21 Desember 2019
Salah satu komentar dan pesan yang sering saya terima
Telah terputus pesan dan kenabian, maka tidak ada lagi rasul dan nabi setelahku. Akan tetapi kabar gembira, yaitu penglihatan seorang muslim, adalah bagian dari bagian-bagian kenabian.
Narator : Anas bin Malik | Narator : Al-Suyuti | Sumber: Al-Jami` Al-Saghir
Halaman atau nomor: 1994 | Ringkasan putusan ulama hadits: Shahih
Saya seharusnya menanggapi komentar ini, yang menurut penulisnya telah saya abaikan dalam buku saya, The Awaited Messages, di mana saya menyebutkan akan datangnya seorang utusan, seakan-akan saya cukup bodoh untuk menerbitkan buku setebal 400 halaman dan tidak menyebutkan sebuah hadits seperti yang dibawanya kepada saya, seakan-akan ia membawakan saya sebuah argumen konklusif yang membantah apa yang dinyatakan dalam buku saya.
Dan untuk memperjelas kepada Anda seberapa besar penderitaan yang saya alami ketika menulis buku saya, untuk menyelidiki setiap hal kecil yang menghalangi saya selama meneliti buku ini, saya akan menjawab pertanyaan ini hanya dengan apa yang tercantum dalam buku saya, dan agar Anda menyadari bahwa saya tidak akan dapat menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan kepada saya melalui komentar atau pesan, seperti yang telah saya katakan, saya tidak akan dapat mempersingkat 400 halaman untuk setiap teman yang tidak ingin membaca buku dan tidak ingin mencari kebenaran.
Mengenai jawaban atas pertanyaan ini, saya telah menyebutkannya di bab kedua (Penutup Para Nabi, bukan Penutup Para Rasul) dari halaman 48 hingga halaman 54 (7 halaman yang tidak dapat diringkas dalam komentar di Facebook). Saya membutuhkan waktu berhari-hari untuk meneliti dan mengkaji hadis ini karena hadis ini merupakan satu-satunya argumen yang dijadikan dasar para ahli hukum untuk membuktikan bahwa Nabi (saw) bukan hanya Penutup Para Nabi sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi mereka juga menambahkan bahwa beliau adalah Penutup Para Rasul.
Saya menanggapi keaslian hadits ini sebagai berikut:
Apa keautentikan hadits: “Telah terputus risalah dan kenabian, tidak ada lagi rasul dan nabi sepeninggalku...”?
Mereka yang meyakini prinsip tidak ada rasul setelah Nabi kita Muhammad (saw) berpegang teguh pada sebuah hadits yang menyatakan tidak ada rasul setelahnya, sebagaimana Imam Ahmad memasukkannya dalam Musnad-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Tirmidzi dan al-Hakim. Al-Hasan bin Muhammad al-Za'farani meriwayatkan kepada kita, 'Affan bin Muslim meriwayatkan kepada kita, 'Abd al-Wahid, artinya bin Ziyad, meriwayatkan kepada kita, al-Mukhtar bin Fulful meriwayatkan kepada kita, Anas bin Malik (ra dengan dia) meriwayatkan kepada kita: Rasulullah (saw) bersabda: "Rahmat dan kenabian telah berakhir, maka tidak ada rasul atau nabi setelahku." Beliau berkata: "Itu sulit bagi manusia." Beliau berkata: "Tetapi ada kabar gembira." Mereka bertanya: "Apakah kabar gembira itu?" Beliau berkata: "Mimpi seorang Muslim, yang merupakan bagian dari kenabian." At-Tirmidzi berkata: "Ada riwayat tentang hal ini dari Abu Hurairah, Hudzaifah bin 'Ash, Ibnu Abbas, Ummu Kurz, dan Abu Asid. Beliau berkata: "Ini adalah hadis yang baik, shahih, dan langka dari rantai riwayat ini dari al-Mukhtar bin Fulful."
Saya telah memeriksa para perawi hadis ini untuk memastikan kesahihannya dan saya mendapati mereka semua shahih kecuali (Al-Mukhtar bin Falfel) ( ), karena lebih dari satu imam yang shahih kepadanya, seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim Al-Razi, Ahmad bin Saleh Al-Ajli, Al-Mawsili, Al-Dhahabi, dan Al-Nasa'i. Abu Dawud berkata tentangnya: (Tidak ada yang salah dengannya), dan Abu Bakar Al-Bazzar berkata tentangnya: (Dia shahih dalam hadis, dan mereka menerima hadisnya).
Abu al-Fadl al-Sulaymani menyebutnya sebagai salah satu orang yang dikenal karena riwayat-riwayatnya yang aneh, dan Ibnu Hajar al-Asqalani meringkas keadaannya di dalam kitab “Taqrib al-Tahdhib” (6524) dan berkata: (Dia orang yang jujur, namun memiliki beberapa kesalahan).
