sejarah umat manusia.

Filsuf Inggris Thomas Carlyle (1795-1881) berkata: “Telah menjadi aib terbesar bagi setiap individu beradab di zaman ini untuk mendengarkan apa yang dipikirkannya, bahwa agama Islam adalah dusta, dan bahwa Muhammad adalah penipu, dan bahwa kita harus memerangi penyebaran ucapan-ucapan yang menggelikan dan memalukan tersebut, karena pesan yang disampaikan oleh Rasul itu tetap menjadi pelita yang bersinar, selama dua belas abad, bagi sekitar dua ratus juta orang seperti kita, yang diciptakan oleh Tuhan yang menciptakan kita. Pernahkah kalian melihat, wahai saudara-saudara, bahwa seorang pembohong dapat menciptakan sebuah agama dan menyebarkannya? Demi Tuhan, sungguh menakjubkan bahwa seorang pembohong tidak dapat membangun rumah dari batu bata. Jika ia tidak mengetahui sifat-sifat kapur, plester, tanah, dan sejenisnya, lalu apa rumah yang ia bangun itu? Itu hanyalah gundukan puing dan gundukan tanah dari bahan-bahan campuran. Ya, rumah itu tidak layak untuk tetap berdiri tegak selama dua belas abad, dihuni oleh dua ratus juta jiwa, tetapi rumah itu layak untuk runtuhnya pilar-pilarnya, sehingga runtuh seolah-olah ia adalah “Rumah yang dibangun oleh Allah”. tidak”[150]. Buku “Pahlawan”.

Teknologi manusia telah mentransmisikan suara dan gambar manusia ke seluruh penjuru dunia secara bersamaan. Tidak bisakah Sang Pencipta umat manusia, lebih dari 1.400 tahun yang lalu, membawa Nabi-Nya, jiwa dan raga, ke surga?[151] Nabi naik ke atas punggung seekor binatang yang disebut Al-Buraq. Al-Buraq adalah binatang putih yang tinggi, lebih tinggi dari keledai dan lebih kecil dari bagal, dengan kuku di ujung matanya, kekang, dan pelana. Para Nabi, saw, menungganginya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Perjalanan Isra dan Mi'raj terjadi atas dasar kekuasaan dan kehendak Allah yang mutlak, yang berada di luar pemahaman kita dan berbeda dari semua hukum yang kita ketahui. Peristiwa-peristiwa ini merupakan tanda dan bukti kekuasaan Tuhan semesta alam, karena Dialah yang menetapkan dan menegakkan hukum-hukum ini.

Kita temukan dalam kitab hadits Shahih Bukhari (kitab hadits paling shahih) yang menceritakan betapa besar cinta Sayyidah Aisyah kepada Rasulullah saw., dan kita temukan bahwa beliau tidak pernah mengeluh sedikit pun tentang pernikahan ini.

Sungguh aneh bahwa pada saat itu, musuh-musuh Rasulullah menuduh Nabi Muhammad dengan tuduhan yang paling keji, mengatakan bahwa dia adalah seorang penyair dan orang gila, dan tidak seorang pun menyalahkannya atas kisah ini, dan tidak seorang pun pernah menyebutkannya, kecuali beberapa orang jahat sekarang. Kisah ini adalah salah satu hal normal yang biasa didengar orang pada saat itu, karena sejarah menceritakan kepada kita kisah-kisah raja yang menikah di usia muda, seperti usia Perawan Maria dalam agama Kristen ketika dia bertunangan dengan seorang pria berusia sembilan puluhan sebelum dia hamil dengan Kristus, yang mendekati usia Lady Aisha ketika dia menikah dengan Rasulullah. Atau seperti kisah Ratu Isabella dari Inggris pada abad kesebelas yang menikah pada usia delapan tahun dan lainnya[152], atau kisah pernikahan Rasulullah tidak terjadi seperti yang mereka bayangkan.

Kaum Yahudi Bani Qurayzah mengingkari perjanjian dan bersekutu dengan kaum musyrik untuk menghancurkan kaum Muslim, tetapi rencana mereka justru menjadi bumerang bagi mereka. Hukuman atas pengkhianatan dan pelanggaran perjanjian yang diatur dalam syariat mereka diterapkan sepenuhnya kepada mereka, setelah Rasulullah mengizinkan mereka memilih seorang sahabat Rasulullah untuk mengadili perkara mereka. Beliau memutuskan bahwa hukuman yang diatur dalam syariat mereka harus diterapkan kepada mereka [153]. Sejarah Islam” (2/307-318).

Apa hukuman bagi pengkhianat dan pelanggar perjanjian di bawah hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini? Bayangkan saja sekelompok orang yang bertekad membunuh Anda, seluruh keluarga Anda, dan mencuri kekayaan Anda? Apa yang akan Anda lakukan terhadap mereka? Kaum Yahudi Bani Qurayzah melanggar perjanjian dan bersekutu dengan kaum musyrik untuk melenyapkan kaum Muslim. Apa yang seharusnya dilakukan kaum Muslim saat itu untuk melindungi diri mereka sendiri? Apa yang dilakukan kaum Muslim sebagai tanggapan, menurut logika paling sederhana, adalah hak mereka untuk membela diri.

Ayat pertama: "Tidak ada paksaan dalam agama. Telah jelas jalan yang benar dari yang salah..." [154], menetapkan prinsip Islam yang agung, yaitu larangan paksaan dalam agama. Sementara ayat kedua: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir..." [155], memiliki topik khusus, terkait dengan orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menghalangi orang lain menerima seruan Islam. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi yang nyata antara kedua ayat tersebut. (Al-Baqarah: 256). (At-Taubah: 29).

Iman adalah hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya. Kapan pun seseorang ingin memutuskannya, urusannya terserah kepada Tuhan. Namun, kapan pun ia ingin menyatakannya secara terbuka dan menggunakannya sebagai dalih untuk melawan Islam, mendistorsi citranya, dan mengkhianatinya, maka sudah menjadi aksioma hukum peperangan buatan manusia bahwa ia harus dibunuh, dan ini adalah sesuatu yang tidak seorang pun setujui.

Akar permasalahan seputar hukuman bagi orang murtad adalah delusi bahwa mereka yang menyebarkan keraguan ini percaya bahwa semua agama sama validnya. Mereka menganggap bahwa kepercayaan kepada Sang Pencipta, menyembah-Nya saja, dan meninggikan-Nya di atas segala kekurangan dan cacat sama dengan ketidakpercayaan akan keberadaan-Nya, atau kepercayaan bahwa Dia mengambil rupa manusia atau batu, atau bahwa Dia memiliki seorang putra—Tuhan jauh di atas itu. Delusi ini berasal dari kepercayaan pada relativitas kepercayaan, yang berarti bahwa semua agama bisa saja benar. Hal ini tidak dapat diterima oleh siapa pun yang memahami dasar-dasar logika. Sudah jelas bahwa iman bertentangan dengan ateisme dan ketidakpercayaan. Oleh karena itu, siapa pun dengan iman yang kuat menganggap gagasan relativitas kebenaran sebagai sesuatu yang bodoh dan bodoh secara logis. Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk menganggap dua keyakinan yang bertentangan sama-sama benar.

Akan tetapi, orang-orang yang berpaling dari agama yang benar tidak akan pernah terjerumus dalam siksa murtad jika mereka tidak secara terbuka menyatakan kemurtadan mereka, dan mereka sangat menyadari hal ini. Akan tetapi, mereka menuntut agar umat Islam diberi kesempatan untuk menyebarkan ejekan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya tanpa pertanggungjawaban, dan untuk menghasut orang lain kepada kekufuran dan kemaksiatan. Hal ini, misalnya, adalah sesuatu yang tidak akan diterima oleh seorang raja pun di bumi di kerajaannya, seperti jika salah seorang rakyatnya mengingkari keberadaan raja atau mengejeknya atau salah seorang pengikutnya, atau jika salah seorang rakyatnya mengatributkan sesuatu yang tidak pantas bagi kedudukannya sebagai raja, apalagi Raja segala raja, Sang Pencipta dan Tuhan segala sesuatu.

Sebagian orang juga berpendapat bahwa jika seorang Muslim melakukan penistaan agama, hukumannya langsung dijatuhkan. Padahal, ada dalih-dalih yang dapat mencegahnya dinyatakan sebagai penista agama, seperti ketidaktahuan, penafsiran, paksaan, dan kekeliruan. Oleh karena itu, sebagian besar ulama menekankan perlunya mengajak orang murtad untuk bertobat, mengingat kemungkinan kebingungannya dalam mengetahui kebenaran. Pengecualiannya adalah orang murtad yang berperang [156]. Ibn Qudamah dalam al-Mughni.

Umat Islam memperlakukan orang-orang munafik sebagai umat Islam, dan mereka diberikan semua hak umat Islam, meskipun Nabi (saw) mengenal mereka dan telah memberi tahu sahabat Hudzaifah tentang nama-nama mereka. Namun, orang-orang munafik tidak secara terbuka menyatakan kekafiran mereka.

Nabi Musa adalah seorang pejuang, dan Daud adalah seorang pejuang. Musa dan Muhammad, saw, keduanya memegang kendali urusan politik dan duniawi, dan masing-masing bermigrasi dari masyarakat pagan. Musa memimpin umatnya dari Mesir, dan Muhammad bermigrasi ke Yatsrib. Sebelumnya, para pengikutnya bermigrasi ke Abyssinia, melarikan diri dari pengaruh politik dan militer di negara-negara tempat mereka melarikan diri dengan agama mereka. Perbedaan dalam seruan Yesus, saw, adalah bahwa seruan itu ditujukan kepada orang-orang non-pagan, yaitu orang-orang Yahudi (tidak seperti Musa dan Muhammad, yang lingkungannya pagan: Mesir dan negara-negara Arab). Hal ini membuat keadaan semakin sulit. Perubahan yang dituntut oleh seruan Musa dan Muhammad, saw, bersifat radikal dan komprehensif, dan merupakan pergeseran kualitatif yang luar biasa dari paganisme menuju monoteisme.

Jumlah korban perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad tidak lebih dari seribu orang, baik yang membela diri, menanggapi agresi, maupun melindungi agama. Sementara itu, jumlah korban yang gugur akibat perang yang dilancarkan atas nama agama terhadap agama lain mencapai jutaan.

Rahmat Nabi Muhammad, saw, juga tampak jelas pada hari penaklukan Mekkah dan pemberian kuasa dari Allah SWT, ketika beliau bersabda, "Hari ini adalah hari rahmat." Beliau memberikan pengampunan umum bagi kaum Quraisy, yang telah berupaya keras menyakiti kaum Muslim, membalas perlakuan buruk mereka dengan kebaikan dan membalas kejahatan mereka dengan perlakuan baik.

Allah SWT berfirman:

“Tidaklah sama perbuatan baik dan perbuatan buruk. Tolaklah kejahatan dengan yang lebih baik, dan lihatlah, orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan, (akan menjadi) seolah-olah dia adalah teman yang setia.”[157] (Fussilat: 34).

Di antara sifat-sifat orang yang bertaqwa, Allah SWT berfirman:

“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [158] (Al Imran: 134).

Menyebarkan agama yang benar

Jihad artinya berjuang melawan diri sendiri untuk menjauhi dosa, perjuangan seorang ibu dalam menahan sakitnya saat hamil, ketekunan seorang pelajar dalam menuntut ilmu, perjuangan mempertahankan harta, kehormatan, dan agama, bahkan ketekunan dalam ibadah seperti berpuasa dan shalat tepat waktu juga termasuk jenis jihad.

Kami menemukan bahwa makna jihad bukanlah, seperti yang dipahami sebagian orang, pembunuhan non-Muslim yang tidak bersalah dan cinta damai.

Islam menghargai kehidupan. Tidak diperbolehkan memerangi orang-orang yang damai dan warga sipil. Harta benda, anak-anak, dan perempuan harus dilindungi bahkan selama perang. Melukai atau melukai orang mati juga tidak diperbolehkan, karena hal ini tidak sesuai dengan etika Islam.

Allah SWT berfirman:

Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, untuk berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kalian dari orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari kampung halaman kalian dan membantu pengusiran kalian, untuk menjadikan mereka sekutu. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sekutu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [159] (Al-Mumtahanah: 8-9).

Oleh karena itu, Kami tetapkan kepada Bani Israil bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang lain atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata; kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah itu benar-benar orang yang fasik di muka bumi.[160] (Al-Maidah: 32).

Seorang non-Muslim adalah salah satu dari empat:

Musta'min: orang yang telah diberi rasa aman.

Allah SWT berfirman:

Dan jika salah seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka berikanlah perlindungan kepadanya agar ia dapat mendengar firman Allah, dan antarlah ia ke tempat yang aman. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui. [161] (At-Taubah: 6)

Pihak yang membuat perjanjian: seseorang yang telah membuat perjanjian dengan umat Muslim untuk menghentikan peperangan.

Allah SWT berfirman:

“Tetapi jika mereka mengingkari sumpah mereka setelah perjanjian mereka dan menyerang agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu. Sesungguhnya, tidak ada sumpah bagi mereka. Mudah-mudahan mereka berhenti.”[162] (At-Taubah: 12).

Dhimmi: Dhimma berarti perjanjian. Para dhimmi adalah non-Muslim yang telah membuat kontrak dengan Muslim untuk membayar jizyah (pajak) dan mematuhi persyaratan tertentu sebagai imbalan atas kesetiaan mereka pada agama dan jaminan keamanan serta perlindungan. Jizyah adalah sejumlah kecil yang dibayarkan sesuai kemampuan mereka, dan hanya diambil dari mereka yang mampu, bukan dari orang lain. Mereka adalah pria dewasa yang merdeka dan berperang, kecuali wanita, anak-anak, dan orang dengan gangguan jiwa. Mereka tunduk, artinya mereka tunduk pada hukum ilahi. Sementara itu, pajak yang dibayarkan oleh jutaan orang saat ini mencakup semua individu, dan dalam jumlah besar, sebagai imbalan atas perhatian negara terhadap urusan mereka, sementara mereka tunduk pada hukum buatan manusia ini.

Allah SWT berfirman:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengambil agama yang benar di antara orang-orang yang diberi Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan cuma-cuma, sedang mereka dalam keadaan tunduk.”[163] (At-Taubah: 29).

Muharib: Dialah yang menyatakan perang terhadap kaum Muslim. Dia tidak memiliki perjanjian, tidak ada perlindungan, dan tidak ada rasa aman. Merekalah yang tentangnya Allah SWT berfirman:

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi penganiayaan dan agama hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” [164] (Al-Anfal: 39).

Kelas prajurit adalah satu-satunya yang harus kita lawan. Tuhan tidak memerintahkan pembunuhan, melainkan pertempuran, dan ada perbedaan besar di antara keduanya. Pertempuran di sini berarti konfrontasi dalam perang antara satu pejuang dan pejuang lainnya untuk membela diri, dan inilah yang ditetapkan oleh semua hukum positif.

Allah SWT berfirman:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [165] (Al-Baqarah: 190).

Kita sering mendengar dari penganut monoteisme non-Muslim bahwa mereka tidak percaya akan keberadaan agama apa pun di bumi yang menyatakan "tiada Tuhan selain Allah." Mereka percaya bahwa umat Muslim menyembah Muhammad, umat Kristen menyembah Kristus, dan umat Buddha menyembah Buddha, dan bahwa agama-agama yang mereka temukan di bumi tidak sesuai dengan apa yang ada di hati mereka.

Di sini, kita melihat pentingnya penaklukan-penaklukan Islam, yang telah dan masih dinantikan banyak orang. Tujuan mereka adalah menyampaikan pesan tauhid semata-mata dalam batasan "tidak ada paksaan dalam agama." Hal ini dicapai dengan menghormati kesucian orang lain dan memenuhi kewajiban mereka kepada negara sebagai imbalan atas kesetiaan mereka pada iman dan pemberian keamanan serta perlindungan. Hal ini juga berlaku pada penaklukan Mesir, Andalusia, dan banyak negeri lainnya.

Tidaklah masuk akal bagi Sang Pemberi kehidupan untuk memerintahkan penerimanya mencabut nyawanya, dan mencabut nyawa orang-orang tak berdosa tanpa rasa bersalah, ketika Dia berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri" [166], dan ayat-ayat lain yang melarang membunuh jiwa kecuali untuk alasan pembenar seperti pembalasan atau penolakan agresi, tanpa melanggar kesucian atau melakukan pembunuhan dan membiarkan diri dihancurkan demi kepentingan kelompok-kelompok yang tidak ada hubungannya dengan agama atau tujuannya, dan yang menyimpang jauh dari toleransi dan moral agama agung ini. Nikmat surga tidak seharusnya dibangun di atas pandangan sempit untuk mendapatkan bidadari saja, karena surga berisi apa yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terpikirkan oleh hati manusia. (An-Nisa: 29)

Kaum muda masa kini, yang berjuang dengan kondisi ekonomi dan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan finansial yang dibutuhkan untuk menikah, menjadi mangsa empuk bagi mereka yang mempromosikan tindakan memalukan ini, terutama mereka yang kecanduan dan menderita gangguan psikologis. Jika mereka yang mempromosikan gagasan ini benar-benar tulus, akan lebih baik jika mereka memulai dari diri mereka sendiri sebelum mengirimkan para pemuda untuk misi ini.

Kata "pedang" tidak disebutkan satu kali pun dalam Al-Qur'an. Negara-negara yang tidak pernah mengalami perang dalam sejarah Islam justru merupakan tempat tinggal mayoritas umat Muslim dunia saat ini, seperti Indonesia, India, Tiongkok, dan lainnya. Buktinya adalah keberadaan umat Kristen, Hindu, dan lainnya hingga saat ini di negara-negara yang ditaklukkan oleh umat Muslim, sementara umat Muslim tetap sedikit jumlahnya di negara-negara yang dijajah oleh non-Muslim. Perang-perang ini ditandai dengan genosida, yang memaksa orang-orang, baik yang dekat maupun yang jauh, untuk memeluk agama mereka, seperti Perang Salib dan perang-perang lainnya.

Bahasa Indonesia: Edouard Montet, Direktur Universitas Jenewa, mengatakan dalam sebuah kuliah: “Islam adalah agama yang menyebar dengan cepat, menyebar dengan sendirinya tanpa dorongan dari pusat-pusat yang terorganisasi. Ini karena setiap Muslim pada dasarnya adalah seorang misionaris. Muslim sangat beriman, dan intensitas imannya menguasai hati dan pikirannya. Ini adalah karakteristik Islam yang tidak dimiliki agama lain. Karena alasan ini, Anda melihat seorang Muslim, bersemangat dalam iman, menyebarkan agamanya ke mana pun ia pergi dan di mana pun ia menetap, dan menularkan penularan iman yang kuat kepada semua orang kafir yang ia temui. Selain iman, Islam selaras dengan kondisi sosial dan ekonomi, dan memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk lingkungan sesuai dengan apa yang dituntut oleh agama yang kuat ini.”[167] Al-Hadiqa adalah kumpulan literatur yang brilian dan kebijaksanaan yang fasih. Sulaiman bin Salih al-Kharashi.

Ideologi Islam

Seorang Muslim meneladani orang-orang saleh dan para sahabat Nabi, mencintai mereka, dan berusaha untuk menjadi saleh seperti mereka. Ia menyembah Allah semata sebagaimana mereka, tetapi ia tidak mensucikan mereka atau menjadikan mereka perantara antara dirinya dan Allah.

Allah SWT berfirman:

“…dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah…” [168]. (Al Imran: 64).

Kata Imam berarti seseorang yang memimpin umatnya dalam salat, atau mengawasi urusan mereka dan memimpin mereka. Ini bukan jabatan keagamaan yang terbatas pada individu tertentu. Tidak ada golongan atau kependetaan dalam Islam. Agama adalah untuk semua orang. Manusia setara di hadapan Tuhan, bagaikan gigi sisir. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab kecuali dalam ketakwaan dan amal saleh. Orang yang paling berhak memimpin salat adalah orang yang paling banyak hafalan dan pengetahuannya tentang hukum-hukum salat. Sebesar apa pun rasa hormat seorang Imam dari umat Islam, ia tidak akan pernah mendengarkan pengakuan dosa atau mengampuni dosa, tidak seperti seorang imam.

