Suleiman yang Agung

28 September 2014

Suleiman yang Agung

Suleiman yang Agung tidak tenggelam dalam kesenangan seperti yang dipromosikan media. Sebaliknya, ia adalah seorang penguasa yang adil, seorang penyair, seorang kaligrafer, dan menguasai beberapa bahasa Timur, termasuk bahasa Arab. Ia gemar membangun dan membangun, dan ia mencintai jihad di jalan Allah. Berikut kisah nyatanya.

Ia adalah Suleiman yang Agung, putra Selim, yang dikenal di Barat sebagai Suleiman yang Agung. Ia adalah salah satu sultan Utsmaniyah paling terkenal. Ia memerintah selama 48 tahun sejak 9261 H/51 M, menjadikannya sultan Utsmaniyah dengan masa pemerintahan terlama.
Sultan Suleiman yang Agung menghabiskan empat puluh enam tahun di puncak kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah, di mana negara mencapai puncak kekuatan dan otoritas. Wilayahnya meluas ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, memperluas otoritasnya atas banyak negara di tiga benua. Prestisenya meluas hingga mencakup seluruh dunia, dan ia menjadi pemimpin dunia, dirayu oleh berbagai negara dan kerajaan. Sistem dan hukum berkembang untuk mengatur kehidupan dengan presisi dan tertib, tanpa melanggar hukum Islam, yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh Utsmaniyah di seluruh wilayah negara mereka. Seni dan sastra berkembang pesat, dan arsitektur serta konstruksi pun berkembang pesat.

Asuhannya
Ayahnya adalah Sultan Selim I dan ibunya adalah Hafsa Sultan, putri Menguli Karani Khan dari Krimea. Suleiman yang Agung lahir di Trabzon pada tahun 900 H/1495 M, ketika ayahnya menjabat sebagai gubernur. Ia sangat menyayanginya, dan Suleiman tumbuh besar dengan kecintaan pada ilmu pengetahuan, sastra, ulama, sastrawan, dan ahli hukum. Ia dikenal sejak muda karena keseriusan dan kewibawaannya.

Mengambil alih kendali kekuasaan
Sultan Suleiman yang Agung menjabat sebagai khalifah setelah wafatnya ayahnya, Sultan Selim I, pada 9 Syawal 926 H/22 September 1520 M. Beliau mulai mengelola urusan negara dan mengarahkan kebijakannya. Beliau mengawali pidatonya dengan ayat Al-Qur'an: "Sesungguhnya, ini dari Sulaiman, dan sesungguhnya, ini dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Karya-karya yang dihasilkan Sultan selama masa pemerintahannya sangat banyak dan sangat penting bagi kehidupan negara.
Pada periode pertama pemerintahannya, ia berhasil membangun prestise negara dan memukul mundur para gubernur pemberontak yang menginginkan kemerdekaan. Ia yakin bahwa usia Sultan yang masih muda, yaitu dua puluh enam tahun, merupakan kesempatan yang baik untuk mewujudkan impian mereka. Namun, mereka terkejut dengan tekad Sultan yang kuat dan tak tergoyahkan, saat ia menumpas pemberontakan Janberdi al-Ghazali di Syam, Ahmed Pasha di Mesir, dan Qalandar Jalabi di wilayah Konya dan Marash, seorang Syiah yang mengumpulkan sekitar tiga puluh ribu pengikut untuk memberontak melawan negara.