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti menyebutkannya dalam “Al-Thiqat” (5/429) dan berkata: (Dia banyak melakukan kesalahan).
Dalam kitab "Tahdhib al-Tahdhib" karya Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 10, ia berkata tentang al-Mukhtar bin Falfel: (Saya berkata: Sisa ucapannya mengandung banyak kesalahan, dan ia disebutkan dalam sebuah riwayat yang al-Bukhari singkirkan dalam kesaksian-kesaksian atas dasar Anas, dan Ibnu Abi Shaybah menghubungkannya dengan dasar Hafs bin Ghiyath atas dasar beliau. Saya bertanya... tentang kesaksian para budak, dan ia berkata bahwa hal itu diperbolehkan. Al-Sulaymani berbicara tentangnya dan memasukkannya ke dalam perawi-perawi hal-hal aneh atas dasar Anas, bersama dengan Iban bin Abi Ayyash dan lainnya. Abu Bakar al-Bazzaz berkata bahwa haditsnya shahih, dan mereka menerima haditsnya.)
Tingkatan dan tingkatan para perawi sebagaimana yang disebutkan dalam Taqrib al-Tahdhib karya Ibnu Hajar al-Asqalani adalah sebagai berikut:
1- Para Sahabat: Aku nyatakan ini dengan jelas demi kehormatan mereka.
2- Orang yang menekankan pujiannya, baik dengan perbuatan: bagaikan orang yang paling dapat dipercaya, maupun dengan mengulang-ulang keterangan itu secara lisan: bagaikan orang yang dapat dipercaya, orang yang dapat dipercaya, atau dalam arti: bagaikan orang yang dapat dipercaya, orang yang menghafal.
3- Seseorang yang digambarkan sebagai orang yang dapat dipercaya, terampil, dapat diandalkan, atau adil.
4- Barangsiapa yang kurang sedikit dari derajat ketiga, dan ini ditandai dengan: jujur, atau tidak ada yang salah padanya, atau tidak ada yang salah padanya.
5- Anak yang berusia sedikit di bawah empat tahun, dan ini merujuk pada orang jujur yang ingatannya buruk, atau orang jujur yang melakukan kesalahan, atau berkhayal, atau melakukan kesalahan, atau berubah pikiran di kemudian hari. Ini juga mencakup seseorang yang dituduh melakukan bid'ah, seperti Syiah, takdir, penyembahan berhala, Irja', atau fitnah, dengan penjelasan dari penceramah dan lainnya.
6- Orang yang hanya memiliki sedikit hadits, dan tidak ada dalil yang menyebabkan haditsnya harus ditinggalkan karena alasan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan lafal: diterima, jika diikuti, jika tidak maka hadits tersebut dhaif.
7- Orang yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang dan tidak terdokumentasi, dan dia disebut dengan kata: tersembunyi, atau tidak dikenal.
8- Jika di dalamnya tidak terdapat dokumentasi sumber yang dapat dipercaya, dan terdapat ungkapan kelemahan, sekalipun tidak dijelaskan, dan hal itu ditunjukkan dengan kata: lemah.
9- Tidak diriwayatkan oleh lebih dari satu orang, tidak pula dipercaya, dan disebut dengan kata: tidak dikenal.
10- Orang yang tidak dapat dipercaya sedikit pun, namun ia lemah karena suatu cacat, yang ditandai dengan: hadits yang terabaikan, atau hadits yang terabaikan, atau hadits yang lemah, atau yang gugur.
11- Yang dituduh berbohong.
12- Siapa yang menyebutnya kebohongan dan rekayasa.
Al-Mukhtar bin Falah dianggap sebagai salah satu dari golongan perawi hadis Nabi yang kelima, termasuk para sahabat muda. Karena statusnya di kalangan ahli hadis, para ahli kritik dan autentikasi, serta dalam kitab-kitab ilmu biografi, ia dianggap terpercaya, meskipun memiliki beberapa kesalahan.
Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari (1/384): “Adapun kesalahan, terkadang seorang perawi membuat banyak kesalahan, dan terkadang sedikit. Ketika ia digambarkan melakukan banyak kesalahan, ia harus memeriksa apa yang ia perawi ceritakan. Jika ia menemukan bahwa itu diriwayatkan olehnya, atau oleh orang lain, dari narasi selain yang digambarkan melakukan kesalahan, maka diketahui bahwa yang diandalkan adalah hadis asli, bukan rantai narasi tertentu ini. Jika hanya ditemukan melalui rantai narasinya, maka ini adalah cacat yang mengharuskan keraguan dalam memutuskan keaslian apa yang seperti ini, dan tidak ada hal seperti itu dalam Shahih, alhamdulillah.” Dan ketika digambarkan memiliki sedikit kesalahan, seperti dikatakan: “Dia memiliki ingatan yang buruk, kesalahan pertamanya adalah kesalahannya,” atau “Dia memiliki hal-hal aneh,” dan ungkapan-ungkapan lain seperti itu: maka hukumnya seperti hukum yang sebelumnya.”