Allah SWT berfirman:

“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga Al-Masih putra Maryam. Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan-Nya.” [170] (At-Taubah: 31).

Islam menekankan kesempurnaan para nabi dari kesalahan dalam apa yang mereka sampaikan dari Tuhan. Tidak ada pendeta atau wali yang sempurna atau menerima wahyu. Dilarang keras dalam Islam untuk mencari bantuan atau memohon kepada siapa pun selain Tuhan, bahkan kepada para nabi sendiri, karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak dapat memberikannya. Bagaimana mungkin seseorang meminta bantuan kepada siapa pun selain dirinya sendiri ketika ia tidak dapat menolong dirinya sendiri? Meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa atau siapa pun lainnya adalah hal yang memalukan. Apakah masuk akal untuk menyamakan seorang raja dengan rakyatnya dalam hal meminta? Akal sehat dan logika sepenuhnya membantah anggapan ini. Meminta kepada siapa pun selain Tuhan adalah sebuah klenik atas keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Mahakuasa. Politeismelah yang bertentangan dengan Islam dan merupakan dosa terbesar.

Allah SWT berfirman melalui lisan Rasulullah:

Katakanlah, ‘Aku tidak memiliki manfaat dan mudharat bagi diriku sendiri, melainkan apa yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku dapat memperoleh kebaikan yang banyak, dan aku tidak akan mendapat mudharat sedikit pun. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi kaum yang beriman.’” [171] (Al-A’raf: 188).

Dia juga mengatakan:

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu. Telah diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan Tuhannya dengan seorang pun.’” [172] (Al-Kahfi: 110).

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu pun bersama-sama dengan Allah.” [173] (Al-Jinn: 18).

Yang pantas bagi manusia adalah manusia seperti mereka yang berbicara kepada mereka dalam bahasa mereka dan menjadi panutan bagi mereka. Jika malaikat diutus kepada mereka sebagai utusan dan melakukan apa yang mereka anggap sulit, mereka akan berdalih bahwa malaikat itu adalah malaikat yang dapat melakukan apa yang tidak dapat mereka lakukan.

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika ada malaikat yang berjalan di bumi dengan aman, niscaya Kami turunkan kepada mereka malaikat dari langit sebagai utusan.’” [174] (Al-Isra’: 95).

“Dan seandainya Kami menjadikannya seorang malaikat, niscaya Kami jadikan dia seorang manusia, dan tentulah Kami tutupi mereka dengan apa yang mereka tutupi itu.” [175] (Al-An’am: 9).

Bukti komunikasi Tuhan dengan ciptaan-Nya melalui wahyu:

1- Kebijaksanaan: Misalnya, jika seseorang membangun rumah lalu meninggalkannya tanpa memberi manfaat bagi dirinya, orang lain, atau bahkan anak-anaknya, wajarlah kita akan menghakiminya sebagai orang yang tidak bijaksana atau tidak normal. Oleh karena itu—dan Tuhan adalah contoh terbaik—sudah jelas bahwa ada kebijaksanaan dalam penciptaan alam semesta dan menjadikan segala sesuatu di langit dan bumi tunduk kepada manusia.

2- Naluri: Di dalam jiwa manusia, terdapat dorongan bawaan yang kuat untuk mengetahui asal usul, sumber keberadaan, dan tujuan keberadaannya. Sifat manusia selalu mendorong seseorang untuk mencari penyebab keberadaannya. Namun, manusia sendiri tidak dapat memahami sifat-sifat Penciptanya, tujuan keberadaannya, dan takdirnya kecuali melalui campur tangan kekuatan-kekuatan gaib ini, melalui pengiriman para utusan untuk mengungkapkan kebenaran ini kepada kita.

Kita dapati banyak sekali orang yang sudah menemukan jalannya melalui wahyu surgawi, sedangkan sebagian orang yang lain masih dalam kesesatan, mencari kebenaran, dan pemikirannya hanya tertuju pada lambang-lambang materi duniawi.

3- Etika: Rasa haus kita akan air merupakan bukti keberadaan air sebelum kita mengetahui keberadaannya, dan kerinduan kita akan keadilan merupakan bukti keberadaan Tuhan Yang Maha Adil.

Seseorang yang menyaksikan kekurangan hidup ini dan ketidakadilan yang dilakukan orang-orang terhadap satu sama lain tidak yakin bahwa hidup dapat berakhir dengan diselamatkannya si penindas dan dirampas hak-haknya oleh si tertindas. Sebaliknya, seseorang merasa terhibur dan tenteram ketika gagasan tentang kebangkitan, akhirat, dan pembalasan disajikan kepadanya. Tidak diragukan lagi, seseorang yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya tidak dapat dibiarkan tanpa bimbingan dan arahan, tanpa dorongan atau intimidasi. Inilah peran agama.

Keberadaan agama-agama monoteistik saat ini, yang para pengikutnya meyakini keilahian sumbernya, dianggap sebagai bukti langsung komunikasi Sang Pencipta dengan umat manusia. Sekalipun kaum ateis menyangkal bahwa Tuhan semesta alam mengutus para utusan atau kitab suci, keberadaan dan keberlangsungan mereka saja sudah cukup menjadi bukti kuat akan satu kebenaran: hasrat manusia yang tak terpuaskan untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan memuaskan kekosongan batinnya.

Antara Islam dan Kristen

Pelajaran yang Tuhan ajarkan kepada umat manusia ketika Dia menerima pertobatan Adam, bapa umat manusia, karena memakan buah pohon terlarang, adalah pengampunan pertama dari Tuhan semesta alam bagi umat manusia. Dosa yang diwariskan Adam tidak ada artinya, sebagaimana diyakini umat Kristen. Tidak ada jiwa yang boleh menanggung beban dosa orang lain. Setiap orang akan menanggung dosanya sendiri. Hal ini merupakan rahmat Tuhan semesta alam kepada kita, karena manusia dilahirkan murni dan tanpa dosa, dan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sejak usia pubertas.

Manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang tidak dilakukannya, dan ia hanya akan memperoleh keselamatan melalui iman dan perbuatan baiknya. Allah menganugerahkan kehidupan kepada manusia dan memberinya keinginan untuk diuji dan dicobai, dan ia hanya bertanggung jawab atas perbuatannya.

Allah SWT berfirman:

“…Dan tidak seorang pun yang berdosa akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah tempat kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada.”[176] (Az-Zumar: 7).

Perjanjian Lama menyatakan sebagai berikut:

“Janganlah ayah dihukum mati karena anak-anaknya, dan janganlah anak dihukum mati karena ayah-ayahnya. Setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri.”[177] (Ulangan 24:16).

Pengampunan tidak bertentangan dengan keadilan, dan keadilan tidak menghalangi pengampunan dan belas kasihan.

Allah Sang Pencipta itu hidup, mandiri, kaya, dan berkuasa. Dia tidak perlu mati di kayu salib dalam rupa Kristus bagi umat manusia, sebagaimana yang diyakini umat Kristen. Dialah yang menganugerahkan atau mencabut kehidupan. Karena itu, Dia tidak mati, dan juga tidak dibangkitkan. Dialah yang melindungi dan menyelamatkan Utusan-Nya, Yesus Kristus, dari pembunuhan dan penyaliban, sebagaimana Dia melindungi Utusan-Nya, Abraham, dari api dan Musa dari Firaun dan para prajuritnya, dan sebagaimana Dia selalu melindungi dan memelihara hamba-hamba-Nya yang saleh.

Allah SWT berfirman:

Dan ucapan mereka, ‘Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah.’ Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, akan tetapi (yang mereka bunuh) diserupakan dengan (kematian) mereka. Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (pembunuhan) itu benar-benar dalam keraguan tentangnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang (pembunuhan) itu, kecuali mengikuti prasangka. Padahal mereka tidak membunuhnya dengan keyakinan. (157) Bahkan, Allah telah mengangkatnya kepada-Nya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [178] (An-Nisa’: 157-158).

Seorang suami Muslim menghormati agama asli istrinya yang beragama Kristen atau Yahudi, kitab sucinya, dan rasulnya. Bahkan, keimanannya tidak sempurna tanpa hal itu, dan ia memberinya kebebasan untuk menjalankan ritualnya. Sebaliknya tidak demikian. Ketika seorang Kristen atau Yahudi percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, kami menikahkan putri-putri kami dengannya.

Islam adalah pelengkap dan penyempurna iman. Jika seorang Muslim ingin masuk Kristen, misalnya, ia harus kehilangan imannya kepada Muhammad dan Al-Qur'an, serta kehilangan hubungan langsungnya dengan Tuhan semesta alam melalui kepercayaan kepada Trinitas, dan dengan mengandalkan para pendeta, pendeta, dan lainnya. Jika ia ingin masuk Yahudi, ia harus kehilangan imannya kepada Kristus dan Injil yang sejati, meskipun pada dasarnya mustahil bagi siapa pun untuk masuk Yahudi karena agama ini merupakan agama nasional, bukan universal, dan fanatisme nasionalis paling jelas termanifestasi di dalamnya.

Keistimewaan Peradaban Islam

Peradaban Islam telah berbuat baik kepada Sang Pencipta, dan telah menempatkan hubungan antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya pada tempat yang tepat, di saat peradaban manusia lainnya telah berbuat buruk kepada Tuhan, mengingkari-Nya, menyekutukan-Nya dengan ciptaan-Nya dalam keimanan dan ibadah, serta menempatkan-Nya pada posisi yang tidak sesuai dengan keagungan dan kekuasaan-Nya.

Seorang Muslim sejati tidak mencampuradukkan antara peradaban dengan kemodernan, tetapi justru mengikuti pendekatan moderat dalam menentukan cara menyikapi gagasan dan ilmu pengetahuan, serta membedakan antara:

Unsur peradaban: diwakili oleh bukti ideologis, rasional, intelektual, serta nilai-nilai perilaku dan moral.

Unsur sipil: diwakili oleh pencapaian ilmiah, penemuan material, dan penemuan industri.

Dia membawa ilmu pengetahuan dan penemuan ini ke dalam kerangka konsep iman dan perilakunya.

Peradaban Yunani meyakini keberadaan Tuhan, tetapi mengingkari keesaan-Nya, dan menggambarkan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat maupun merugikan.

Peradaban Romawi awalnya mengingkari Sang Pencipta dan mengaitkannya dengan para sekutu-Nya ketika memeluk agama Kristen, karena kepercayaannya memasukkan aspek-aspek paganisme, termasuk penyembahan berhala dan perwujudan kekuasaan.

Peradaban Persia pra-Islam tidak percaya kepada Tuhan, menyembah matahari sebagai ganti-Nya, dan bersujud kepada api dan menguduskannya.

Peradaban Hindu meninggalkan pemujaan terhadap Sang Pencipta dan menyembah Tuhan yang diciptakan, yang berwujud dalam Tritunggal Mahakudus, yang terdiri dari tiga wujud ilahi: Dewa Brahma sebagai Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai Penghancur.

Peradaban Buddha mengingkari Tuhan sang pencipta dan menjadikan Buddha yang diciptakan sebagai tuhannya.

Peradaban Saba' merupakan Kaum Kitab yang mengingkari Tuhan mereka dan menyembah planet-planet dan bintang-bintang, kecuali beberapa sekte Muslim monoteistik yang disebutkan dalam Al-Qur'an.

Meskipun peradaban Firaun mencapai tingkat monoteisme dan transendensi Tuhan yang tinggi selama pemerintahan Akhenaten, mereka tidak meninggalkan citra antropomorfisme dan menyamakan Tuhan dengan beberapa ciptaan-Nya, seperti matahari dan lainnya, yang berfungsi sebagai simbol keilahian. Ketidakpercayaan kepada Tuhan mencapai puncaknya ketika, pada zaman Musa, Firaun mengklaim keilahian selain Tuhan, menjadikan dirinya sebagai pembuat hukum utama.

Peradaban Arab yang meninggalkan penyembahan kepada Sang Pencipta dan menyembah berhala.

Peradaban Kristen mengingkari keesaan Tuhan yang mutlak, dan mengasosiasikan dengan-Nya Yesus Kristus dan ibu-Nya Maria, dan menganut doktrin Trinitas, yaitu kepercayaan kepada satu Tuhan yang berinkarnasi dalam tiga pribadi (Bapa, Putra, dan Roh Kudus).

Peradaban Yahudi mengingkari Sang Pencipta, memilih tuhannya sendiri dan menjadikannya tuhan nasional, menyembah anak lembu, dan menggambarkan Tuhan dalam kitab-kitab mereka dengan sifat-sifat manusia yang tidak pantas bagi-Nya.

Peradaban-peradaban sebelumnya telah merosot, dan Yudaisme serta Kristen telah bertransformasi menjadi dua peradaban yang tidak religius: kapitalisme dan komunisme. Berdasarkan cara kedua peradaban ini memperlakukan Tuhan dan kehidupan, baik secara ideologis maupun intelektual, mereka terbelakang dan terbelakang, ditandai oleh barbarisme dan amoralitas, meskipun telah mencapai puncak kemajuan sipil, ilmiah, dan industri. Kemajuan peradaban tidak diukur dengan cara seperti ini.

Standar kemajuan peradaban yang baik didasarkan pada bukti rasional, gagasan yang benar tentang Tuhan, manusia, alam semesta, dan kehidupan, dan peradaban yang benar dan maju adalah peradaban yang mengarah pada konsep yang benar tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya, pengetahuan tentang sumber keberadaan-Nya dan takdir-Nya, dan menempatkan hubungan ini pada tempatnya yang tepat. Dengan demikian, kita sampai pada fakta bahwa peradaban Islam adalah satu-satunya peradaban maju di antara peradaban-peradaban ini, karena telah mencapai keseimbangan yang dibutuhkan.[179] Buku, Penyalahgunaan Kapitalisme dan Komunisme terhadap Tuhan, oleh Profesor Dr. Ghazi Enaya.

Agama menyerukan akhlak yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, oleh karena itu buruknya perilaku sebagian umat Islam disebabkan oleh adat istiadat budaya mereka atau ketidaktahuan mereka terhadap agama mereka dan penyimpangan mereka dari agama yang benar.

Tidak ada kontradiksi dalam kasus ini. Apakah fakta bahwa seorang pengemudi mobil mewah menyebabkan kecelakaan mengerikan karena ketidaktahuannya akan prinsip mengemudi yang benar bertentangan dengan fakta bahwa mobil tersebut mewah?

Pengalaman Barat muncul sebagai reaksi terhadap dominasi dan aliansi gereja dan negara atas kemampuan dan pikiran rakyat pada Abad Pertengahan. Dunia Islam tidak pernah menghadapi masalah ini, mengingat kepraktisan dan logika sistem Islam.

Kita sesungguhnya membutuhkan hukum ilahi yang tetap dan sesuai bagi umat manusia dalam segala keadaannya. Kita tidak membutuhkan rujukan yang didasarkan pada keinginan, hasrat, dan perubahan suasana hati manusia, seperti halnya analisis tentang riba, homoseksualitas, dan sejenisnya. Kita tidak membutuhkan rujukan yang ditulis oleh yang berkuasa untuk membebani yang lemah, seperti dalam sistem kapitalis. Kita tidak membutuhkan komunisme yang bertentangan dengan hasrat alami untuk memiliki.

Seorang Muslim memiliki sesuatu yang lebih baik dari demokrasi, yaitu sistem Syura.

Demokrasi adalah ketika Anda mempertimbangkan pendapat semua anggota keluarga Anda, misalnya, dalam suatu keputusan penting yang menyangkut keluarga, terlepas dari pengalaman, usia, atau kebijaksanaan individu tersebut, dari seorang anak di taman kanak-kanak hingga kakek-nenek yang bijaksana, dan Anda memperlakukan pendapat mereka secara setara dalam membuat keputusan.

Syura ialah: engkau mencari nasihat dari orang-orang yang lebih tua, orang-orang yang berkedudukan tinggi, dan orang-orang yang berpengalaman mengenai apa yang pantas atau tidak.

Perbedaannya sangat jelas, dan bukti terbesar kelemahan dalam penerapan demokrasi adalah legitimasi di beberapa negara atas perilaku yang bertentangan dengan kodrat, agama, adat istiadat, dan tradisi, seperti homoseksualitas, riba, dan praktik tercela lainnya, hanya untuk mendapatkan suara mayoritas. Dan dengan banyaknya suara yang menyerukan dekadensi moral, demokrasi telah berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang tidak bermoral.

Perbedaan antara Syura Islam dan demokrasi Barat terletak pada sumber kedaulatan legislatifnya. Demokrasi pada awalnya menempatkan kedaulatan legislatif di tangan rakyat dan bangsa. Sedangkan dalam Syura Islam, kedaulatan legislatif pada awalnya bersumber dari keputusan Sang Pencipta, yang diwujudkan dalam Syariah, yang bukan ciptaan manusia. Dalam legislasi, manusia tidak memiliki otoritas kecuali membangun berdasarkan Syariah Ilahi ini, dan ia juga memiliki otoritas untuk melakukan penalaran independen mengenai hal-hal yang belum diwahyukan hukum Ilahi, dengan syarat otoritas manusia tetap diatur oleh kerangka halal dan haram dalam Syariah.

Hudud ditetapkan sebagai pencegah dan hukuman bagi mereka yang berniat menyebarkan kerusakan di muka bumi. Buktinya, hudud ditangguhkan dalam kasus pembunuhan tak disengaja atau pencurian karena kelaparan dan kebutuhan yang mendesak. Hudud tidak diterapkan pada anak di bawah umur, orang gila, atau orang dengan gangguan jiwa. Hudud terutama ditujukan untuk melindungi masyarakat, dan kekerasannya merupakan bagian dari kepentingan yang diberikan agama kepada masyarakat, sebuah manfaat yang seharusnya dinikmati oleh semua anggota masyarakat. Keberadaan hudud merupakan rahmat bagi umat manusia, yang akan menjamin keselamatan mereka. Hanya penjahat, bandit, dan koruptor yang akan keberatan dengan hudud ini, karena takut akan nyawa mereka. Beberapa hudud ini sudah ada dalam hukum buatan manusia, seperti hukuman mati.

Mereka yang menentang hukuman ini telah mempertimbangkan kepentingan pelaku kejahatan dan melupakan kepentingan masyarakat. Mereka mengasihani pelaku dan mengabaikan korban. Mereka telah membesar-besarkan hukuman dan mengabaikan beratnya kejahatan.

Seandainya mereka mengaitkan hukuman dengan kejahatan, mereka akan yakin akan keadilan hukuman Islam dan kesetaraannya dengan kejahatan yang mereka lakukan. Misalnya, jika kita mengingat tindakan seorang pencuri yang berjalan menyamar di tengah malam, merusak kunci, mengacungkan senjata, dan meneror orang yang tidak bersalah, melanggar kesucian rumah, dan berniat membunuh siapa pun yang melawannya, kejahatan pembunuhan sering kali muncul sebagai dalih bagi pencuri untuk menyelesaikan pencuriannya, atau untuk menghindari hukuman, sehingga ia membunuh tanpa pandang bulu. Ketika kita mengingat tindakan pencuri ini, misalnya, kita akan menyadari hikmah yang mendalam di balik beratnya hukuman Islam.

Hal yang sama berlaku untuk hukuman-hukuman lainnya. Kita harus mengingat kejahatan mereka, serta bahaya, kerugian, ketidakadilan, dan agresi yang ditimbulkannya, agar kita yakin bahwa Allah SWT telah menetapkan hukuman yang setimpal untuk setiap kejahatan, dan memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Allah SWT berfirman:

“…Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” [180] (Al-Kahfi: 49).