medan perang
Kesultanan Utsmaniyah memasuki banyak medan perang untuk memperluas pengaruhnya selama masa pemerintahan Suleiman, termasuk Eropa, Asia, dan Afrika. Ia merebut Beograd pada tahun 927 H/1521 M, dan mengepung Wina pada tahun 935 H/1529 M, tetapi ia tidak berhasil menaklukkannya. Ia mencoba lagi, dan nasibnya tidak lebih baik dari yang pertama. Ia mencaplok sebagian wilayah Hongaria, termasuk ibu kotanya, Budapest, ke dalam negaranya, dan menjadikannya provinsi Utsmaniyah.
Di Asia, Sultan Suleiman melancarkan tiga kampanye besar melawan Kesultanan Safawiyah, dimulai pada tahun 941 H/1534 M. Kampanye pertama berhasil mencaplok Irak ke Kesultanan Utsmaniyah. Selama kampanye kedua pada tahun 955 H/1548 M, Tabriz beserta benteng-benteng Van dan Erivan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan negara. Kampanye ketiga, pada tahun 962 H/1555 M, memaksa Syah Tahmasp untuk berdamai dan menyerahkan Erivan, Tabriz, dan Anatolia timur kepada Utsmaniyah.
Selama masa pemerintahannya, Utsmaniyah juga menghadapi pengaruh Portugis di Samudra Hindia dan Teluk Arab. Uwais Pasha, gubernur Yaman, merebut Kastil Taiz pada tahun 953 H/1546 M. Selama masa pemerintahannya, Oman, Al-Ahsa, Qatar, dan wilayah laut lainnya jatuh di bawah pengaruh Kekhalifahan Utsmaniyah. Kebijakan ini menyebabkan terbatasnya pengaruh Portugis di perairan Timur Tengah.
Di Afrika, Libya, sebagian besar Tunisia, Eritrea, Djibouti, dan Somalia jatuh di bawah pengaruh Kekhalifahan Ottoman.

Perkembangan Angkatan Laut Ottoman
Angkatan Laut Utsmaniyah telah berkembang pesat sejak masa Sultan Bayezid II, dan bertanggung jawab untuk melindungi perairan yang berbatasan dengan wilayah kesultanan. Pada masa pemerintahan Suleiman, kekuatan angkatan laut meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan naiknya Hayreddin Barbarossa, yang memimpin armada kuat yang menyerang pesisir Spanyol dan kapal-kapal Tentara Salib di Mediterania. Setelah naik takhta, Sultan menganugerahinya gelar "Kapudan".
Berkat bantuan Sultan Suleiman yang Agung, Khairuddin menyerang pesisir Spanyol dan menyelamatkan ribuan Muslim di Spanyol. Pada tahun 935 H/1529 M, ia melakukan tujuh pelayaran ke pesisir Spanyol untuk membebaskan tujuh puluh ribu Muslim dari cengkeraman pemerintah Spanyol.
Sultan mempercayakan Khairuddin dengan komando operasi angkatan laut di Mediterania barat. Spanyol berusaha menghancurkan armadanya, tetapi selalu gagal dan menderita kerugian besar. Mungkin kekalahan terparah mereka adalah Pertempuran Preveza pada tahun 945 H/1538 M.
Armada Khair ad-Din bergabung dengan armada Prancis dalam perang melawan Habsburg, dan membantu Prancis merebut kembali kota Nice pada tahun 950 H/1543 M. Hal ini menyebabkan Prancis dengan sukarela menyerahkan pelabuhan Toulon di Prancis kepada pemerintahan Ottoman, mengubah pelabuhan militer Prancis tersebut menjadi pangkalan militer Islam bagi Kesultanan Ottoman di Mediterania barat.
Ruang lingkup operasi armada Ottoman meluas hingga mencakup Laut Merah, tempat Ottoman merebut Suakin dan Massawa, mengusir Portugis dari Laut Merah, dan merebut pantai Ethiopia, yang menyebabkan kebangkitan perdagangan antara Asia dan Barat melalui tanah Islam.