Sebelum menerapkan hukuman yang bersifat jera, Islam menyediakan langkah-langkah pendidikan dan pencegahan yang memadai untuk menjauhkan para pelaku kejahatan dari kejahatan yang mereka lakukan, asalkan mereka memiliki hati yang rasional atau jiwa yang welas asih. Lebih lanjut, Islam tidak pernah menerapkan langkah-langkah ini sampai dipastikan bahwa pelaku kejahatan melakukannya tanpa pembenaran atau paksaan apa pun. Perbuatan jahat yang dilakukannya bagaimanapun juga merupakan bukti kerusakan dan penyimpangannya, dan ia pantas mendapatkan hukuman yang menyakitkan dan bersifat jera.

Islam telah berupaya mendistribusikan kekayaan secara adil, dan telah memberikan hak yang jelas kepada kaum miskin atas kekayaan orang kaya. Islam mewajibkan pasangan dan kerabat untuk menafkahi keluarga mereka, dan memerintahkan kita untuk menghormati tamu dan berbuat baik kepada tetangga. Islam telah menjadikan negara bertanggung jawab untuk menafkahi warganya dengan menyediakan kebutuhan dasar mereka, seperti pangan, sandang, dan papan, agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat. Islam juga menjamin kesejahteraan warganya dengan membuka pintu pekerjaan layak bagi mereka yang mampu, memungkinkan setiap orang yang mampu untuk bekerja sebaik-baiknya, dan menyediakan kesempatan yang sama bagi semua orang.

Bayangkan seseorang pulang ke rumah dan mendapati anggota keluarganya telah dibunuh oleh seseorang, misalnya karena pencurian atau balas dendam. Pihak berwenang datang untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman penjara tertentu, baik panjang maupun pendek, di mana ia makan dan menikmati layanan yang tersedia di penjara, yang dibiayai oleh orang yang terdampak dengan membayar pajak.

Apa reaksinya saat itu? Entah ia akan menjadi gila, atau kecanduan narkoba untuk melupakan rasa sakitnya. Jika situasi serupa terjadi di negara yang menerapkan hukum Islam, pihak berwenang akan bereaksi berbeda. Mereka akan membawa pelaku kejahatan ke hadapan keluarga korban, yang akan memutuskan apakah akan mengambil tindakan balasan terhadapnya, yang merupakan definisi keadilan yang sesungguhnya; membayar uang darah, yaitu uang yang dibutuhkan untuk membunuh manusia merdeka, sebagai ganti darahnya; atau memberikan pengampunan, dan pengampunan bahkan lebih baik.

Allah SWT berfirman:

“…Dan jika kamu memaafkan, memaafkan dan memaafkan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[181] (At-Taghabun: 14).

Setiap pembelajar hukum Islam memahami bahwa hukuman hudud hanyalah metode pendidikan preventif, bukan tindakan balas dendam atau keinginan untuk menegakkannya. Sebagai contoh:

Seseorang harus benar-benar berhati-hati dan penuh pertimbangan, mencari-cari alasan, dan menyingkirkan keraguan sebelum menerapkan hukuman yang telah ditetapkan. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah: "Tangkallah hukuman yang telah ditetapkan dengan keraguan."

Jika seseorang berbuat salah dan Allah menutupinya, dan ia tidak mengungkapkan dosanya kepada manusia, maka tidak ada hukuman baginya. Mengikuti kesalahan orang lain dan memata-matai mereka bukanlah ajaran Islam.

Pengampunan korban terhadap pelaku menghentikan hukuman.

“…Dan jika seseorang dimaafkan oleh saudaranya, maka hendaklah ia diberi balasan yang setimpal dan balasan yang baik. Yang demikian itu merupakan keringanan dari Tuhanmu dan rahmat…”[182]. (Al-Baqarah: 178).

Pelaku harus bebas melakukannya dan tidak dipaksa. Hukuman tidak dapat dijatuhkan kepada seseorang yang dipaksa. Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, bersabda:

“Umatku telah terbebas dari kesalahan, kelupaan, dan dari apa yang terpaksa mereka lakukan.” [183] (Hadits Shahih).

Hikmah di balik hukuman Syariah yang lebih keras, yang digambarkan sebagai brutal dan biadab (menurut klaim mereka), seperti membunuh pembunuh, merajam pezina, memotong tangan pencuri, dan hukuman lainnya, adalah bahwa kejahatan-kejahatan ini dianggap sebagai induk dari segala kejahatan, dan masing-masing dari mereka mencakup serangan terhadap satu atau lebih dari lima kepentingan utama (agama, kehidupan, keturunan, kekayaan, dan akal), yang semua hukum agama dan buatan manusia dari setiap zaman telah sepakat dengan suara bulat harus dilestarikan dan dilindungi, karena kehidupan tidak dapat menjadi benar tanpa mereka.

Oleh karena itu, barang siapa yang melakukan salah satu tindak pidana tersebut, sudah sepatutnya dihukum seberat-beratnya, agar memberikan efek jera bagi dirinya dan bagi orang lain.

Pendekatan Islam harus diterapkan secara menyeluruh, dan hukuman Islam tidak dapat diterapkan secara terpisah dari ajaran Islam terkait kurikulum ekonomi dan sosial. Penyimpangan masyarakat dari ajaran agama yang benar dapat mendorong sebagian orang untuk melakukan kejahatan. Kejahatan-kejahatan besar ini melanda banyak negara yang tidak menerapkan hukum Islam, terlepas dari kemampuan, potensi, serta kemajuan material dan teknologi yang mereka miliki.

Al-Qur'an berisi 6.348 ayat, dan ayat-ayat tentang batas-batas hukuman tidak lebih dari sepuluh, yang ditetapkan dengan hikmah agung oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Haruskah seseorang melewatkan kesempatan untuk menikmati membaca dan menerapkan pendekatan ini, yang dianggap unik oleh banyak non-Muslim, hanya karena mereka tidak memahami hikmah di balik sepuluh ayat tersebut?

Moderasi Islam

Salah satu prinsip umum dalam Islam adalah bahwa kekayaan adalah milik Allah dan manusia adalah pengelolanya. Kekayaan tidak boleh dibagi-bagikan di antara orang kaya. Islam melarang menimbun kekayaan tanpa menyisihkan sebagian kecilnya untuk fakir miskin melalui zakat, sebuah ibadah yang membantu seseorang mengembangkan sifat-sifat kedermawanan dan kedermawanan, alih-alih kecenderungan kikir dan kikir.

Allah SWT berfirman:

“Apa saja yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya dari penduduk kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan. (Dan) janganlah itu menjadi pemberian yang terus-menerus di antara orang-orang kaya di antara kamu. Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah; dan apa saja yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” [184] (Al-Hasyr: 7).

“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah Dia jadikan amanah kepadamu. Dan orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan harta mereka, bagi mereka pahala yang besar.”[185] (Al-Hadid: 7).

“…orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (dengan) azab yang pedih.” [186] (At-Tawbah: 34).

Islam juga menganjurkan setiap orang yang mampu untuk bekerja guna meraih cita-citanya.

Allah SWT berfirman:

“Dialah yang menundukkan bumi untuk kamu, maka berjalanlah di lereng-lerengnya dan makanlah dari rizki-Nya, dan kepada-Nya-lah kebangkitan.” [187] (Al-Mulk: 15).

Islam adalah agama yang mengajarkan tindakan nyata, dan Allah SWT memerintahkan kita untuk berserah diri kepada-Nya, bukan berpuas diri. Berserah diri kepada-Nya membutuhkan tekad, mengerahkan energi, mengambil langkah-langkah yang diperlukan, dan kemudian berserah diri kepada kehendak dan ketetapan Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang ingin meninggalkan untanya yang mengembara, dengan bertawakal kepada Allah:

“Ikatlah dan bertawakal kepada Allah” [188]. (Shahih Tirmidzi).

Dengan demikian, umat Islam telah mencapai keseimbangan yang dipersyaratkan.

Islam melarang pemborosan dan meningkatkan standar hidup individu dengan mengaturnya. Namun, konsep kekayaan dalam Islam bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar, melainkan tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk makan, berpakaian, tinggal, menikah, menunaikan haji, dan bersedekah.

Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila menafkahkan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula bakhil, tetapi mereka berada di jalan tengah antara kedua hal itu.” [189] (Al-Furqan: 67).

Dalam Islam, orang miskin adalah mereka yang tidak memiliki standar hidup yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar, sesuai dengan standar hidup di negara mereka. Seiring dengan meningkatnya standar hidup, makna kemiskinan yang sesungguhnya pun meluas. Jika dalam suatu masyarakat, misalnya, setiap keluarga memiliki kebiasaan untuk memiliki rumah sendiri, maka kegagalan suatu keluarga untuk memiliki rumah sendiri dianggap sebagai bentuk kemiskinan. Oleh karena itu, keseimbangan berarti memperkaya setiap individu (baik Muslim maupun non-Muslim) sesuai dengan kemampuan masyarakat pada saat itu.

Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan semua anggota masyarakat, dan ini dicapai melalui solidaritas bersama. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, dan merupakan kewajibannya untuk menafkahinya. Oleh karena itu, umat Islam harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka.

Nabi, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, bersabda:

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang meringankan seorang Muslim dari suatu kesulitan, Allah akan meringankannya dari kesulitan pada Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aurat seorang Muslim, Allah akan menutupi auratnya pada Hari Kiamat.”[190] (Sahih al-Bukhari).

Dengan membuat perbandingan sederhana antara sistem ekonomi dalam Islam dan kapitalisme dan sosialisme, misalnya, menjadi jelas bagi kita bagaimana Islam mencapai keseimbangan ini.

Mengenai kebebasan kepemilikan:

Dalam kapitalisme: kepemilikan pribadi adalah prinsip umum,

Dalam sosialisme: kepemilikan publik adalah prinsip umum.

Dalam Islam: memperbolehkan berbagai bentuk kepemilikan:

Harta umum: Milik umum semua umat Islam, seperti tanah pertanian.

Kepemilikan negara: sumber daya alam seperti hutan dan mineral.

Properti pribadi: diperoleh hanya melalui pekerjaan investasi yang tidak mengancam keseimbangan umum.

Mengenai kebebasan ekonomi:

Dalam kapitalisme: kebebasan ekonomi dibiarkan tanpa batas.

Dalam sosialisme: penyitaan total kebebasan ekonomi.

Dalam Islam: Kebebasan ekonomi diakui dalam lingkup yang terbatas, yaitu:

Penentuan nasib sendiri yang bersumber dari lubuk jiwa, berdasar pada pendidikan Islam, dan penyebaran konsep-konsep Islam di masyarakat.

Definisi objektif, yang diwakili oleh peraturan perundang-undangan khusus yang melarang tindakan-tindakan tertentu seperti: penipuan, perjudian, riba, dan lain-lain.

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” [191]. (Ali Imran: 130).

“Dan apa saja yang kamu berikan sebagai riba agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan bertambah pada sisi Allah. Dan apa saja yang kamu berikan sebagai zakat karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka itu akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.”[192] (Ar-Rum: 39).

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Padahal dosa mereka lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Kelebihannya.’ Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu berpikir.’ [193] (Al-Baqarah: 219)

Kapitalisme telah merancang jalan bebas bagi umat manusia dan mengajak manusia untuk mengikuti arahannya. Kapitalisme mengklaim bahwa jalan terbuka inilah yang akan membawa umat manusia menuju kebahagiaan sejati. Namun, pada akhirnya, umat manusia terjebak dalam masyarakat kelas, entah kaya raya dan didasarkan pada ketidakadilan terhadap sesama, atau miskin teramat sangat bagi mereka yang bermoral.

Komunisme datang dan menghapuskan semua kelas, dan mencoba membangun prinsip-prinsip yang lebih kokoh, tetapi ia menciptakan masyarakat yang lebih miskin, lebih menyakitkan, dan lebih revolusioner daripada yang lain.

Adapun Islam, ia telah mencapai moderasi, dan umat Islam telah menjadi umat tengah, menawarkan sistem yang agung kepada umat manusia, sebagaimana dibuktikan oleh musuh-musuh Islam. Namun, ada beberapa Muslim yang gagal dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Islam.

Ekstremisme, fanatisme, dan intoleransi adalah sifat-sifat yang secara fundamental dilarang oleh agama yang benar. Al-Qur'an, dalam banyak ayatnya, menyerukan kebaikan dan belas kasihan dalam berinteraksi dengan orang lain, serta prinsip-prinsip pengampunan dan toleransi.

Allah SWT berfirman:

Maka, berkat rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Dan seandainya kamu berlaku kasar dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam masalah itu. Dan apabila kamu telah mengambil keputusan, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal. (QS. Ali Imran: 159)

“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[195] (An-Nahl: 125).

Prinsip dasar agama adalah apa yang diperbolehkan, kecuali beberapa hal yang dilarang yang disebutkan dengan jelas dalam Al-Qur'an dan tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengannya.

Allah SWT berfirman:

“Hai anak-anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid, dan makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (31) Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?” Katakanlah, “Semua itu adalah untuk orang-orang yang beriman di dunia, dan khusus untuk mereka di hari kiamat.” Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (32) Katakanlah, “Sesungguhnya ini hanyalah untuk orang-orang yang beriman.” “Tuhanku telah mengharamkan perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dan dosa serta permusuhan yang batil, dan agar kamu mempersekutukan Allah dengan apa yang tidak Dia turunkan keterangan untuk itu, dan agar kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” [196] (Al-A’raf: 31-33).

Agama telah mengaitkan apa yang menyerukan ekstremisme, kekerasan, atau larangan tanpa bukti hukum dengan tindakan setan, yang mana agama tidak bersalah.

Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (168) Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu kepada kejahatan dan kekejian, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” [197] (Al-Baqarah: 168-169).

“Dan aku pasti akan menyesatkan mereka dan membangkitkan dalam diri mereka angan-angan kosong, dan aku pasti akan memerintahkan mereka untuk memotong telinga-telinga binatang ternak, dan aku pasti akan memerintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah. Dan barangsiapa yang menjadikan setan sebagai wali selain Allah, maka sungguh, ia telah menderita kerugian yang nyata.”[198] (An-Nisa’: 119).

Agama pada awalnya hadir untuk membebaskan manusia dari berbagai batasan yang mereka kenakan pada diri mereka sendiri. Misalnya, pada masa pra-Islam, praktik-praktik keji tersebar luas, seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup, menghalalkan makanan tertentu bagi laki-laki tetapi mengharamkan bagi perempuan, merampas hak waris perempuan, memakan bangkai, berzina, minum minuman keras, memakan harta anak yatim, riba, dan berbagai kekejian lainnya.

Salah satu alasan orang menjauh dari agama dan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan material adalah kontradiksi dalam beberapa konsep keagamaan yang dianut oleh orang-orang tertentu. Oleh karena itu, salah satu karakteristik terpenting dan alasan utama yang mendorong orang untuk memeluk agama yang benar adalah kesederhanaan dan keseimbangannya. Hal ini jelas terlihat dalam ajaran Islam.

Masalah agama lain, yang muncul akibat distorsi terhadap satu agama yang benar:

Murni bersifat spiritual, ia mendorong para pengikutnya untuk menjalani kehidupan membiara dan mengisolasi diri.

Sepenuhnya materialistis.

Hal inilah yang menyebabkan banyak orang menjauhi agama secara umum, di antara banyak masyarakat dan penganut agama sebelumnya.

Kita juga menemukan di antara beberapa bangsa lain banyak hukum, peraturan, dan praktik yang keliru, yang dikaitkan dengan agama, sebagai dalih untuk memaksa orang mengikutinya, yang kemudian menyesatkan mereka dari jalan yang benar dan dari konsep agama yang hakiki. Akibatnya, banyak orang kehilangan kemampuan untuk membedakan antara konsep agama yang sejati, yang memenuhi kebutuhan hakiki manusia, yang tidak diperdebatkan oleh siapa pun, dan hukum, tradisi, adat istiadat, serta praktik buatan manusia yang diwariskan oleh bangsa-bangsa. Hal ini kemudian mendorong tuntutan untuk mengganti agama dengan sains modern.

Agama yang benar adalah agama yang datang untuk meringankan beban manusia dan meringankan penderitaan mereka, serta menetapkan peraturan dan perundang-undangan yang tujuan utamanya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia.

Allah SWT berfirman:

“…dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” [199]. (An-Nisa: 29).

“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [200] (Al-Baqarah: 195).

“…dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan menghilangkan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”[201]. (Al-A’raf: 157).

Dan ucapannya, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian:

“Permudahlah urusanmu dan janganlah kamu mempersulitnya, dan sampaikanlah kabar gembira dan janganlah kamu mengusirnya.” [202] (Shahih Al-Bukhari).

Di sini saya sebutkan kisah tiga orang yang sedang berbincang-bincang. Salah satu dari mereka berkata: "Sedangkan aku, aku akan salat sepanjang malam selamanya." Yang lain berkata: "Aku akan berpuasa sepanjang waktu dan tidak akan pernah berbuka." Yang lain berkata: "Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan pernah menikah." Kemudian Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, datang kepada mereka dan berkata:

“Kalian yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taat kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang berpaling dari Sunnah-ku, maka dia bukan bagian dariku.”[203] (Sahih al-Bukhari).

Nabi (saw) menyatakan hal ini kepada Abdullah bin Amr ketika beliau diberi tahu bahwa beliau akan berdiri sepanjang malam, berpuasa sepanjang waktu, dan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap malam. Beliau bersabda:

“Janganlah kamu lakukan hal itu. Bangunlah dan tidurlah, berpuasalah dan berbukalah, karena sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, tamu-tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan istrimu mempunyai hak atas dirimu.”[204] (Sahih al-Bukhari).

Wanita dalam Islam

Allah SWT berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke atas diri mereka. Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal, dan mereka tidak dianiaya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [205] (Al-Ahzab: 59).

Muslimah memahami konsep "privasi" dengan baik. Ketika mereka mencintai ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki, dan suami mereka, mereka memahami bahwa setiap cinta mereka memiliki privasinya sendiri. Cinta mereka kepada suami, ayah, atau saudara laki-laki mereka mengharuskan mereka untuk memberikan hak mereka kepada masing-masing. Hak ayah mereka untuk menghormati dan berbakti kepada mereka tidak sama dengan hak anak laki-laki mereka untuk merawat dan membesarkan mereka, dll. Mereka memahami dengan baik kapan, bagaimana, dan kepada siapa mereka memamerkan perhiasan mereka. Mereka tidak berpakaian dengan cara yang sama ketika bertemu orang asing seperti ketika bertemu kerabat, dan mereka tidak terlihat sama di hadapan semua orang. Muslimah adalah perempuan bebas yang menolak untuk menjadi tawanan keinginan dan mode orang lain. Ia mengenakan apa yang ia anggap pantas, apa yang membuatnya bahagia, dan apa yang menyenangkan Sang Pencipta. Lihatlah bagaimana perempuan di Barat telah menjadi tawanan mode dan rumah mode. Jika mereka mengatakan, misalnya, bahwa mode tahun ini adalah mengenakan celana pendek dan ketat, perempuan tersebut akan segera mengenakannya, terlepas dari apakah celana itu cocok untuknya atau bahkan apakah ia merasa nyaman mengenakannya atau tidak.

Bukan rahasia lagi bahwa perempuan saat ini telah menjadi komoditas. Hampir tidak ada satu pun iklan atau publikasi yang tidak menampilkan gambar perempuan telanjang, yang secara tidak langsung menyampaikan pesan kepada perempuan Barat tentang nilai mereka di era ini. Dengan menyembunyikan perhiasan mereka, perempuan Muslim menyampaikan pesan kepada dunia: Mereka adalah manusia yang berharga, dimuliakan oleh Tuhan, dan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka seharusnya menilai mereka berdasarkan pengetahuan, budaya, keyakinan, dan ide mereka, bukan pesona fisik mereka.

Perempuan Muslim juga memahami kodrat manusia yang diciptakan Tuhan. Mereka tidak memperlihatkan perhiasan mereka kepada orang asing demi melindungi masyarakat dan diri mereka sendiri dari bahaya. Saya rasa tidak ada yang akan menyangkal fakta bahwa setiap perempuan cantik yang bangga memamerkan kecantikannya di depan umum, ketika ia mencapai usia senja, berharap semua perempuan di dunia mengenakan jilbab.

Mari kita lihat statistik tingkat kematian dan kerusakan akibat operasi kosmetik saat ini. Apa yang mendorong perempuan menanggung begitu banyak penderitaan? Karena mereka dipaksa untuk bersaing demi kecantikan fisik, alih-alih kecantikan intelektual, sehingga merampas nilai sejati mereka, bahkan nyawa mereka.

Membuka aurat adalah langkah mundur ke masa lampau. Adakah hal yang lebih jauh dari zaman Adam? Sejak Tuhan menciptakan Adam dan istrinya dan menempatkan mereka di Firdaus, Dia telah menjamin mereka untuk mengenakan pakaian dan penutup kepala.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak (pula) telanjang.”[206] (Taha: 118).

Tuhan juga menurunkan pakaian kepada keturunan Adam untuk menutupi aurat mereka dan menghiasinya. Sejak saat itu, manusia telah berevolusi dalam hal berpakaian, dan perkembangan suatu bangsa diukur dari perkembangan pakaian dan cara mereka menutupinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang terisolasi dari peradaban, seperti beberapa masyarakat Afrika, hanya mengenakan pakaian yang menutupi aurat mereka.

Allah SWT berfirman:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan sebagai perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran.” [207] (Al-A’raf: 26).

Orang Barat bisa melihat foto nenek mereka dalam perjalanan ke sekolah dan melihat apa yang dikenakannya. Ketika pakaian renang pertama kali muncul, demonstrasi menentangnya meletus di Eropa dan Australia karena dianggap bertentangan dengan kodrat dan tradisi, bukan karena alasan agama. Perusahaan-perusahaan manufaktur memasang iklan ekstensif yang menampilkan anak perempuan berusia lima tahun untuk mendorong perempuan mengenakannya. Gadis pertama yang ditampilkan berjalan dengan pakaian renang tersebut sangat pemalu sehingga ia tidak dapat melanjutkan acaranya. Pada saat itu, baik pria maupun wanita berenang dengan pakaian renang hitam putih yang menutupi seluruh tubuh.

Dunia telah sepakat tentang perbedaan fisik yang nyata antara pria dan wanita, terbukti dari perbedaan pakaian renang pria dengan wanita di Barat. Wanita menutupi seluruh tubuh mereka untuk menangkal godaan. Pernahkah ada yang mendengar seorang wanita memperkosa seorang pria? Wanita di Barat menggelar demonstrasi menuntut hak mereka atas kehidupan yang aman dan bebas dari pelecehan dan pemerkosaan, namun kita belum pernah mendengar demonstrasi serupa yang dilakukan oleh pria.

Perempuan Muslim menginginkan keadilan, bukan kesetaraan. Menjadi setara dengan laki-laki akan merampas banyak hak dan privilese mereka. Mari kita asumsikan seseorang memiliki dua putra, satu berusia lima tahun dan yang lainnya delapan belas tahun. Ia ingin membelikan mereka masing-masing kemeja. Kesetaraan akan tercapai dengan membelikan mereka kemeja berukuran sama, yang akan menyebabkan salah satu dari mereka menderita. Keadilan akan tercapai dengan membelikan mereka masing-masing kemeja berukuran tepat, sehingga mencapai kebahagiaan bagi semua.

Perempuan masa kini berusaha membuktikan bahwa mereka mampu melakukan segala hal yang dapat dilakukan laki-laki. Namun, pada kenyataannya, perempuan kehilangan keunikan dan privilese mereka dalam situasi ini. Tuhan menciptakan mereka untuk melakukan apa yang tidak dapat dilakukan laki-laki. Telah terbukti bahwa rasa sakit saat melahirkan merupakan salah satu rasa sakit yang paling berat, dan agama datang untuk menghormati perempuan sebagai balasan atas kelelahan ini, memberi mereka hak untuk tidak memikul tanggung jawab atas dukungan finansial dan pekerjaan, atau bahkan membiarkan suami mereka berbagi uang mereka sendiri dengan mereka, seperti yang terjadi di Barat. Meskipun Tuhan tidak memberi laki-laki kekuatan untuk menanggung rasa sakit saat melahirkan, Dia memberi mereka kemampuan untuk mendaki gunung, misalnya.

Jika seorang perempuan gemar mendaki gunung, bekerja keras, dan mengaku bisa melakukannya seperti laki-laki, maka ia bisa melakukannya. Namun, pada akhirnya, ia juga yang akan melahirkan, mengasuh, dan menyusui anak-anaknya. Bagaimanapun, laki-laki tidak bisa melakukan ini, dan ini berarti upayanya dua kali lipat, sesuatu yang seharusnya bisa dihindari.

Yang banyak orang tidak tahu adalah jika seorang perempuan Muslim menuntut hak-haknya melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dan melepaskan hak-haknya di bawah Islam, itu akan menjadi kerugian baginya, karena ia menikmati lebih banyak hak di bawah Islam. Islam mewujudkan komplementaritas yang menjadi tujuan diciptakannya laki-laki dan perempuan, memberikan kebahagiaan bagi semua.

Menurut statistik global, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan tingkat yang kurang lebih sama. Secara ilmiah diketahui bahwa anak perempuan memiliki peluang hidup lebih tinggi daripada laki-laki. Dalam perang, tingkat kematian laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Secara ilmiah juga diketahui bahwa harapan hidup rata-rata perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini mengakibatkan persentase janda perempuan di seluruh dunia lebih tinggi daripada janda laki-laki. Akibatnya, kami menyimpulkan bahwa populasi perempuan dunia lebih besar daripada populasi laki-laki. Oleh karena itu, mungkin tidak praktis untuk membatasi setiap pria hanya dengan satu istri.

Dalam masyarakat yang melarang poligami secara hukum, seorang pria umumnya memiliki simpanan dan melakukan banyak perselingkuhan. Hal ini merupakan pengakuan poligami yang tersirat namun ilegal. Situasi ini lazim terjadi sebelum Islam, dan Islam datang untuk memperbaikinya, menjaga hak dan martabat perempuan, mengubah mereka dari simpanan menjadi istri yang bermartabat dan memiliki hak untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Anehnya, masyarakat-masyarakat ini tidak keberatan menerima hubungan di luar nikah, bahkan pernikahan sesama jenis, serta menerima hubungan tanpa tanggung jawab yang jelas atau bahkan menerima anak tanpa ayah, dll. Namun, mereka tidak menoleransi pernikahan sah antara seorang pria dan lebih dari satu wanita. Namun, Islam bijaksana dalam hal ini dan secara eksplisit mengizinkan seorang pria untuk memiliki banyak istri demi menjaga martabat dan hak-hak wanita, asalkan ia memiliki kurang dari empat istri, dengan syarat memenuhi syarat keadilan dan kecakapan. Untuk mengatasi masalah wanita yang tidak dapat menemukan suami tunggal dan tidak punya pilihan selain menikah dengan pria yang sudah menikah atau terpaksa menerima wanita simpanan,

Meskipun Islam memperbolehkan poligami, itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dipaksa menikahi lebih dari satu wanita, seperti yang dipahami sebagian orang.

Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap gadis-gadis yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja…” [208]. (An-Nisa: 3).

Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci agama di dunia yang menyatakan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki satu istri jika keadilan tidak ditegakkan.

Allah SWT berfirman:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, meskipun kamu berusaha untuk berlaku adil. Maka janganlah kamu condong sepenuhnya kepada yang satu dan biarkan yang lain terkatung-katung. Tetapi jika kamu memperbaiki diri dan bertakwa kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [209] (An-Nisa’: 129).

Bagaimanapun, seorang perempuan berhak menjadi istri tunggal suaminya dengan mencantumkan syarat ini dalam akad nikah. Ini merupakan syarat dasar yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar.

Satu hal penting yang sering terabaikan dalam masyarakat modern adalah hak-hak yang diberikan Islam kepada perempuan, yang tidak diberikan kepada laki-laki. Laki-laki dibatasi hanya menikahi perempuan yang belum menikah. Di sisi lain, perempuan dapat menikahi laki-laki lajang atau yang sudah menikah. Hal ini memastikan bahwa anak-anak memiliki hubungan ayah dengan ayah biologis mereka dan melindungi hak serta warisan anak dari ayah mereka. Namun, Islam memperbolehkan perempuan menikahi laki-laki yang sudah menikah, dengan syarat mereka memiliki istri kurang dari empat, dan adil serta cakap. Oleh karena itu, perempuan memiliki lebih banyak pilihan. Mereka memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana memperlakukan istri-istri mereka yang lain dan memasuki pernikahan dengan pemahaman akan akhlak suami.

Sekalipun kita menerima kemungkinan untuk melindungi hak-hak anak melalui tes DNA seiring kemajuan ilmu pengetahuan, apa salah anak-anak jika mereka lahir ke dunia dan mendapati ibu mereka mengenali ayah mereka melalui tes ini? Bagaimana kondisi psikologis mereka? Terlebih lagi, bagaimana mungkin seorang perempuan bisa menjadi istri bagi empat pria dengan temperamen yang mudah berubah? Belum lagi penyakit yang ditimbulkan oleh hubungannya dengan lebih dari satu pria sekaligus.

Perwalian seorang pria atas seorang wanita tak lain adalah sebuah kehormatan bagi wanita itu sendiri dan sebuah kewajiban bagi pria itu sendiri: mengurus urusannya dan memenuhi kebutuhannya. Wanita Muslimah memainkan peran ratu yang diidam-idamkan setiap wanita di muka bumi. Wanita yang cerdas adalah wanita yang memilih apa yang seharusnya ia jadi: ratu yang terhormat, atau pekerja keras di pinggir jalan.

Sekalipun kita menerima bahwa sebagian laki-laki Muslim mengeksploitasi perwalian ini dengan cara yang tidak benar, hal ini tidak mengurangi nilai sistem perwalian, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang disalahgunakan.

Sebelum Islam, perempuan tidak mendapatkan warisan. Ketika Islam datang, mereka juga termasuk dalam warisan, dan mereka bahkan menerima bagian yang lebih besar atau setara daripada laki-laki. Dalam beberapa kasus, perempuan dapat mewarisi sementara laki-laki tidak. Dalam kasus lain, laki-laki menerima bagian yang lebih tinggi daripada perempuan, tergantung pada tingkat kekerabatan dan garis keturunan. Situasi ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:

“Allah telah memberi petunjuk kepadamu tentang anak-anakmu, yaitu: (yaitu) bagian seorang anak laki-laki, sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”[210]. (An-Nisa: 11).

Seorang perempuan Muslim pernah berkata bahwa ia berjuang untuk memahami hal ini hingga ayah mertuanya meninggal dunia. Suaminya mewarisi dua kali lipat harta saudara perempuannya. Ia membeli kebutuhan pokok yang tidak dimilikinya, seperti rumah untuk keluarga dan mobil. Saudara perempuannya membeli perhiasan dengan uang yang diterimanya dan menyimpan sisanya di bank, karena suaminyalah yang harus menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan pokok lainnya. Saat itu, ia memahami hikmah di balik keputusan ini dan bersyukur kepada Allah.

Meskipun di banyak masyarakat perempuan bekerja keras untuk menghidupi keluarga, hukum waris tidak batal demi hukum. Misalnya, kerusakan pada ponsel apa pun yang disebabkan oleh kegagalan pemilik ponsel dalam mengikuti petunjuk pengoperasian bukanlah bukti kerusakan petunjuk pengoperasian tersebut.

Muhammad, saw, tidak pernah memukul seorang wanita pun seumur hidupnya. Adapun ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang pemukulan, merujuk pada pemukulan ringan dalam kasus ketidakpatuhan. Jenis pemukulan ini pernah dijelaskan dalam hukum positif di Amerika Serikat sebagai pemukulan yang diperbolehkan tanpa meninggalkan bekas fisik, dan digunakan untuk mencegah bahaya yang lebih besar, seperti menggoyangkan bahu seorang anak laki-laki ketika membangunkannya dari tidur nyenyak agar ia tidak ketinggalan ujian.

Bayangkan seorang pria yang mendapati putrinya berdiri di tepi jendela dan hendak melompat. Tangannya tanpa sadar akan bergerak ke arahnya, meraihnya, dan mendorongnya agar ia tidak terluka. Inilah yang dimaksud dengan memukul seorang perempuan: sang suami berusaha mencegahnya menghancurkan rumah tangganya dan menghancurkan masa depan anak-anaknya.

Hal ini terjadi setelah beberapa tahap sebagaimana disebutkan dalam ayat:

“Dan terhadap istri-istri yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, maka tegurlah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Jika mereka menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk mencelakai mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [211] (An-Nisa’: 34).

Mengingat kelemahan wanita secara umum, Islam telah memberikan mereka hak untuk menempuh jalur hukum jika suami mereka memperlakukan mereka dengan buruk.

Dasar hubungan perkawinan dalam Islam adalah dibangun atas dasar cinta, ketenangan dan kasih sayang.

Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram padanya, dan Dia jadikan di antara hatimu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [212] (Ar-Rum: 21).

Islam memuliakan perempuan ketika membebaskan mereka dari beban dosa Adam, sebagaimana dalam agama lain. Sebaliknya, Islam justru ingin mengangkat derajat mereka.

Dalam Islam, Tuhan mengampuni Adam dan mengajarkan kita bagaimana kembali kepada-Nya setiap kali kita berbuat salah sepanjang hidup. Allah SWT berfirman:

“Maka Adam telah menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia mengampuni dosanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [213] (Al-Baqarah: 37).

Maria, ibunda Isa a.s., adalah satu-satunya wanita yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an.

Perempuan memainkan peran penting dalam banyak kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti kisah Bilqis, Ratu Saba, dan kisahnya dengan Nabi Sulaiman, yang berakhir dengan keimanan dan kepasrahannya kepada Tuhan semesta alam. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya aku mendapati seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia telah diberi segala sesuatu, dan dia memiliki singgasana yang agung" [214]. (An-Naml: 23).

Sejarah Islam menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkonsultasi dengan perempuan dan mempertimbangkan pendapat mereka dalam berbagai situasi. Beliau juga mengizinkan perempuan untuk menghadiri masjid seperti halnya laki-laki, dengan syarat mereka menjaga kesopanan, meskipun lebih baik bagi mereka untuk salat di rumah. Perempuan turut serta dalam peperangan bersama laki-laki dan membantu dalam perawatan kesehatan. Mereka juga berpartisipasi dalam transaksi komersial dan berkompetisi di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Islam telah meningkatkan status perempuan secara signifikan dibandingkan dengan budaya Arab kuno. Islam melarang penguburan anak perempuan hidup-hidup dan memberikan perempuan status independen. Islam juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kontrak pernikahan, melindungi hak perempuan atas mahar, menjamin hak waris mereka, serta hak mereka untuk memiliki properti pribadi dan mengelola keuangan mereka sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” [215] (HR. Tirmidzi).

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35).

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi istri-istri dengan paksa. Dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan kekejian yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan baik. Karena jika kamu membenci mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [217] (An-Nisa: 19).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (nama) rahim-rahim. Sesungguhnya Allah Maha Melihat atas kamu.”[218] (An-Nisa’: 1).

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia dalam keadaan beriman, maka sungguh-sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh-sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”[219] (An-Nahl: 97).

“…Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” [220]. (Al-Baqarah: 187).

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram padanya, dan Dia jadikan di antara hatimu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [221] (Ar-Rum: 21).

Dan mereka bertanya kepadamu tentang wanita-wanita. Katakanlah, ‘Allah telah memberikan kepadamu hukum-Nya tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu di dalam Kitab tentang wanita-wanita yatim yang kamu tidak memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka dan yang kamu ingin nikahi dan [tentang] orang-orang yang terzalimi di antara anak-anak dan bahwa kamu berlaku adil terhadap gadis-gadis yatim. Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.’” (127) Dan jika seorang wanita takut kepada suaminya “Jika mereka durhaka atau berpaling, maka tidak ada dosa bagi mereka jika mereka berdamai di antara mereka, dan perdamaian itu lebih baik. Dan jiwa-jiwa cenderung kepada kekikiran. Tetapi jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [222] (An-Nisa’: 127-128).

Allah SWT memerintahkan laki-laki untuk menafkahi perempuan dan menjaga harta mereka, tanpa mewajibkan perempuan untuk memiliki kewajiban finansial apa pun terhadap keluarga. Islam juga menjaga kepribadian dan identitas perempuan, sehingga mereka dapat mempertahankan nama keluarga mereka bahkan setelah menikah.

Terdapat kesepakatan lengkap antara agama Yahudi, Kristen, dan Islam mengenai beratnya hukuman atas kejahatan perzinahan [223] (Perjanjian Lama, Kitab Imamat 20:10-18).

Dalam agama Kristen, Kristus menekankan arti perzinahan, tidak membatasinya pada tindakan fisik yang nyata, melainkan memindahkannya ke konsep moral. [224] Agama Kristen melarang pezina mewarisi Kerajaan Allah, dan mereka tidak punya pilihan lain setelah itu kecuali siksaan kekal di Neraka. [225] Hukuman bagi pezina dalam hidup ini adalah apa yang ditetapkan Hukum Musa, yaitu hukuman mati dengan dirajam. [226] (Perjanjian Baru, Injil Matius 5:27-30). (Perjanjian Baru, 1 Korintus 6:9-10). (Perjanjian Baru, Injil Yohanes 8:3-11).

Para ahli Alkitab masa kini mengakui bahwa kisah pengampunan Kristus terhadap perempuan yang berzina sebenarnya tidak ditemukan dalam versi-versi tertua Injil Yohanes, tetapi ditambahkan kemudian, sebagaimana dikonfirmasi oleh terjemahan-terjemahan modern.[227] Lebih penting dari semua ini, Kristus telah menyatakan di awal misi-Nya bahwa Ia tidak datang untuk menghapuskan Hukum Musa dan para nabi sebelum-Nya, dan bahwa penghancuran langit dan bumi akan lebih mudah bagi-Nya daripada satu poin pun dari Hukum Musa dihilangkan, sebagaimana dinyatakan dalam Injil Lukas.[228] Oleh karena itu, Kristus tidak mungkin menangguhkan Hukum Musa dengan membiarkan perempuan yang berzina itu tidak dihukum. https://www.alukah.net/sharia/0/82804/ (Perjanjian Baru, Injil Lukas 16:17).

Hukuman yang ditetapkan dijatuhkan berdasarkan kesaksian empat orang saksi, disertai uraian peristiwa perzinaan yang membenarkan terjadinya perzinaan tersebut, bukan sekadar kehadiran seorang pria dan seorang wanita di tempat yang sama. Jika salah satu saksi menarik kembali kesaksiannya, hukuman yang ditetapkan ditangguhkan. Hal ini menjelaskan betapa langka dan langkanya hukuman yang ditetapkan untuk perzinaan dalam hukum Islam sepanjang sejarah, karena pembuktiannya hanya dapat dilakukan dengan cara ini, yang sulit, bahkan hampir mustahil, tanpa pengakuan dari pelaku.

Kalau hukuman zina dijatuhkan atas pengakuan salah seorang dari dua orang pelaku, dan bukan atas keterangan empat orang saksi, maka tidak ada hukuman bagi pihak lain yang tidak mengakui perbuatannya.

Allah telah membuka pintu taubat.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya taubat itu hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan karena ketidaktahuan, kemudian mereka segera bertaubat. Mereka itulah orang-orang yang Allah ampuni. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [229] (An-Nisa’: 17).

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan mendapati-Nya Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [230] (An-Nisa’: 110).

“Allah hendak meringankan bebanmu, dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” [231] (An-Nisa’: 28).