Perkembangan peradaban
Sultan Suleiman yang Agung adalah seorang penyair dengan selera seni yang tinggi, seorang kaligrafer yang terampil, dan fasih dalam beberapa bahasa oriental, termasuk bahasa Arab. Ia memiliki mata yang tajam untuk batu-batu mulia dan terpesona oleh konstruksi dan pembangunan, yang pengaruhnya terlihat jelas di kekaisarannya. Ia menghabiskan banyak uang untuk pembangunan besar, membangun benteng dan kubu pertahanan di Rhodes, Beograd, dan Buda. Ia juga membangun masjid, waduk, dan jembatan di seluruh kekaisaran, terutama di Damaskus, Mekah, dan Baghdad. Ia juga membangun mahakarya arsitektur di ibu kotanya. Peneliti Jamal al-Din Faleh al-Kilani menegaskan bahwa era Suleiman yang Agung dianggap sebagai zaman keemasan Kesultanan Utsmaniyah, karena merupakan negara terkuat di dunia dan menguasai Mediterania.
Pada masanya, muncul arsitek-arsitek paling tersohor dalam sejarah Islam, seperti arsitek Sinan Agha, yang turut serta dalam kampanye Ottoman dan menguasai berbagai gaya arsitektur hingga akhirnya mengembangkan gayanya sendiri. Masjid Suleymaniye, atau Masjid Suleymaniye di Istanbul, yang dibangunnya untuk Sultan Suleiman pada tahun 964 H/1557 M, dianggap sebagai salah satu karya arsitektur paling terkenal dalam sejarah Islam.
Pada masa pemerintahannya, seni miniatur Utsmaniyah mencapai puncaknya. Arifi mendokumentasikan peristiwa-peristiwa politik dan sosial yang terjadi selama pemerintahan Suleiman Agung dalam miniatur-miniatur yang hidup. Sejumlah kaligrafer hebat berprestasi pada era ini, terutama Hasan Efendi Celebi Karahisari, yang menulis kaligrafi untuk Masjid Süleymaniye, dan gurunya, Ahmed bin Karahisari. Ia menulis sebuah salinan Al-Qur'an dengan tulisan tangannya sendiri, yang dianggap sebagai mahakarya kaligrafi dan seni rupa Arab. Salinan ini kini disimpan di Museum Topkapi.
Pada masa pemerintahan Sultan Suleiman, sejumlah ulama muncul, terutama Abu al-Su'ud Effendi, penulis tafsir yang dikenal dengan judul "Bimbingan Akal Sehat Menuju Khasiat Kitab Suci."

Hukum dan Administrasi
Hal yang paling terkenal dari Sultan Suleiman yang Agung, dan yang menjadi dasar namanya, adalah hukum-hukum yang mengatur kehidupan di wilayah kekaisarannya yang luas. Hukum-hukum ini disusun olehnya bersama Syekh al-Islam Abu al-Su'ud Efendi, dengan mempertimbangkan kondisi unik wilayah-wilayah kekaisarannya dan memastikan bahwa hukum-hukum tersebut selaras dengan hukum Islam dan norma-norma adat. Hukum-hukum ini, yang dikenal sebagai "Kanunname Sultan Suleiman," atau Konstitusi Sultan Suleiman, tetap berlaku hingga awal abad ke-13 Hijriah (abad ke-19 M).
Rakyat tidak menyebut Sultan Suleiman sebagai Pembuat Hukum karena ia menetapkan hukum, melainkan karena ia menerapkannya secara adil. Inilah sebabnya mengapa Kesultanan Utsmaniyah menganggap gelar-gelar yang diberikan kepada Suleiman oleh orang Eropa pada masanya, seperti "Yang Agung" dan "Yang Agung", tidak terlalu penting atau berpengaruh dibandingkan dengan gelar "Pembuat Hukum", yang melambangkan keadilan.
Era Qanuni bukanlah era di mana negara mencapai puncak kejayaannya, melainkan era di mana negara yang paling besar dikelola dengan sistem administrasi yang paling maju.