Islam mengakui kebutuhan bawaan manusia. Namun, Islam berupaya memuaskan dorongan bawaan ini melalui cara yang sah: pernikahan. Islam mendorong pernikahan dini dan menyediakan bantuan keuangan untuk pernikahan jika keadaan menghalanginya. Islam juga berupaya membersihkan masyarakat dari segala cara penyebaran amoralitas, menetapkan tujuan-tujuan luhur yang menguras energi dan mengarahkannya kepada kebaikan, serta mengisi waktu luang dengan pengabdian kepada Allah. Semua ini menghilangkan pembenaran apa pun untuk melakukan kejahatan perzinaan. Namun demikian, Islam tidak menjatuhkan hukuman sampai tindakan amoral tersebut dibuktikan melalui kesaksian empat orang saksi. Kehadiran empat orang saksi jarang terjadi, kecuali dalam kasus di mana pelaku secara terbuka menyatakan perbuatannya, yang dalam hal ini ia pantas mendapatkan hukuman berat ini. Melakukan perzinaan, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun di depan umum, merupakan dosa besar.

Seorang wanita, yang telah mengaku dengan sukarela dan tanpa paksaan, datang kepada Nabi (saw) dan meminta beliau untuk melaksanakan hukuman yang telah ditetapkan baginya. Ia sedang hamil akibat perzinaan. Nabi Allah memanggil walinya dan berkata, "Berbuat baiklah padanya." Hal ini menunjukkan kesempurnaan hukum Islam dan kasih sayang sempurna Sang Pencipta terhadap ciptaan-Nya.

Nabi bersabda kepadanya: "Kembalilah sampai kamu melahirkan." Ketika ia kembali, beliau bersabda kepadanya: "Kembalilah sampai kamu menyapih anakmu." Atas desakannya untuk kembali kepada Nabi setelah menyapih anak tersebut, beliau pun menjatuhkan hukuman yang telah ditetapkan kepadanya, dengan bersabda: "Ia telah bertobat dengan taubat bahwa seandainya harta itu dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya mereka akan memperolehnya."

Rahmat Rasulullah saw., semoga Allah memberkahi dan memberinya kedamaian, tampak dalam sikap yang mulia ini.

Keadilan Sang Pencipta

Islam menyerukan penegakan keadilan di antara manusia dan keadilan dalam mengukur dan menimbang.

Allah SWT berfirman:

Dan ke Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah; sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu merugikan manusia dari hak mereka, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah diperbaiki. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu orang-orang yang beriman." [232] (Al-A'raf: 85).

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang teguh pendirian karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum menghalangi kamu untuk berlaku adil. Berlakulah adil, karena yang demikian itu lebih dekat kepada kebenaran. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[233] (Al-Ma’idah: 8).

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan jika kamu memutuskan perkara di antara manusia, hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran kepadamu dengan baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [234] (An-Nisa’: 58).

“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil, berbuat baik, dan memberi kepada kerabat. Dan Dia melarang perbuatan keji, perbuatan buruk, dan kezaliman. Dia memberi pelajaran kepadamu, mudah-mudahan kamu mendapat pelajaran.” [235] (An-Nahl: 90).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, supaya kamu mendapat pelajaran.” [236] (An-Nur: 27).

“Tetapi jika kamu tidak menemukan seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu memasukinya sebelum kamu diizinkan. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘Kembalilah,’ maka kembalilah. Itu lebih suci bagimu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [237] (An-Nur: 28).

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena ketidaktahuan, yang kemudian kamu menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan.” [238] (Al-Hujurat: 6).

Dan jika dua golongan di antara orang-orang beriman berperang, maka berdamailah di antara keduanya. Jika salah satu dari mereka menganiaya yang lain, maka perangilah yang menganiaya itu hingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia kembali, maka berdamailah di antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [239] (Al-Hujurat: 9).

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka buatlah perdamaian di antara saudara-saudaramu. Dan bertakwalah kepada Allah, agar kamu diberi rahmat.” [240] (Al-Hujurat: 10).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum lain, mungkin mereka lebih baik dari kaum itu; dan janganlah perempuan-perempuan mengejek perempuan-perempuan lain, mungkin mereka lebih baik dari kaum itu. Dan janganlah kamu saling memaki dan janganlah saling memanggil dengan sebutan-sebutan yang buruk. Seburuk-buruk nama kefasikan sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [241] (Al-Hujurat: 11).

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing satu sama lain. Apakah salah seorang di antara kamu ingin memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu tidak menyukainya. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [242] (Al-Hujurat: 12).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak beriman seorang pun di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”[243] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Hak Asasi Manusia dalam Islam

Sebelum Islam, perbudakan merupakan sistem yang mapan di antara masyarakat, dan tidak terbatas. Perjuangan Islam melawan perbudakan bertujuan untuk mengubah pandangan dan mentalitas seluruh masyarakat, sehingga, setelah pembebasan mereka, para budak akan menjadi anggota masyarakat yang utuh dan aktif, tanpa perlu melakukan demonstrasi, pemogokan, pembangkangan sipil, atau bahkan pemberontakan etnis. Tujuan Islam adalah untuk menghapus sistem yang menjijikkan ini secepat mungkin dan melalui cara-cara damai.

Islam tidak mengizinkan penguasa memperlakukan rakyatnya sebagai budak. Sebaliknya, Islam memberikan hak dan kewajiban kepada penguasa dan rakyatnya dalam batasan kebebasan dan keadilan yang dijamin bagi semua. Para budak dibebaskan secara bertahap melalui penebusan dosa, membuka pintu amal, dan menyegerakan untuk berbuat baik dengan membebaskan para budak agar lebih dekat kepada Tuhan semesta alam.

Seorang perempuan yang melahirkan seorang budak untuk tuannya tidak boleh dijual dan secara otomatis memperoleh kebebasannya setelah kematian tuannya. Bertentangan dengan semua tradisi sebelumnya, Islam mengizinkan putra seorang budak perempuan untuk berafiliasi dengan ayahnya dan dengan demikian bebas. Islam juga mengizinkan seorang budak untuk membeli dirinya sendiri dari tuannya dengan membayar sejumlah uang atau bekerja untuk jangka waktu tertentu.

Allah SWT berfirman:

“…Dan orang-orang yang meminta akad dari budak-budakmu yang kamu miliki, maka buatlah akad dengan mereka, jika kamu mengetahui pada mereka ada kebaikan…” [244]. (An-Nur: 33).

Dalam pertempuran-pertempuran yang beliau lalui untuk membela agama, jiwa, dan harta, Nabi Muhammad (saw) memerintahkan para sahabatnya untuk memperlakukan tawanan dengan baik. Para tawanan dapat memperoleh kebebasan mereka dengan membayar sejumlah uang atau mengajari anak-anak mereka membaca dan menulis. Lebih lanjut, sistem keluarga Islam tidak merampas hak seorang anak dari ibunya atau hak seorang saudara laki-laki dari saudara laki-lakinya.

Islam memerintahkan umat Islam untuk menunjukkan belas kasihan kepada para pejuang yang menyerah.

Allah SWT berfirman:

“Dan jika salah seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia agar dia dapat mendengar firman Allah, dan antarlah dia ke tempat yang aman. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”[245] (At-Taubah: 6).

Islam juga menetapkan kemungkinan membantu para budak membebaskan diri dengan membayar dari dana umat Islam atau kas negara. Nabi Muhammad saw., dan para sahabatnya, menawarkan tebusan untuk membebaskan para budak dari kas negara.

Allah SWT berfirman:

Dan Tuhanmu telah menetapkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan agar kamu berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah seorang dari mereka atau kedua orang tuamu telah sampai usia lanjut di sisimu, janganlah kamu mengatakan kepada mereka perkataan yang merendahkan dan janganlah kamu membentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan tundukkanlah kepada mereka sayap kerendahan hati sebagai bentuk kasih sayang dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, kasihanilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku di waktu kecil.’” [246] (Al-Isra’: 23-24).

Dan Kami telah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula, dan masa kehamilan dan penyapihannya adalah tiga puluh bulan, hingga ketika ia mencapai usia dewasa dan mencapai empat puluh tahun, ia berkata, "Ya Tuhanku, mampukanlah aku untuk bersyukur atas karunia-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi. Dan jadikanlah untukku anak cucuku sebagai orang yang saleh. Sesungguhnya aku telah bertobat kepada-Mu." "Dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim." [247] (Al-Ahqaf: 15).

“Dan berikanlah kepada kerabat haknya, dan juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.”[248] (Al-Isra’: 26).

Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah, dia tidak beriman, demi Allah, dia tidak beriman, demi Allah, dia tidak beriman.” Ditanyakan lagi: “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” [249] (Muttafaq ‘alaih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang tetangga lebih berhak atas hak tetangganya untuk mengambil alih (hak tetangga untuk mengambil paksa harta dari pembelinya), dan ia menunggu hak tersebut meskipun tetangganya tidak ada, jika jalan mereka sama” [250]. (Musnad Imam Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak sup, tambahkan airnya dan perhatikan tetanggamu” [251]. (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memiliki tanah dan ingin menjualnya, maka hendaklah ia menawarkannya kepada tetangganya.”[252] (Hadits shahih dalam Sunan Ibnu Majah).

Allah SWT berfirman:

“Tidak ada seekor binatang melata pun di bumi dan burung-burung yang terbang dengan sayapnya, melainkan mereka adalah umat-umat seperti kamu. Dan tidak ada sesuatu pun yang Kami abaikan dalam Kitab (Taurat). Kemudian kepada Tuhan merekalah mereka akan dikumpulkan.” [253] (Al-An’am: 38).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang wanita pernah disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati, sehingga ia masuk neraka karenanya. Ia tidak memberinya makan dan tidak memberinya minum ketika dikurungnya, dan tidak pula membiarkannya memakan binatang-binatang yang ada di bumi.” [254] (Muttafaqun ‘alaihi wa sallam)

Rasulullah saw bersabda: “Seorang laki-laki melihat seekor anjing memakan tanah karena kehausan, maka laki-laki itu mengambil sepatunya dan mulai mengambil air untuk anjing itu hingga anjing itu merasa haus. Allah pun bersyukur kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga.” [255] (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” [256] (Al-A’raf: 56).

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.” [257] (Ar-Rum: 41)

“Dan apabila ia berpaling, ia berusaha membuat kerusakan di muka bumi dan membinasakan tanam-tanaman dan hewan-hewan. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” [258] (Al-Baqarah: 205).

Dan di bumi ada ladang-ladang dan kebun-kebun yang bertetangga dari anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma, sebagian berpasang-pasangan dan sebagian yang lain tidak berpasangan, disirami dengan air yang sama, dan Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam makanan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [259] (Ar-Ra’d: 4)

Islam mengajarkan kita bahwa tugas sosial harus didasarkan pada kasih sayang, kebaikan, dan rasa hormat terhadap orang lain.

Islam menetapkan dasar-dasar, standar-standar dan kontrol-kontrol serta mendefinisikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam semua hubungan yang mengikat masyarakat.

Allah SWT berfirman:

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang masih kerabat dan tetangga yang tidak dikenal, teman seperjalananmu, musafir, dan budak-budakmu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. [260] (An-Nisa’: 36).

“…dan bergaullah dengan mereka dengan penuh kasih sayang. Karena jika kamu membenci mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [261] (An-Nisa’: 19).

“Hai orang-orang yang beriman, jika dikatakan kepadamu, ‘Berilah tempat dalam majelis-majelis,’ maka berilah tempat, niscaya Allah akan memberi tempat bagimu. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘Berdirilah,’ maka berdirilah. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [262] (Al-Mujadila: 11).

Islam menganjurkan penanggungan anak yatim, dan mendesak penanggung untuk memperlakukan anak yatim sebagaimana ia memperlakukan anak-anaknya sendiri. Namun, Islam tetap memberikan hak bagi anak yatim untuk mengenal keluarga aslinya, menjaga haknya atas warisan ayahnya, dan menghindari kebingungan silsilah.

Kisah gadis Barat yang secara tidak sengaja mengetahui tiga puluh tahun kemudian bahwa ia diadopsi dan bunuh diri adalah bukti paling jelas dari korupsi hukum adopsi. Seandainya mereka memberitahunya sejak usia dini, mereka pasti akan berbelas kasih dan memberinya kesempatan untuk mencari orang tuanya.

Allah SWT berfirman:

“Adapun anak yatim, maka janganlah kamu menindasnya.”[263] (Ad-Duha: 9).

Di dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, ‘Perbaikan bagi mereka adalah lebih baik.’ Tetapi jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang memperbaiki. Dan jika Allah menghendaki, tentu Dia menolongmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ [264] (Al-Baqarah: 220).

“Dan apabila hadir di tengah-tengah pembagian harta warisan itu kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berikanlah kepada mereka sebagian dari harta warisan itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik dan penuh kasih sayang.”[265] (An-Nisa’: 8).

Tidak ada salahnya dan tidak ada balasan salahnya dalam Islam

Daging merupakan sumber protein utama, dan manusia memiliki gigi yang rata dan runcing, ideal untuk mengunyah dan menggiling daging. Allah menciptakan gigi bagi manusia yang cocok untuk memakan tumbuhan dan hewan, dan menciptakan sistem pencernaan yang cocok untuk mencerna makanan nabati dan hewani, yang merupakan bukti bahwa memakannya diperbolehkan.

Allah SWT berfirman:

“…Dihalalkan bagimu binatang ternak…” [266]. (Al-Ma’idah: 1).

Al-Quran memiliki beberapa aturan tentang makanan:

Katakanlah, ‘Aku tidak mendapati dalam kitab yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi—sesungguhnya itu najis—atau binatang yang dibenci selain Allah. Barangsiapa terpaksa, bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas—maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [267] (Al-An’am: 145).

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan nama selain Allah, binatang yang dicekik, binatang yang dipukul, binatang yang jatuh dari kepala, binatang yang ditanduk binatang buas, binatang yang dimakan binatang buas, kecuali jika kamu menyembelihnya dengan cara yang benar, binatang yang disembelih di atas altar batu, dan binatang yang diundi. Yang demikian itu termasuk kefasikan yang besar.” [268] (Al-Ma’idah: 3).

Allah SWT berfirman:

“Dan makanlah dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [269] (Al-A’raf: 31).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata[270]: “Dia telah memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya untuk memasukkan ke dalam makanan mereka apa yang menopang tubuh dari makanan dan minuman, dan harus dalam jumlah yang bermanfaat bagi tubuh dalam kuantitas dan kualitas. Setiap kali melebihi itu, itu adalah pemborosan, dan keduanya mencegah kesehatan dan mendatangkan penyakit. Maksudku tidak makan dan minum, atau menjadi pemborosan di dalamnya. Menjaga kesehatan semuanya ada dalam dua kata ini.” “Zad al-Ma’ad” (4/213).

Allah SWT berfirman dalam menggambarkan Nabi Muhammad, semoga Allah SWT memberkatinya dan memberinya kedamaian: “…dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” [271]. Dan Allah SWT berfirman: “Mereka bertanya kepadamu, [Wahai Muhammad], apakah yang halal bagi mereka? Katakanlah, ‘Halal bagimu segala yang baik…’” [272]. (Al-A’raf: 157). (Al-Ma’idah: 4).

Segala sesuatu yang baik diperbolehkan, dan segala sesuatu yang buruk dilarang.

Nabi, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, menjelaskan bagaimana seharusnya seorang mukmin dalam hal makanan dan minumannya, dengan bersabda: “Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk makan beberapa suap saja untuk menopang punggungnya. Jika terpaksa, maka sepertiganya untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya.” [273] (HR. al-Tirmidzi).

Nabi, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, bersabda: “Tidak boleh ada keburukan dan tidak ada balasan keburukan.”[274] (HR. Ibnu Majah).

Metode penyembelihan Islam, yang melibatkan pemotongan tenggorokan dan kerongkongan hewan dengan pisau tajam, lebih penuh belas kasih daripada pemingsanan dan pencekikan hewan yang menyebabkan penderitaan. Setelah aliran darah ke otak terputus, hewan tidak merasakan sakit. Gemetarnya hewan saat penyembelihan bukan karena rasa sakit, melainkan karena aliran darah yang deras, yang memudahkan keluarnya semua darah, tidak seperti metode lain yang menjebak darah di dalam tubuh hewan, yang membahayakan kesehatan orang yang memakannya.

Rasulullah saw bersabda: “Allah telah menetapkan keutamaan dalam segala hal. Maka jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah masing-masing dari kalian mengasah pisaunya dan hendaklah hewan sembelihannya merasa tenang.” [275] (HR. Muslim).

Ada perbedaan besar antara jiwa hewani dan jiwa manusia. Jiwa hewani adalah penggerak tubuh. Jika meninggalkannya dalam kematian, ia akan menjadi mayat tak bernyawa. Ia adalah sejenis kehidupan. Tumbuhan dan pepohonan juga memiliki sejenis kehidupan, yang tidak disebut jiwa, melainkan kehidupan yang mengalir melalui bagian-bagiannya bersama air. Jika meninggalkannya, ia akan layu dan gugur.

Allah SWT berfirman:

“…Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Maka mengapa mereka tidak beriman?”[276]. (Al-Anbiya: 30).

Namun, jiwa manusia berbeda dengan jiwa manusia, yang diberikan kepada Tuhan untuk tujuan penghormatan dan rasa hormat. Hakikatnya hanya diketahui oleh Tuhan dan tidak khusus bagi siapa pun selain manusia. Jiwa manusia adalah materi ilahi, dan manusia tidak perlu memahami hakikatnya. Jiwa manusia merupakan gabungan dari daya gerak tubuh, di samping daya pikir (pikiran), persepsi, pengetahuan, dan iman. Inilah yang membedakannya dari jiwa hewani.

Karena kasih sayang dan kebaikan Allah kepada ciptaan-Nya, maka Dia memperbolehkan kita memakan yang baik-baik dan melarang kita memakan yang buruk-buruk.

Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi, yang mereka dapati tertulis di dalam kitab-kitab Taurat dan Injil yang mereka miliki. Dia memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan melepaskan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, mendukungnya, dan mengikuti cahaya yang telah diturunkannya kepada mereka, mereka akan diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” “Al-Quran diturunkan bersamanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [277] (Ali Imran: 157).

Sebagian dari mereka yang masuk Islam mengatakan bahwa memakan babi adalah alasan mereka masuk Islam.

Karena mereka tahu sebelumnya bahwa hewan ini sangat najis dan menyebabkan banyak penyakit, mereka benci memakannya. Mereka percaya bahwa umat Islam tidak makan babi hanya karena diharamkan dalam kitab suci mereka, karena mereka menyucikannya dan menyembahnya. Mereka kemudian menyadari bahwa makan babi diharamkan bagi umat Islam karena dianggap najis dan dagingnya berbahaya bagi kesehatan. Mereka kemudian menyadari keagungan agama ini.

Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [278] (Al-Baqarah: 173).

Larangan memakan daging babi juga muncul dalam Perjanjian Lama.

“Dan babi, karena berkuku belah dan berkuku belah, tetapi tidak memamah biak, adalah haram bagimu. Janganlah kamu memakan dagingnya dan janganlah kamu menyentuh bangkainya, karena semuanya haram bagimu.” [279] (Imamat 11:7-8).

“Dan babi, karena ia berkuku belah tetapi tidak memamah biak, adalah haram bagimu. Dagingnya jangan kamu makan dan bangkainya jangan kamu sentuh”[280]. (Ulangan 8:14).

Diketahui bahwa Hukum Musa juga merupakan Hukum Kristus, sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru dengan lidah Kristus.

Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga. Tetapi siapa yang melakukan pekerjaan dan mengajar, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:17-19).

Oleh karena itu, memakan daging babi dilarang dalam agama Kristen sebagaimana dilarang dalam agama Yahudi.

Konsep uang dalam Islam adalah untuk perdagangan, pertukaran barang dan jasa, serta untuk pembangunan dan pengembangan. Ketika kita meminjamkan uang untuk tujuan menghasilkan uang, kita telah menghilangkan tujuan utamanya sebagai alat tukar dan pengembangan, dan menjadikannya tujuan itu sendiri.