Kematiannya
Sultan Suleiman yang Agung tidak pernah meninggalkan jihad. Di usia senjanya, beliau menderita asam urat, yang membuatnya tidak bisa menunggang kuda. Namun, beliau gigih menunjukkan kekuatannya kepada musuh-musuhnya. Suleiman berusia 74 tahun, tetapi ketika mengetahui bahwa raja Habsburg telah menyerbu perbatasan Muslim, beliau segera berangkat berjihad. Meskipun menderita penyakit parah, beliau secara pribadi memimpin pasukan, memimpin pasukan besar pada tanggal 9 Syawal 973 H (29 April 1566 M). Beliau tiba di kota Szigetvár di Hongaria, salah satu benteng Kristen terbesar, dan membawa serta bubuk mesiu dan meriam. Sebelum berangkat berjihad, dokternya menyarankan beliau untuk tidak pergi karena asam urat yang dideritanya. Jawaban Sultan Suleiman, yang telah diabadikan dalam sejarah, adalah: "Saya ingin mati berjuang di jalan Allah."
Maha Suci Allah, Sultan ini telah mencapai usia lanjut, dan separuh dunia berada di bawah kendalinya, dan raja-raja di bumi siap melayaninya. Ia bisa saja menikmati hidup di istana, berpindah-pindah kamar, dan menikmati kesenangan, tetapi ia tetap bersikeras untuk maju sebagai pejuang di jalan Allah.
Ia benar-benar maju memimpin pasukannya dan tidak dapat menunggang kuda karena penyakit asam uratnya yang semakin parah. Oleh karena itu, ia diangkut dengan kereta hingga mencapai tembok kota Szigetvar, dan ia mulai mengepungnya. Dalam waktu kurang dari dua minggu, ia berhasil menduduki benteng-benteng terdepan, dan pertempuran pun dimulai dan semakin sengit. Pertempuran itu merupakan pertempuran tersulit yang dihadapi kaum Muslim karena kekuatan tembok dan keganasan kaum Kristen dalam mempertahankan benteng mereka.
Pertempuran dan pengepungan berlanjut selama kurang lebih lima bulan penuh, dan urusan penaklukan semakin rumit, dan kekhawatiran umat Islam semakin meningkat karena kesulitan penaklukan tersebut. Di sinilah, penyakit Sultan semakin parah dan ia merasa ajalnya semakin dekat, sehingga ia mulai berdoa kepada Allah SWT, dan di antara doanya adalah: "Ya Tuhan semesta alam, berikanlah kemenangan kepada hamba-hamba-Mu yang Muslim, dan dukunglah mereka, dan bakarlah orang-orang kafir."
Maka, Allah pun mengabulkan doa Sultan Suleiman, dan salah satu meriam Muslim mengenai gudang mesiu di benteng, menyebabkan ledakan dahsyat yang merobek sebagian besar benteng dan mengangkatnya ke langit. Pasukan Muslim menyerang benteng tersebut, dan benteng tersebut berhasil ditaklukkan, dan bendera Suleiman pun dikibarkan di tempat tertinggi di benteng tersebut.
Ketika berita penaklukan itu sampai kepada Sultan, beliau sangat gembira dan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang luar biasa ini. Beliau berkata, "Sekarang kematian itu menyenangkan. Selamat kepada orang yang berbahagia ini atas kebahagiaan abadi ini. Berbahagialah jiwa yang tenang dan tenteram ini, salah satu dari mereka yang diridhai Allah dan diridhai-Nya." Jiwanya berpulang kepada Sang Pencipta, ke surga abadi, insya Allah, pada tanggal 20 Safar 974 H / 5 September 1566 M.
Menteri Mehmed Pasha merahasiakan berita kematian Sultan hingga ia memanggil ahli warisnya, Sultan Selim II. Ia datang dan mengambil alih tampuk kepemimpinan Kesultanan di Siktvar, lalu memasuki Istanbul membawa jenazah ayahnya yang syahid. Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan, yang hanya pernah terjadi pada hari wafatnya Sultan Mehmed Sang Penakluk. Umat Muslim mengetahui berita wafatnya Sultan Suleiman dan sangat berduka. Sedangkan di pihak Eropa, umat Kristen tidak pernah bersukacita atas kematian seseorang setelah Bayezid I dan Mehmed Sang Penakluk seperti yang mereka lakukan atas wafatnya Sultan Suleiman, pejuang yang berjuang di jalan Allah. Mereka menjadikan hari wafatnya sebagai hari libur, dan lonceng gereja berdentang gembira atas wafatnya sang pembaharu jihad bangsa di abad kesepuluh, semoga Allah merahmatinya.

Dari buku Unforgettable Leaders oleh Mayor Tamer Badr 

id_IDID