Bunga atau riba yang dikenakan pada pinjaman merupakan insentif bagi pemberi pinjaman karena mereka tidak mampu menanggung kerugian. Akibatnya, keuntungan kumulatif yang diperoleh pemberi pinjaman selama bertahun-tahun akan memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah dan lembaga telah terlibat secara luas dalam bidang ini, dan kita telah menyaksikan banyak contoh runtuhnya sistem ekonomi di beberapa negara. Riba memiliki kemampuan untuk menyebarkan korupsi di masyarakat dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh kejahatan lainnya.[282]

Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: Berdasarkan prinsip-prinsip Kristen, Thomas Aquinas mengutuk riba, atau pinjaman dengan bunga. Gereja, karena peran keagamaan dan sekulernya yang signifikan, mampu menggeneralisasi larangan riba di antara para pengikutnya setelah berkomitmen untuk melarangnya di kalangan rohaniwan mulai abad kedua. Menurut Thomas Aquinas, pembenaran untuk melarang bunga adalah bahwa bunga tidak dapat menjadi harga yang dibayarkan pemberi pinjaman kepada peminjam, yaitu, harga waktu peminjam, karena mereka memandang prosedur ini sebagai transaksi komersial. Pada zaman kuno, filsuf Aristoteles percaya bahwa uang adalah alat tukar dan bukan alat untuk mengumpulkan bunga. Plato, di sisi lain, memandang bunga sebagai eksploitasi, sementara orang kaya mempraktikkannya terhadap anggota masyarakat yang miskin. Transaksi riba lazim pada zaman Yunani. Seorang kreditor berhak menjual debitur sebagai budak jika debitur tersebut tidak mampu membayar utangnya. Di antara orang Romawi, situasinya tidak berbeda. Patut dicatat bahwa larangan ini tidak dipengaruhi oleh agama, karena telah terjadi lebih dari tiga abad sebelum munculnya agama Kristen. Perlu dicatat bahwa Alkitab melarang para pengikutnya untuk melakukan riba, dan Taurat pun telah melarangnya sebelumnya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan berlipat ganda. Dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”[283] (Al Imran: 130).

“Dan apa saja yang kamu berikan sebagai riba agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan bertambah di sisi Allah. Dan apa saja yang kamu berikan sebagai zakat karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka itu akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.” [284] (Ar-Rum: 39).

Perjanjian Lama juga melarang riba, seperti yang kita temukan dalam Kitab Imamat, misalnya, namun tidak terbatas pada:

Dan jika saudaramu jatuh miskin dan tangannya terbatas karenamu, maka engkau harus menyokongnya, baik ia orang asing maupun pendatang, dan ia harus tinggal bersamamu. Janganlah engkau mengambil riba atau keuntungan darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, dan saudaramu harus tinggal bersamamu. Janganlah engkau memberinya uangmu karena untung, dan janganlah engkau memberinya makananmu karena untung.[285]

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, sudah diketahui secara umum bahwa Hukum Musa juga merupakan Hukum Kristus, sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Baru oleh Kristus (Imamat 25:35-37).

Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga. Tetapi siapa yang melakukan pekerjaan dan mengajar, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.[286] (Matius 5:17-19).

Oleh karena itu, riba dilarang dalam agama Kristen sebagaimana dilarang dalam agama Yahudi.

Seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran:

“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka segala yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, (160) dan karena mereka memakan riba, padahal mereka telah dilarang, dan karena mereka memakan harta orang lain secara batil. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” [287] (An-Nisa’: 160-161).

Allah SWT telah membedakan manusia dari semua makhluk lainnya berkat akal budi-Nya. Dia telah mengharamkan bagi kita segala sesuatu yang merugikan kita, pikiran kita, dan tubuh kita. Oleh karena itu, Dia mengharamkan bagi kita segala sesuatu yang memabukkan, karena ia mengaburkan dan merusak pikiran, yang mengarah pada berbagai jenis kerusakan. Seorang pemabuk dapat membunuh orang lain, berzina, mencuri, dan kerusakan besar lainnya yang diakibatkan oleh minum alkohol.

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, mezbah batu, dan meramal panah, semuanya itu adalah dosa besar dari perbuatan setan. Maka jauhilah semuanya itu agar kamu beruntung.” [288] (Al-Ma’idah: 90)

Alkohol adalah segala sesuatu yang menyebabkan mabuk, apa pun nama atau bentuknya. Rasulullah bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah alkohol, dan setiap yang memabukkan adalah haram” [289]. (HR. Muslim).

Hal itu dilarang karena sangat membahayakan bagi individu dan masyarakat.

Alkohol juga dilarang dalam agama Kristen dan Yahudi, tetapi kebanyakan orang saat ini tidak menerapkannya.

“Anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah penipu, tidaklah bijak siapa yang terhuyung-huyung karenanya”[290]. (Amsal, Bab 20, Ayat 1).

“Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur itu menimbulkan hawa nafsu”[291]. (Efesus, Bab 5, Ayat 18).

Jurnal medis ternama The Lancet menerbitkan sebuah studi pada tahun 2010 tentang obat-obatan yang paling merusak bagi individu dan masyarakat. Studi ini berfokus pada 20 obat, termasuk alkohol, heroin, dan tembakau, dan mengevaluasinya berdasarkan 16 kriteria, sembilan di antaranya berkaitan dengan bahaya bagi individu dan tujuh lainnya. Peringkat diberikan dalam skala 100.

Hasilnya adalah jika kita memperhitungkan baik kerugian perorangan maupun kerugian bagi orang lain secara bersama-sama, alkohol merupakan obat yang paling berbahaya dari semuanya dan menempati urutan pertama.

Studi lain berbicara tentang tingkat aman konsumsi alkohol, dengan mengatakan:

"Nol adalah tingkat konsumsi alkohol yang aman untuk menghindari kematian akibat penyakit dan cedera terkait alkohol," demikian diumumkan para peneliti dalam sebuah laporan yang dipublikasikan di situs web jurnal ilmiah ternama The Lancet. Studi ini mencakup analisis data terbesar hingga saat ini mengenai subjek tersebut. Studi ini melibatkan 28 juta orang di seluruh dunia, mewakili 195 negara, dari tahun 1990 hingga 2016, untuk memperkirakan prevalensi dan kuantitas konsumsi alkohol (menggunakan 694 sumber data) serta hubungan antara konsumsi dan bahaya serta risiko kesehatan yang terkait dengan alkohol (diperoleh dari 592 studi sebelum dan sesudah). Hasilnya mengungkapkan bahwa alkohol menyebabkan 2,8 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya.

Dalam konteks ini, para peneliti merekomendasikan dimulainya langkah-langkah untuk mengenakan pajak alkohol guna membatasi keberadaannya di pasar dan iklannya, sebagai langkah awal untuk pelarangannya di masa mendatang. Allah SWT benar ketika Dia berfirman:

“Bukankah Allah adalah hakim yang paling baik?” [292]. (At-Tin: 8).

Rukun Islam

Kesaksian dan pengakuan akan keesaan Sang Pencipta dan ibadah kepada-Nya saja, dan pengakuan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Komunikasi yang terus menerus dengan Tuhan semesta alam melalui doa.

Memperkuat kemauan dan pengendalian diri seseorang, serta mengembangkan rasa belas kasihan dan keharmonisan dengan orang lain melalui puasa.

Menyisihkan sebagian harta tabungan untuk diberikan kepada fakir miskin melalui zakat, yang merupakan salah satu ibadah yang dapat menolong seseorang untuk mengatasi hawa nafsu kikir dan bakhil.

Pengabdian kepada Tuhan pada waktu dan tempat tertentu melalui pelaksanaan ritual dan perasaan yang dirasakan bersama oleh seluruh umat beriman melalui ibadah haji ke Mekah. Ini merupakan simbol persatuan dalam komitmen kita kepada Tuhan, terlepas dari afiliasi, budaya, bahasa, golongan, dan warna kulit manusia.

Seorang Muslim berdoa dalam ketaatan kepada Tuhannya, yang memerintahkannya untuk berdoa dan menjadikannya salah satu rukun Islam.

Seorang Muslim bangun untuk salat pukul 5 pagi setiap hari, dan teman-teman non-Muslimnya bangun untuk berolahraga pada waktu yang sama persis. Baginya, salat adalah asupan jasmani dan rohani, sementara olahraga hanyalah asupan jasmani bagi mereka. Hal ini berbeda dengan berdoa, yang berarti memohon kepada Allah atas suatu kebutuhan, tanpa gerakan fisik ruku' dan sujud, yang dilakukan seorang Muslim setiap saat.

Mari kita lihat seberapa besar kita merawat tubuh kita sementara jiwa kita kelaparan, dan hasilnya adalah banyaknya kasus bunuh diri di kalangan orang-orang terkaya di dunia.

Ibadah itu mengakibatkan terhapusnya perasaan yang ada di pusat perasaan di otak, yang berhubungan dengan perasaan diri sendiri dan perasaan orang di sekitar, sehingga orang tersebut merasakan tingkat transendensi yang tinggi, dan ini adalah perasaan yang tidak akan bisa dipahami oleh orang tersebut, kalau tidak mengalaminya sendiri.

Ibadah mengaktifkan pusat-pusat emosi otak, mengubah keyakinan dari informasi teoretis dan ritual menjadi pengalaman emosional subjektif. Apakah seorang ayah puas dengan sambutan lisan saat putranya kembali dari perjalanan? Ia tak akan beristirahat sampai ia memeluk dan menciumnya. Pikiran memiliki hasrat bawaan untuk mewujudkan keyakinan dan gagasan dalam bentuk nyata, dan ibadah memenuhi hasrat ini. Pengabdian dan ketaatan diwujudkan dalam doa, puasa, dan sebagainya.

Dr. Andrew Newberg[293] mengatakan: “Beribadah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan psikologis, serta dalam mencapai ketenangan dan peningkatan spiritual. Demikian pula, berpaling kepada Sang Pencipta akan menghasilkan lebih banyak ketenangan dan peningkatan spiritual.” Direktur Pusat Studi Spiritual di Universitas Pennsylvania di Amerika Serikat.

Seorang Muslim mengikuti ajaran Nabi Muhammad (saw) dan berdoa persis seperti yang dilakukan Nabi.

Rasulullah saw bersabda: “Berdoalah sebagaimana kalian melihatku berdoa.” [294]. (HR. Al-Bukhari).

Melalui salat, seorang Muslim menghadap Tuhannya lima kali sehari, didorong oleh hasratnya yang kuat untuk berkomunikasi dengan-Nya sepanjang hari. Salat adalah sarana yang telah Allah sediakan bagi kita untuk berkomunikasi dengan-Nya, dan Dia telah memerintahkan kita untuk menaatinya demi kebaikan kita sendiri.

Allah SWT berfirman:

Bacalah apa yang telah diturunkan kepadamu, yaitu Kitab Suci, dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah keburukan dan kemungkaran, dan mengingat Allah lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [295] (Al-Ankabut: 45)

Sebagai manusia, kita hampir tidak pernah berhenti berbicara dengan pasangan dan anak-anak kita di telepon setiap hari, karena kita sangat mencintai mereka dan terikat dengan mereka.

Pentingnya shalat juga tampak dalam kenyataan bahwa shalat dapat menghalangi jiwa dari melakukan perbuatan jahat dan menggerakkan jiwa untuk berbuat baik setiap kali mengingat Sang Pencipta, takut akan hukuman-Nya, dan mengharapkan ampunan serta pahala-Nya.

Segala tindakan dan perbuatan manusia haruslah murni untuk Tuhan semesta alam. Karena manusia sulit untuk terus-menerus mengingat atau memperbarui niatnya, maka harus ada waktu-waktu untuk berdoa guna berkomunikasi dengan Tuhan semesta alam dan memperbarui ketulusan hati kepada-Nya melalui ibadah dan amal. Waktu-waktu ini setidaknya lima kali sehari semalam, yang mencerminkan waktu-waktu dan fenomena utama pergantian siang dan malam (fajar, zuhur, ashar, matahari terbenam, dan petang).

Allah SWT berfirman:

“Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbitnya matahari, sebelum terbenamnya, pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, agar kamu merasa puas.” [296] (Ta-Ha: 130).

Sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam: Sholat Subuh dan Ashar.

Dan di antara waktu-waktu malam itu: shalat Isya.

Akhir hari: Sholat Dhuhur dan Magrib.

Itu adalah lima doa untuk mencakup semua perubahan alami yang terjadi sepanjang hari dan untuk mengingatkan kita tentang Sang Pencipta dan Pembuat kita.

Bahasa Indonesia: Tuhan menjadikan Kakbah [297] Rumah Suci rumah ibadah pertama dan simbol persatuan umat beriman, yang menjadi tempat semua Muslim berpaling ketika berdoa, membentuk lingkaran dari seluruh dunia, dengan Mekah sebagai pusatnya. Al-Qur'an menyajikan kepada kita banyak adegan interaksi jamaah dengan alam di sekitar mereka, seperti pengagungan dan nyanyian gunung-gunung dan burung-burung dengan Nabi Daud: "Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Daud karunia dari Kami. Hai gunung-gunung, bergemalah bersamanya, dan [begitu juga] burung-burung. Dan Kami jadikan besi lunak baginya." [298] Islam menegaskan dalam lebih dari satu contoh bahwa seluruh alam semesta, dengan semua makhluknya, memuliakan dan memuji Tuhan Semesta Alam. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: (Saba': 10).

Bahasa Indonesia: “Sesungguhnya, Rumah [ibadah] pertama yang didirikan bagi umat manusia adalah yang di Mekah - yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”[299] (Ali Imran: 96). Ka'bah adalah struktur persegi, hampir kubik yang terletak di tengah Masjidil Haram di Mekah. Bangunan ini memiliki pintu tetapi tidak memiliki jendela. Tidak berisi apa pun dan bukan kuburan bagi siapa pun. Sebaliknya, itu adalah ruang untuk berdoa. Seorang Muslim yang berdoa di dalam Ka'bah dapat berdoa menghadap ke segala arah. Ka'bah telah dibangun kembali beberapa kali sepanjang sejarah. Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang mendirikan kembali fondasi Ka'bah, bersama dengan putranya Ismail. Di sudut Ka'bah terdapat Batu Hitam, yang diyakini berasal dari zaman Adam, saw. Namun, itu bukan batu supranatural atau memiliki kekuatan supranatural, tetapi itu merupakan simbol bagi umat Islam.

Bentuk Bumi yang bulat menyebabkan terjadinya pergantian malam dan siang. Umat Islam dari seluruh penjuru dunia, berbondong-bondong melakukan tawaf mengelilingi Kakbah dan salat lima waktu, menghadap Mekah. Mereka merupakan bagian dari sistem kosmik, yang senantiasa berkomunikasi dalam memuji dan memuliakan Tuhan semesta alam. Inilah perintah Sang Pencipta kepada Nabi Ibrahim untuk meninggikan fondasi Kakbah dan tawaf mengelilinginya, dan Dia memerintahkan kita untuk menjadikan Kakbah sebagai kiblat salat.

Ka'bah telah disebutkan berkali-kali sepanjang sejarah. Orang-orang mengunjunginya setiap tahun, bahkan dari pelosok Jazirah Arab, dan kesuciannya dihormati di seluruh Jazirah Arab. Ka'bah disebutkan dalam nubuat-nubuat Perjanjian Lama, "Mereka yang melewati lembah Bakkah akan menjadikannya mata air" [300].

Bangsa Arab dahulu memuliakan Baitullah pada masa pra-Islam. Ketika Nabi Muhammad diutus, Allah awalnya menjadikan Yerusalem sebagai kiblatnya. Kemudian Allah memerintahkan beliau untuk berpaling dari Baitullah ke Baitullah untuk menarik hati para pengikut setia Nabi Muhammad yang akan menentangnya. Tujuan pengubahan kiblat adalah untuk menarik hati kepada Allah dan membebaskan mereka dari keterikatan kepada apa pun selain-Nya, hingga umat Islam menyerah dan berbalik ke arah kiblat yang dituju Rasulullah. Kaum Yahudi menganggap tindakan Rasulullah yang berpaling ke Yerusalem dalam salat sebagai argumen yang menentang mereka. (Perjanjian Lama, Mazmur: 84).

Perubahan kiblat ini juga menandai suatu titik balik dan menandakan diserahkannya kepemimpinan agama kepada bangsa Arab setelah sebelumnya kepemimpinan tersebut diambil dari Bani Israel, akibat pelanggaran mereka terhadap perjanjian dengan Tuhan semesta alam.

Ada perbedaan besar antara agama pagan dan pemujaan tempat dan perasaan tertentu, baik agama, nasional, atau etnis.

Bahasa Indonesia: Misalnya, melempar jumrah adalah, menurut beberapa perkataan, sebuah cara untuk menunjukkan penentangan kita terhadap Setan dan penolakan kita untuk mengikutinya, dan sebuah emulasi dari tindakan junjungan kita Ibrahim, saw, ketika Setan menampakkan diri kepadanya untuk mencegahnya melaksanakan perintah Tuhannya dan membantai putranya, jadi dia melemparinya dengan batu. [301] Demikian pula, berjalan antara Safa dan Marwa adalah emulasi dari tindakan Nyonya Hajar ketika dia mencari air untuk putranya, Ismail. Dalam kasus apa pun, dan terlepas dari pendapat dalam hal ini, semua ritual haji adalah untuk membangun ingatan akan Tuhan dan untuk menunjukkan ketaatan dan penyerahan diri kepada Tuhan semesta alam. Mereka tidak dimaksudkan untuk menyembah batu, tempat, atau orang. Sedangkan Islam menyerukan penyembahan satu Tuhan, yang adalah Tuhan langit dan bumi dan segala sesuatu di antaranya, dan Pencipta dan Raja segala sesuatu. Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Imam Ibnu Khuzaymah dalam Shahih-nya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Akankah kita mengkritik seseorang karena mencium amplop berisi surat dari ayahnya, misalnya? Semua ritual haji bertujuan untuk mengingat Allah dan menunjukkan ketaatan serta ketundukan kepada Tuhan semesta alam. Ritual-ritual ini tidak dimaksudkan untuk menyembah batu, tempat, atau manusia. Namun, Islam menyerukan penyembahan kepada satu Tuhan, Tuhan langit dan bumi serta segala isinya, Sang Pencipta dan Raja segala sesuatu.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan kecenderungan kepada kebenaran, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [302] (Al-An’am: 80).

Kematian akibat kepadatan jemaah haji baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya, kematian akibat kepadatan jemaah sangat jarang, tetapi jutaan orang meninggal setiap tahun akibat konsumsi alkohol, dan korban kerusuhan di stadion sepak bola dan karnaval di Amerika Selatan bahkan lebih banyak lagi. Bagaimanapun, kematian adalah hak, bertemu Tuhan adalah hak, dan mati dalam ketaatan lebih baik daripada mati dalam kemaksiatan.

Malcolm X mengatakan:

Untuk pertama kalinya dalam dua puluh sembilan tahun di bumi ini, saya berdiri di hadapan Sang Pencipta segala sesuatu dan merasa menjadi manusia seutuhnya. Saya belum pernah menyaksikan dalam hidup saya sesuatu yang lebih tulus daripada persaudaraan antara orang-orang dari semua warna kulit dan ras. Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki solusi atas masalah rasisme. [303] Sebagai seorang pengkhotbah Islam Afrika-Amerika dan pembela hak asasi manusia, beliau mengoreksi arah gerakan Islam di Amerika setelah menyimpang jauh dari ajaran Islam, dan menyerukan keyakinan yang benar.

Kasih Karunia Sang Pencipta

Individualisme menganggap pembelaan terhadap kepentingan individu sebagai isu mendasar yang harus dicapai di atas pertimbangan negara dan kelompok, sementara mereka menentang segala campur tangan eksternal terhadap kepentingan individu oleh masyarakat atau lembaga seperti pemerintah.
Al-Qur'an memuat banyak ayat yang menunjukkan rahmat dan cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi cinta Allah kepada hamba-Nya tidak seperti cinta yang dimiliki hamba-hamba-Nya satu sama lain. Cinta, menurut standar manusia, adalah kebutuhan yang tidak dimiliki oleh seorang pencinta dan ditemukan pada orang yang dicintai. Namun, Allah, Yang Mahakuasa, tidak bergantung pada kita, sehingga cinta-Nya kepada kita adalah cinta yang penuh belas kasihan dan kasih sayang, cinta yang kuat kepada yang lemah, cinta yang kaya kepada yang miskin, cinta yang mampu kepada yang tak berdaya, cinta yang hebat kepada yang kecil, dan cinta akan kebijaksanaan.

Apakah kita membiarkan anak-anak kita berbuat sesuka hati dengan dalih cinta kita kepada mereka? Apakah kita membiarkan anak-anak kita yang masih kecil melompat dari jendela atau bermain dengan kabel listrik yang terbuka dengan dalih cinta kita kepada mereka?

Tidak mungkin bagi seseorang untuk mengambil keputusan berdasarkan pada keuntungan dan kesenangan pribadinya, baginya untuk menjadi fokus utama, bagi pencapaian kepentingan pribadinya di atas pertimbangan negara dan pengaruh masyarakat serta agama, dan baginya untuk dibiarkan mengubah jenis kelaminnya, berbuat apa saja yang dikehendakinya, serta berpakaian dan bersikap di jalan sesuka hatinya, dengan dalih bahwa jalan raya adalah milik semua orang.

Jika seseorang tinggal bersama sekelompok orang di rumah bersama, akankah ia menerima jika salah satu teman serumahnya melakukan hal memalukan seperti buang air besar di ruang tamu, dengan dalih rumah itu milik semua orang? Akankah ia menerima tinggal di rumah ini tanpa aturan atau regulasi? Dengan kebebasan absolut, seseorang menjadi makhluk yang buruk rupa, dan sebagaimana telah terbukti tanpa keraguan, ia tidak mampu menanggung kebebasan tersebut.

Individualisme tidak dapat menjadi alternatif bagi identitas kolektif, betapa pun berkuasa atau berpengaruhnya seseorang. Anggota masyarakat adalah kelas-kelas, yang masing-masing cocok satu sama lain dan tak terpisahkan satu sama lain. Di antara mereka terdapat tentara, dokter, perawat, dan hakim. Bagaimana mungkin mereka memprioritaskan keuntungan dan kepentingan pribadi mereka sendiri di atas orang lain demi mencapai kebahagiaan mereka sendiri dan menjadi pusat perhatian utama?

Dengan melepaskan nalurinya, seseorang menjadi budaknya, dan Tuhan ingin dia menjadi tuannya. Tuhan ingin dia menjadi orang yang rasional dan bijaksana yang mengendalikan nalurinya. Yang dituntut darinya bukanlah melumpuhkan naluri, melainkan mengarahkannya untuk mengangkat ruh dan meninggikan jiwa.

Bila seorang ayah memaksa anak-anaknya untuk belajar, agar kelak dapat meraih prestasi akademik, padahal keinginan mereka hanya bermain, apakah saat ini ia sudah dianggap sebagai ayah yang keras?

Allah SWT berfirman:

Dan Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Apakah kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu sebelumnya?" (80) Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki dengan hawa nafsu, bukan perempuan. Bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas. (81) Dan jawaban kaumnya hanyalah: "Usirlah mereka dari kotamu. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang menjaga kebersihan." [305] (Al-A'raf: 80-82).

Ayat ini menegaskan bahwa homoseksualitas tidak bersifat turun-temurun dan bukan bagian dari kode genetik manusia, karena kaum Luth adalah orang pertama yang menciptakan jenis amoralitas ini. Hal ini sejalan dengan studi ilmiah terlengkap yang menegaskan bahwa homoseksualitas tidak ada hubungannya dengan genetika.[306] https://kaheel7.net/?p=15851 Ensiklopedia Al-Kaheel tentang Keajaiban Al-Qur'an dan Sunnah.

Apakah kita menerima dan menghormati kecenderungan pencuri untuk mencuri? Ini juga merupakan kecenderungan, tetapi dalam kedua kasus tersebut, kecenderungan tersebut tidak wajar. Ini merupakan penyimpangan dari kodrat manusia dan serangan terhadap kodrat, dan harus diperbaiki.

Tuhan menciptakan manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar, dan manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara jalan kebaikan dan jalan kejahatan.

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” [307]. (Al-Balad: 10).

Oleh karena itu, kita temukan bahwa masyarakat yang melarang homoseksualitas jarang sekali memperlihatkan ketidaknormalan ini, dan di lingkungan yang mengizinkan dan mendorong perilaku ini, persentase kaum homoseksual meningkat, yang menunjukkan bahwa yang menentukan kemungkinan homoseksualitas pada seseorang adalah lingkungan dan ajaran yang melingkupinya.

Identitas seseorang berubah setiap saat, tergantung pada tayangan saluran satelit, penggunaan teknologi, atau fanatisme mereka terhadap tim sepak bola tertentu. Globalisasi telah membentuk mereka menjadi individu yang kompleks. Pengkhianat telah menjadi orang yang berpendirian teguh, perilaku menyimpang menjadi hal yang lumrah, dan mereka kini memiliki wewenang hukum untuk berpartisipasi dalam diskusi publik. Memang, kita harus mendukung dan berdamai dengan mereka. Mereka yang memiliki teknologi memiliki kendali. Jika yang menyimpang adalah orang yang berkuasa, mereka akan memaksakan keyakinan mereka kepada pihak lain, yang menyebabkan rusaknya hubungan seseorang dengan diri mereka sendiri, masyarakat, dan Sang Pencipta. Dengan individualisme yang terkait langsung dengan homoseksualitas, kodrat manusia yang menjadi milik umat manusia telah lenyap, dan konsep keluarga tunggal telah runtuh. Barat mulai mengembangkan solusi untuk menghilangkan individualisme, karena bertahan dengan konsep ini akan menyia-nyiakan kemajuan yang telah dicapai oleh umat manusia modern, sebagaimana mereka kehilangan konsep keluarga. Akibatnya, Barat terus menderita hingga saat ini akibat masalah menurunnya jumlah individu dalam masyarakat, yang telah membuka pintu bagi imigran. Kepercayaan kepada Tuhan, menghormati hukum alam semesta yang diciptakan-Nya bagi kita, dan menaati perintah serta larangan-Nya merupakan jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap mereka yang berbuat dosa tanpa sengaja dan karena kelemahan serta kemanusiaan mereka, lalu bertobat, dan tidak berniat menantang Sang Pencipta. Namun, Yang Mahakuasa akan membinasakan mereka yang menantang-Nya, mengingkari keberadaan-Nya, atau menggambarkan-Nya sebagai berhala atau binatang. Hal yang sama berlaku bagi mereka yang terus-menerus berbuat dosa dan tidak bertobat, dan Allah tidak berkenan menerima pertobatan mereka. Jika seseorang menghina binatang, tidak ada yang akan menyalahkannya, tetapi jika ia menghina orang tuanya, ia akan dicela dengan keras. Lalu bagaimana dengan hak Sang Pencipta? Kita hendaknya tidak melihat kecilnya dosa, tetapi kita hendaknya melihat dosa yang telah kita durhakai.

Kejahatan tidak berasal dari Tuhan, kejahatan bukanlah masalah eksistensial, eksistensi adalah kebaikan murni.

Jika misalnya seseorang memukul orang lain sampai ia tidak dapat bergerak lagi, maka ia telah memperoleh sifat ketidakadilan, dan ketidakadilan adalah kejahatan.

Tetapi memiliki kekuatan dalam diri seseorang yang mengambil tongkat dan memukul orang lain dengannya bukanlah kejahatan.

Memiliki kemauan yang diberikan Tuhan kepadanya bukanlah sesuatu yang jahat.

Dan kemampuannya menggerakkan tangannya tidaklah jahat?

Bukankah adanya sifat memukul pada tongkat itu jahat?

Semua hal eksistensial ini pada dasarnya baik, dan tidak memperoleh sifat jahat kecuali jika penggunaannya yang salah menyebabkan kerugian, yaitu penyakit kelumpuhan seperti pada contoh sebelumnya. Berdasarkan contoh ini, keberadaan kalajengking atau ular bukanlah kejahatan itu sendiri kecuali jika manusia terpapar dan disengat. Tuhan Yang Mahakuasa tidak dikaitkan dengan kejahatan dalam tindakan-tindakan-Nya, yang murni baik, melainkan dalam peristiwa-peristiwa yang Tuhan izinkan terjadi melalui penilaian dan takdir-Nya untuk suatu kebijaksanaan tertentu dan yang menghasilkan banyak manfaat, meskipun Ia mampu mencegah terjadinya hal tersebut, yang diakibatkan oleh manusia yang menggunakan kebaikan ini secara tidak benar.

Sang Pencipta telah menetapkan hukum alam dan tradisi yang mengaturnya. Mereka melindungi diri ketika kerusakan atau ketidakseimbangan lingkungan muncul dan menjaga keseimbangan ini dengan tujuan mereformasi bumi dan melanjutkan kehidupan dengan cara yang lebih baik. Apa yang bermanfaat bagi manusia dan kehidupan adalah apa yang tersisa dan tetap ada di bumi. Ketika bencana terjadi di bumi yang merugikan manusia, seperti penyakit, gunung berapi, gempa bumi, dan banjir, nama dan sifat Tuhan terwujud, seperti Yang Maha Kuat, Yang Maha Penyembuh, dan Yang Maha Pemelihara, misalnya, dalam penyembuhan-Nya atas orang sakit dan pemeliharaan-Nya atas orang yang selamat. Atau nama-Nya, Yang Maha Adil, terwujud dalam hukuman-Nya atas orang yang tidak adil dan durhaka. Nama-Nya, Yang Maha Bijaksana, terwujud dalam cobaan dan ujian-Nya atas orang yang tidak durhaka, yang diganjar dengan kebaikan jika mereka sabar dan dengan siksaan jika mereka tidak sabar. Dengan demikian, manusia mengenal kebesaran Tuhannya melalui cobaan-cobaan ini, sebagaimana ia mengenal keindahan-Nya melalui karunia-Nya. Jika manusia hanya mengenal sifat-sifat keindahan ilahi, seolah-olah ia tidak mengenal Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan bencana, kejahatan, dan penderitaan merupakan alasan di balik ateisme banyak filsuf materialis kontemporer, termasuk filsuf Anthony Flew, yang telah mengakui keberadaan Tuhan sebelum kematiannya dan menulis buku berjudul "There is a God," meskipun ia adalah seorang pemimpin ateisme pada paruh kedua abad ke-20. Ketika ia mengakui keberadaan Tuhan:

“Kehadiran kejahatan dan penderitaan dalam kehidupan manusia tidak meniadakan keberadaan Tuhan, tetapi mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali sifat-sifat ilahi.” Anthony Flew percaya bahwa bencana-bencana ini memiliki banyak aspek positif. Bencana-bencana ini merangsang kemampuan material manusia, yang mengarah pada inovasi-inovasi yang memberikan rasa aman. Bencana-bencana ini juga merangsang sifat-sifat psikologis terbaik manusia, memotivasinya untuk membantu orang lain. Kehadiran kejahatan dan penderitaan telah berkontribusi pada pembangunan peradaban manusia sepanjang sejarah. Ia berkata: “Tidak peduli berapa banyak tesis yang ditawarkan untuk menjelaskan dilema ini, penjelasan agama akan tetap menjadi yang paling dapat diterima dan paling konsisten dengan hakikat kehidupan.”[308] Dikutip dari buku The Myth of Atheism, karya Dr. Amr Sharif, edisi 2014.

Faktanya, terkadang kita menemukan diri kita dengan penuh kasih sayang membawa anak-anak kecil kita ke ruang operasi untuk membedah perut mereka, sepenuhnya percaya pada kebijaksanaan dokter, cinta pada anak kecil kita, dan kepedulian terhadap kelangsungan hidup mereka.

Siapa pun yang bertanya tentang alasan keberadaan kejahatan dalam kehidupan duniawi ini sebagai dalih untuk menyangkal keberadaan Tuhan menunjukkan kepada kita keterbatasan pandangannya dan kerapuhan pemikirannya tentang hikmah di baliknya, serta kurangnya kesadarannya akan cara kerja batin segala sesuatu. Seorang ateis secara implisit telah mengakui dalam pertanyaannya bahwa kejahatan merupakan pengecualian.

Jadi, sebelum bertanya tentang hikmah di balik munculnya kejahatan, ada baiknya kita bertanya pertanyaan yang lebih realistis: “Bagaimana kebaikan muncul pertama kali?”

Tak diragukan lagi, pertanyaan terpenting untuk memulai adalah: Siapa yang menciptakan kebaikan? Kita harus sepakat tentang titik awalnya, atau prinsip asli atau yang berlaku. Dengan begitu, kita dapat menemukan pembenaran untuk pengecualian-pengecualian tersebut.

Para ilmuwan awalnya menetapkan hukum-hukum yang tetap dan spesifik untuk fisika, kimia, dan biologi, lalu mempelajari pengecualian dan anomali terhadap hukum-hukum tersebut. Demikian pula, ateis hanya dapat mengatasi hipotesis kemunculan kejahatan dengan terlebih dahulu mengakui keberadaan dunia yang dipenuhi dengan fenomena-fenomena indah, teratur, dan baik yang tak terhitung jumlahnya.

Membandingkan periode sehat dan periode sakit sepanjang rentang hidup rata-rata, atau membandingkan dekade kemakmuran dan kemakmuran dengan periode kehancuran dan kerusakan yang sepadan, atau berabad-abad ketenangan dan kedamaian alam dengan letusan gunung berapi dan gempa bumi yang sepadan, dari manakah kebaikan yang ada berasal? Dunia yang didasarkan pada kekacauan dan kebetulan tidak mungkin menghasilkan dunia yang baik.

Ironisnya, eksperimen ilmiah mengonfirmasi hal ini. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa entropi total (derajat ketidakteraturan atau keacakan) suatu sistem terisolasi tanpa pengaruh eksternal akan selalu meningkat, dan proses ini bersifat ireversibel.

Dengan kata lain, segala sesuatu yang teratur akan selalu runtuh dan berantakan kecuali ada sesuatu dari luar yang menyatukannya. Dengan demikian, gaya termodinamika buta tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik dengan sendirinya, atau menjadi sebaik yang ada, tanpa Sang Pencipta yang mengatur fenomena acak yang muncul dalam hal-hal indah seperti keindahan, kebijaksanaan, kegembiraan, dan cinta—dan semua ini hanya setelah membuktikan bahwa kebaikan adalah aturan dan kejahatan adalah pengecualian, dan bahwa ada Sang Pencipta, Pemilik, dan Pengendali yang mahakuasa.

Seseorang yang tidak mengakui ibu dan ayahnya, menghina mereka, mengusir mereka dari rumah dan membuang mereka di jalan, misalnya, bagaimana perasaan kita terhadap orang ini?

Jika seseorang berkata bahwa ia akan mempersilakan seseorang masuk ke rumahnya, menghormatinya, memberinya makan, dan mengucapkan terima kasih atas perbuatannya, akankah orang-orang menghargainya? Akankah mereka menerimanya? Dan Allah adalah contoh terbaik. Apa yang kita harapkan dari nasib seseorang yang mengingkari Penciptanya dan tidak beriman kepada-Nya? Barangsiapa yang dihukum dengan api neraka, seolah-olah ia telah ditempatkan di tempat yang semestinya. Orang ini membenci kedamaian dan kebaikan di dunia, sehingga tidak pantas mendapatkan kebahagiaan Surga.

Apa yang kita harapkan dari seseorang yang menyiksa anak-anak dengan senjata kimia, misalnya, untuk masuk surga tanpa dimintai pertanggungjawaban?

Dosa mereka bukanlah dosa yang terbatas dalam waktu tertentu, melainkan merupakan suatu karakteristik yang permanen.

Allah SWT berfirman:

“…Dan jika mereka dikembalikan, niscaya mereka akan kembali kepada apa yang dilarang bagi mereka. Dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dusta.” [309] (Al-An’am: 28).

Mereka pun menghadap Allah dengan sumpah-sumpah palsu, dan mereka akan menghadap-Nya pada hari kiamat.

Allah SWT berfirman:

“Pada hari ketika Allah membangkitkan mereka semuanya, mereka bersumpah kepada-Nya sebagaimana mereka bersumpah kepadamu, dan mereka menyangka bahwa mereka benar-benar berbuat sesuatu. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berdusta.” [310] (Al-Mujadila: 18).

Kejahatan juga bisa datang dari orang-orang yang memiliki rasa iri dan cemburu di dalam hati mereka, yang menyebabkan masalah dan konflik di antara mereka. Sudah sepantasnya hukuman mereka adalah Neraka, yang sesuai dengan kodrat mereka.

Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [311] (Al-A’raf: 36).

Deskripsi tentang Tuhan yang adil mengharuskan Dia untuk mendendam di samping belas kasihan-Nya. Dalam agama Kristen, Tuhan hanyalah "kasih", dalam agama Yahudi hanya "murka", dan dalam Islam, Dia adalah Tuhan yang adil dan penyayang, dan Dia memiliki semua nama yang indah, yang merupakan atribut keindahan dan keagungan.

Dalam praktiknya, kita menggunakan api untuk memisahkan kotoran dari materi murni, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, Allah SWT—dan Allah adalah contoh terbaik—menggunakan api untuk menyucikan hamba-hamba-Nya di akhirat dari dosa dan pelanggaran, dan pada akhirnya, api itu akan mengeluarkan siapa pun yang di dalam hatinya memiliki iman seberat atom pun kepada rahmat-Nya.

Sesungguhnya Allah menghendaki keimanan bagi semua hamba-Nya.

Allah SWT berfirman:

“Dan Dia tidak menyukai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia menyukai kekufuran itu bagimu. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmu-lah tempat kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada.” [312] (Az-Zumar: 7).

Namun, jika Tuhan mengirim semua orang ke surga tanpa pertanggungjawaban, akan terjadi pelanggaran keadilan yang parah; Tuhan akan memperlakukan nabi-Nya, Musa, dan Firaun, dengan cara yang sama, dan setiap penindas dan korbannya akan masuk surga seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Diperlukan mekanisme untuk memastikan bahwa mereka yang masuk surga melakukannya berdasarkan prestasi.

Keindahan ajaran Islam adalah bahwa Tuhan, yang mengenal kita lebih dari kita mengenal diri kita sendiri, telah memberi tahu kita bahwa kita memiliki apa yang diperlukan untuk melakukan tindakan duniawi guna memperoleh keridhaan-Nya dan masuk Surga.

Allah SWT berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”[313]. (Al-Baqarah: 286).

Banyak kejahatan mengakibatkan hukuman seumur hidup bagi pelakunya. Adakah yang berpendapat bahwa hukuman seumur hidup tidak adil karena pelaku melakukan kejahatannya hanya dalam beberapa menit? Apakah hukuman sepuluh tahun tidak adil karena pelaku hanya menggelapkan uang selama satu tahun? Hukuman tidak terkait dengan lamanya kejahatan dilakukan, melainkan pada besarnya dan sifat mengerikan dari kejahatan tersebut.

Seorang ibu melelahkan anak-anaknya dengan terus-menerus mengingatkan mereka untuk berhati-hati saat bepergian atau bekerja. Apakah ia dianggap ibu yang kejam? Ini adalah pergeseran keseimbangan dan mengubah belas kasih menjadi kekejaman. Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya dan memperingatkan mereka tentang belas kasih-Nya kepada mereka, membimbing mereka ke jalan keselamatan, dan berjanji untuk mengganti perbuatan buruk mereka dengan kebaikan ketika mereka bertobat kepada-Nya.

Allah SWT berfirman:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh. Allah akan mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [314] (Al-Furqan: 70).

Mengapa kita tidak menyadari pahala dan kebahagiaan besar di taman abadi hanya karena sedikit ketaatan?

Allah SWT berfirman:

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh, maka Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.” [315] (At-Taghabun: 9).

Seorang ibu melelahkan anak-anaknya dengan terus-menerus mengingatkan mereka untuk berhati-hati saat bepergian atau bekerja. Apakah ia dianggap ibu yang kejam? Ini adalah pergeseran keseimbangan dan mengubah belas kasih menjadi kekejaman. Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya dan memperingatkan mereka tentang belas kasih-Nya kepada mereka, membimbing mereka ke jalan keselamatan, dan berjanji untuk mengganti perbuatan buruk mereka dengan kebaikan ketika mereka bertobat kepada-Nya.

Allah SWT berfirman:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh. Allah akan mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [314] (Al-Furqan: 70).

Mengapa kita tidak menyadari pahala dan kebahagiaan besar di taman abadi hanya karena sedikit ketaatan?

Allah SWT berfirman:

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh, maka Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.” [315] (At-Taghabun: 9).

Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada seluruh hamba-Nya ke jalan keselamatan, dan Dia tidak menerima kekafiran mereka, akan tetapi Dia tidak menyukai kemungkaran yang dilakukan manusia itu sendiri, yakni berupa kekafiran dan kerusakan di muka bumi.

Allah SWT berfirman:

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari kebutuhanmu dan tidak menyukai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, niscaya Dia akan menyukai kekafiran itu bagimu. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmu-lah tempat kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada.”[316] (Az-Zumar: 7).

Apa yang seharusnya kita katakan tentang seorang ayah yang berulang kali berkata kepada putra-putranya, "Ayah bangga pada kalian semua. Jika kalian mencuri, berzina, membunuh, dan membuat kerusakan di muka bumi, maka bagiku kalian seperti hamba yang saleh." Sederhananya, deskripsi paling akurat tentang ayah ini adalah bahwa ia seperti Setan, yang mendorong putra-putranya untuk membuat kerusakan di muka bumi.

Hak Sang Pencipta atas hamba-hambanya

Bahasa Indonesia: Jika seseorang ingin bermaksiat kepada Allah, maka ia tidak boleh memakan rizki-Nya, dan harus meninggalkan negerinya, serta mencari tempat yang aman di mana Allah tidak akan melihatnya. Dan jika Malaikat Maut datang untuk mencabut nyawanya, maka malaikat itu harus berkata kepadanya, “Tundalah aku sampai aku bertobat dengan sungguh-sungguh dan beramal saleh karena Allah.” Dan jika Malaikat Azab datang kepadanya pada Hari Kiamat untuk mencabutnya ke Neraka, maka ia tidak boleh ikut bersama mereka, melainkan harus melawan dan menahan diri dari ikut bersama mereka, dan ia pun masuk ke Surga. Apakah ia mampu melakukan hal itu? [317] Kisah Ibrahim bin Adham.

Ketika seseorang memelihara hewan peliharaan di rumahnya, yang paling ia harapkan darinya adalah ketaatan. Ini karena ia hanya membelinya, bukan menciptakannya. Lalu bagaimana dengan Sang Pencipta dan Pencipta kita? Bukankah Dia layak mendapatkan ketaatan, penyembahan, dan ketundukan kita? Kita berserah, terlepas dari diri kita sendiri, dalam perjalanan duniawi ini dalam banyak hal. Jantung kita berdetak, sistem pencernaan kita bekerja, indra kita merasakan yang terbaik. Yang harus kita lakukan hanyalah berserah kepada Tuhan dalam hal-hal lain yang telah Dia berikan kepada kita untuk dipilih, agar kita dapat tiba dengan selamat di pantai yang aman.

Kita harus membedakan antara iman dan penyerahan diri kepada Tuhan semesta alam.

Hak yang dituntut dari Tuhan semesta alam, yang tak seorang pun dapat mengabaikannya, adalah berserah diri kepada Keesaan-Nya dan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu, dan bahwa Dialah Sang Pencipta, yang memiliki kerajaan dan perintah, suka atau tidak suka. Inilah fondasi iman (dan iman itu dalam perkataan dan perbuatan), dan kita tidak punya pilihan lain, dan berdasarkan itu seseorang akan dimintai pertanggungjawaban dan dihukum.

Lawan dari menyerah adalah kejahatan.

Allah SWT berfirman:

“Maka apakah Kami akan memperlakukan orang-orang muslim seperti orang-orang yang berdosa?” [318]. (Al-Qalam: 35).

Adapun kezaliman, ialah menjadikan sekutu bagi Tuhan semesta alam atau yang setara.

Allah SWT berfirman:

“…Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [319] (Al-Baqarah: 22).

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itu akan memperoleh keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [320] (Al-An’am: 82).

Iman merupakan perkara metafisika yang menuntut adanya kepercayaan kepada Tuhan, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, serta penerimaan dan keridhaan terhadap takdir dan ketentuan Tuhan.

Allah SWT berfirman:

Orang-orang Arab di padang pasir berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami berserah diri,’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia tidak akan menghilangkan sedikit pun dari amalmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [321] (Al-Hujurat: 14).

Ayat di atas memberi tahu kita bahwa iman memiliki derajat dan tingkatan yang lebih tinggi dan lebih luhur, yaitu rasa cukup, ridha, dan puas. Iman memiliki tingkatan dan tingkatan yang bertambah dan berkurang. Kemampuan dan kapasitas hati seseorang untuk memahami hal-hal gaib berbeda-beda. Manusia berbeda dalam hal keluasan persepsi mereka tentang sifat-sifat keindahan dan keagungan, serta dalam hal pengetahuan mereka tentang Tuhan mereka.

Manusia tidak akan dihukum karena kurangnya pemahamannya tentang yang gaib atau karena pikirannya yang sempit. Sebaliknya, Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas tingkat keselamatan minimum yang dapat diterima dari hukuman abadi di Neraka. Manusia harus berserah diri kepada Keesaan Allah, bahwa hanya Dialah Pencipta, Penguasa, dan Penyembah. Dengan kepasrahan ini, Allah akan mengampuni segala dosa selain Dia bagi siapa pun yang Dia kehendaki. Manusia tidak punya pilihan lain: iman dan kesuksesan, atau kekufuran dan kerugian. Ia adalah sesuatu atau bukan apa-apa.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa yang kurang dari itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh, ia telah melakukan dosa yang besar.”[322]

Iman adalah perkara yang berkaitan dengan hal-hal gaib dan berakhir ketika hal-hal gaib telah terungkap atau tanda-tanda Kiamat telah muncul. (An-Nisa: 48)

Allah SWT berfirman:

“…Pada hari (ketika) datang sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhanmu, suatu jiwa pun tidak akan memperoleh manfaat dari imannya, yang belum pernah beriman sebelumnya dan belum pernah berusaha mendapatkan kebaikan dari imannya…”[323]. (Al-An’am: 158).

Barangsiapa ingin mengambil manfaat imannya melalui amal saleh dan menambah pahala amal salehnya, maka ia harus melakukannya sebelum hari kiamat dan turunnya hal-hal yang ghaib.

Adapun orang yang tidak beramal saleh, ia tidak boleh meninggalkan dunia ini kecuali ia telah berserah diri kepada Allah dan berkomitmen pada tauhid dan beribadah hanya kepada-Nya, jika ia berharap diselamatkan dari siksa neraka yang kekal. Keabadian sementara mungkin menimpa sebagian orang berdosa, dan ini bergantung pada kehendak Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan memasukkannya ke dalam neraka.

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebagaimana seharusnya bertakwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim.” [324] (Al Imran: 102).

Iman dalam agama Islam mencakup perkataan dan perbuatan. Iman bukan sekadar iman seperti dalam ajaran Kristen saat ini, juga bukan sekadar perbuatan seperti dalam ateisme. Perbuatan seseorang pada tahap keyakinannya terhadap hal gaib dan kesabarannya tidak sama dengan perbuatan seseorang yang telah menyaksikan, melihat, dan diwahyukan hal gaib kepadanya di akhirat. Sebagaimana seseorang yang beramal untuk Tuhan di masa sulit, lemah, dan kurang pengetahuan tentang takdir Islam tidak sama dengan seseorang yang beramal untuk Tuhan saat Islam masih tampak, kuat, dan kokoh.

Allah SWT berfirman:

“…Tidaklah sama di antara kamu orang-orang yang menafkahkan harta sebelum perang dan berperang. Mereka itu lebih besar derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan harta sesudah perang dan berperang. Dan Allah telah menjanjikan kepada semuanya pahala yang lebih baik. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [325] (Al-Hadid: 10).

Tuhan semesta alam tidak menghukum tanpa alasan. Seseorang akan dimintai pertanggungjawaban dan dihukum karena melanggar hak orang lain atau hak Tuhan semesta alam.

Hakikat yang tak dapat ditinggalkan oleh siapa pun untuk terhindar dari siksa neraka yang kekal adalah berserah diri kepada Keesaan Allah, Tuhan semesta alam, dan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya, dengan mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, semata, tanpa sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan aku bersaksi bahwa para utusan Allah itu benar, dan aku bersaksi bahwa surga itu benar dan neraka itu benar.” Dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.

Tidak menghalangi jalan Allah, tidak membantu dan tidak mendukung segala bentuk tindakan yang bertujuan menghalangi seruan dan penyebaran agama Allah.

Bukan untuk mencerna, menyia-nyiakan hak-hak rakyat atau menindas mereka.

Mencegah kejahatan dari umat manusia dan makhluk hidup, meskipun itu berarti menjauhi atau mengisolasi diri dari orang lain.

Seseorang mungkin tidak memiliki banyak perbuatan baik, tetapi ia tidak pernah menyakiti siapa pun atau melakukan tindakan apa pun yang akan merugikan dirinya sendiri atau orang lain, dan ia telah bersaksi tentang Keesaan Tuhan. Diharapkan ia akan diselamatkan dari siksa Neraka.

Allah SWT berfirman:

“Apakah yang akan Allah lakukan terhadap azabmu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan adalah Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” [326] (An-Nisa’: 147).

Manusia dikelompokkan ke dalam tingkatan dan tingkatan, dimulai dari amal mereka di dunia dalam dunia kesaksian, hingga Hari Kiamat, turunnya dunia gaib, dan dimulainya perhitungan di akhirat. Sebagian kaum akan diuji oleh Allah di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam hadis mulia.

Tuhan semesta alam menghukum manusia sesuai dengan perbuatan dan tindakan jahat mereka. Dia mempercepat mereka di dunia atau menunda mereka hingga akhirat. Hal ini bergantung pada beratnya perbuatan tersebut, ada tidaknya penyesalan, dan seberapa besar dampak serta kerusakannya terhadap tanaman, keturunan, dan semua makhluk lainnya. Allah tidak menyukai kerusakan.

Umat-umat terdahulu, seperti kaum Nuh, Hud, Shalih, Luth, Fir'aun, dan lainnya, yang mengingkari para rasul, dihukum oleh Allah di dunia ini karena perbuatan tercela dan kezaliman mereka. Mereka tidak menjauhkan diri atau menghentikan kejahatan mereka, melainkan terus bertahan. Kaum Hud berlaku zalim di muka bumi, kaum Shalih membunuh unta betina, kaum Luth terus-menerus berbuat maksiat, kaum Syuaib terus-menerus berbuat kerusakan dan menyia-nyiakan hak-hak manusia dalam hal timbangan dan takaran, kaum Fir'aun mengikuti kaum Musa dalam kezaliman dan permusuhan, dan sebelum mereka, kaum Nuh terus-menerus menyekutukan ibadah kepada Tuhan semesta alam.

Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, maka sesungguhnya ia berbuat jahat untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka kejahatannya terhadap dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” [327] (Fussilat: 46).

Maka Kami siksa masing-masing orang karena dosanya. Di antara mereka ada orang-orang yang Kami kirimkan badai yang terbuat dari batu, dan di antara mereka ada orang-orang yang ditimpa suara jeritan, dan di antara mereka ada orang-orang yang Kami telan bumi, dan di antara mereka ada orang-orang yang Kami tenggelamkan. Dan bukanlah Allah yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. [328] (Al-Ankabut: 40).

Tentukan takdirmu dan raih keselamatan

Menuntut ilmu dan menjelajahi cakrawala alam semesta ini adalah hak manusia. Allah SWT telah menempatkan akal budi ini dalam diri kita agar kita dapat menggunakannya, bukan melumpuhkannya. Setiap orang yang mengikuti agama leluhurnya tanpa menggunakan akal budinya, dan tanpa merenungkan serta menganalisis agama ini, niscaya telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, merendahkan dirinya sendiri, dan merendahkan nikmat agung yang telah Allah SWT tempatkan dalam dirinya, yaitu akal budi.

Berapa banyak umat Muslim yang tumbuh dalam keluarga monoteistik lalu menyimpang dari jalan yang benar dengan menyekutukan Tuhan? Dan ada pula yang tumbuh dalam keluarga politeistik atau Kristen yang percaya pada Trinitas dan menolak kepercayaan ini serta berkata: Tidak ada Tuhan selain Allah.

Kisah simbolis berikut menggambarkan hal ini. Seorang istri memasak ikan untuk suaminya, tetapi ia memotong kepala dan ekornya sebelum memasaknya. Ketika suaminya bertanya, "Mengapa kamu memotong kepala dan ekornya?", ia menjawab, "Begitulah cara ibuku memasaknya." Sang suami bertanya kepada sang ibu, "Mengapa kamu memotong ekor dan kepalanya saat memasak ikan?" Sang ibu menjawab, "Begitulah cara ibuku memasaknya." Sang suami kemudian bertanya kepada sang nenek, "Mengapa kamu memotong kepala dan ekornya?" Sang nenek menjawab, "Panci masak di rumah kecil, dan aku harus memotong kepala dan ekornya agar ikan muat di dalam panci."

Kenyataannya, banyak peristiwa yang terjadi di era-era sebelum kita terbelenggu oleh waktu dan zamannya, dan memiliki sebab-sebab yang terkait dengannya. Mungkin kisah sebelumnya mencerminkan hal ini. Kenyataannya, hidup di zaman yang bukan zaman kita dan meniru tindakan orang lain tanpa berpikir atau mempertanyakannya, terlepas dari perbedaan keadaan dan perubahan zaman, merupakan bencana kemanusiaan.

Allah SWT berfirman:

“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri…” [329]. (Al-Ra’d: 11).

Allah SWT sekali-kali tidak akan menganiaya mereka, tetapi akan menguji mereka pada hari kiamat.

Mereka yang belum memiliki kesempatan untuk memahami Islam sepenuhnya tidak punya alasan. Seperti yang telah kami sebutkan, mereka tidak boleh mengabaikan penelitian dan refleksi. Meskipun menetapkan dan memvalidasi bukti itu sulit, setiap orang berbeda. Ketidaktahuan atau kegagalan menyampaikan bukti adalah alasan, dan masalahnya ada pada Tuhan di akhirat. Namun, keputusan duniawi didasarkan pada penampilan luar.

Dan fakta bahwa Allah SWT telah menjatuhkan hukuman kepada mereka bukanlah hal yang tidak adil setelah semua argumen yang telah Dia tetapkan terhadap mereka, dari akal, naluri, pesan, dan tanda-tanda di alam semesta dan di dalam diri mereka sendiri. Setidaknya mereka seharusnya melakukan balasan atas semua ini, yaitu mengenal Allah SWT dan beriman kepada Keesaan-Nya, sembari berpegang teguh pada rukun Islam sebagai minimum. Seandainya mereka melakukan itu, mereka akan diselamatkan dari siksa neraka yang kekal dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Apakah menurut Anda ini sulit?

Hak Allah atas hamba-hamba-Nya yang Dia ciptakan adalah agar mereka menyembah-Nya semata, dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah adalah agar Dia tidak menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya. Persoalannya sederhana: ini adalah perkataan yang diucapkan, diyakini, dan diamalkan seseorang, dan semua itu cukup untuk menyelamatkan seseorang dari api neraka. Bukankah ini keadilan? Inilah hukum Allah, Yang Mahakuasa, Yang Adil, Yang Maha Baik, Yang Maha Mengetahui, dan inilah agama Allah, Yang Maha Suci dan Maha Agung.

Permasalahan sesungguhnya bukanlah ketika seseorang berbuat salah atau berdosa, karena berbuat salah sudah menjadi fitrah manusia. Setiap anak Adam pasti pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi (saw). Namun, permasalahannya terletak pada kegigihannya dalam berbuat dosa dan terus-menerus melakukannya. Juga merupakan cacat ketika seseorang dinasihati tetapi tidak mendengarkan nasihat atau mengamalkannya, atau ketika ia diingatkan tetapi nasihat itu tidak bermanfaat baginya, atau ketika ia dinasihati tetapi tidak memperhatikan, merenungkan, bertaubat, atau memohon ampun, melainkan tetap bertahan dan berpaling dalam kesombongan.

Allah SWT berfirman:

“Dan apabila dibacakan ayat-ayat Kami kepadanya, dia berpaling dengan sombong, seolah-olah dia tidak mendengarnya, seolah-olah telinganya tuli. Maka sampaikanlah kepadanya kabar tentang azab yang pedih.” [330] (Luqman: 7).

Akhir perjalanan hidup dan tercapainya keselamatan dirangkum dalam ayat-ayat ini.
Allah SWT berfirman:
Dan bumi akan bersinar dengan cahaya Tuhannya, dan catatan akan diletakkan, dan para nabi dan para saksi akan dihadirkan, dan akan diputuskan di antara mereka dengan benar, dan mereka tidak akan dianiaya. Dan setiap jiwa akan dibalaskan dengan sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka lakukan. Dan orang-orang kafir akan didorong ke Neraka Jahannam berkelompok-kelompok sampai, ketika mereka telah sampai di sana, pintu-pintunya akan dibuka, dan penjaga-penjaganya akan berkata kepada mereka, 'Bukankah telah datang kepadamu para rasul?'" Di antara kamu ada orang-orang yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkanmu tentang pertemuan hari ini. Mereka akan berkata, "Benar, tetapi kalimat hukuman telah berlaku atas orang-orang kafir." Akan dikatakan, "Masuklah ke pintu-pintu Neraka Jahannam, Anda kekal di dalamnya, karena tempat tinggal yang sombong adalah buruk. " Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka akan digiring ke surga berkelompok-kelompok, hingga apabila mereka telah sampai di sana dan pintu-pintunya dibukakan, pintu-pintunya dan para penjaganya berkata kepada mereka, “Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu. Kamu telah berbuat baik, maka masuklah ke dalamnya untuk kekal.” Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan menjadikan kami mewarisi bumi. Kami boleh tinggal di surga di mana saja yang kami mau. Sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.” [331] (Az-Zumar: 69-74).

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Aku bersaksi bahwa utusan Allah adalah benar

Saya bersaksi bahwa Surga itu benar dan Neraka itu benar.

Sumber: Buku (Tanya Jawab tentang Islam) karya Faten Sabry

Tanya Jawab Video

Temannya yang ateis mengklaim bahwa Al-Quran disalin dari buku-buku sejarah kuno dan bertanya kepadanya: Siapa yang menciptakan Tuhan? - Zakir Naik

Apakah versi Alkitab saat ini sama dengan versi aslinya? Dr. Zakir Naik

Bukti bahwa Islam adalah agama yang benar - Zakir Naik

Dimana Tuhan? - Zakir Naik

Bagaimana mungkin Muhammad adalah penutup para nabi dan Yesus akan kembali di akhir zaman? - Zakir Naik

Seorang Kristen bertanya tentang penyaliban Kristus menurut narasi Islam untuk memperpendek jarak

Jangan ragu untuk menghubungi kami

Kirimkan kepada kami jika Anda memiliki pertanyaan lain dan kami akan menjawabnya sesegera mungkin, Insya Allah.

    id_IDID