Syekh Al-Albani, yang mengesahkan hadis Al-Mukhtar bin Falfel, berkata dalam Da'if Sunan Abi Dawud (2/272) dalam biografi perawi: "Al-Hafiz berkata: (Dia terpercaya, tetapi ada beberapa kesalahan). Aku berkata: Maka hadis orang seperti dia dapat dianggap shahih, jika dia tidak membantahnya."
Syekh Al-Albani berkata dalam "As-Silsilah As-Shahihah" (6/216): "Hadis ini diriwayatkan semata-mata oleh Imran bin Uyaynah, dan terdapat beberapa kritik terhadap hafalannya. Al-Hafiz menunjukkan hal ini dengan mengatakan: (Dia dapat dipercaya tetapi memiliki beberapa kesalahan); maka membenarkan hadisnya tidak sah, dan cukup baginya untuk memperbaikinya jika dia tidak membantahnya."
Kecuali hadis yang disebutkan di mana terdapat pokok perselisihan ("Tidak ada rasul setelahku") yang diriwayatkan oleh Al-Mukhtar bin Falfel, hadis ini diriwayatkan dari sekelompok sahabat mengenai pengecualian kenabian tanpa memasukkan hadis mimpi. Hadis ini bersifat mutawatir dan memiliki beberapa aspek dan lafal yang tidak menyertakan frasa ("Tidak ada rasul setelahku"), termasuk riwayat-riwayat berikut:
1- Imam Al-Bukhari rahimahullah, yang tercantum dalam Shahih-nya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yang berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada yang tersisa dari kenabian kecuali kabar gembira." Mereka bertanya: "Apa kabar gembira itu?" Beliau menjawab: "Mimpi yang baik."
Semoga Allah merahmatinya, beliau memasukkan dalam kitab Al-Muwatta sebuah bab dengan lafal: “Setelah selesai shalat magrib, beliau bertanya: ‘Apakah di antara kalian ada yang bermimpi tadi malam? . . . ? ’ Beliau menjawab: ‘Setelah aku, tidak akan tersisa apa pun dari kenabian ini kecuali mimpi yang shaleh. ’”
Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Dawud, dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, semuanya dari Malik.
2- Imam Ahmad memasukannya dalam Musnad-nya dan Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tabir ketika orang-orang telah berbaris di belakang Abu Bakar dan berkata: “Wahai manusia, masih tersisa dari kabar gembira kenabian, kecuali penglihatan saleh yang dilihat atau dilihat oleh seorang Muslim…”
Dalam sebuah riwayat Muslim dengan lafal (Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, membuka cadarnya) sementara kepalanya dibalut saat sakit yang menyebabkan kematiannya, dan beliau berdoa: "Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan pesan?" tiga kali. Kabar gembira tentang kenabian hanyalah penglihatan yang dilihat oleh hamba yang saleh, atau yang disaksikan untuknya..."
Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq dalam Musannafnya, Ibnu Abi Shaybah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibban, dan al-Bayhaqi.
3- Imam Ahmad rahimahullah, tercantum dalam Musnad beliau, dan putranya Abdullah, tercantum dalam Zawaid al-Musnad, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada yang tersisa dari kenabian setelahku kecuali kabar gembira.” Mereka bertanya: “Apakah kabar gembira itu?” Beliau menjawab: “Mimpi baik yang dilihat seseorang atau yang disaksikan untuknya.”
4- Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Al-Tayyib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada kenabian sepeninggalku kecuali kabar gembira.” Ada yang bertanya, “Apakah kabar gembira itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi yang baik.” Atau beliau menjawab, “Mimpi yang shaleh.”
5- Al-Tabarani dan Al-Bazzar meriwayatkan dari Hudzaifah bin 'Aid radhiyallahu 'anhu, yang berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku telah pergi, dan tidak ada kenabian setelahku kecuali kabar gembira." Ditanyakan: "Apa kabar gembira itu?" Beliau menjawab: "Mimpi yang saleh yang dilihat oleh orang saleh atau yang disaksikan untuknya."
6- Imam Ahmad, Al-Darimi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Umm Kurz Al-Kaabiyyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kabar gembira telah berlalu, namun kabar gembira tetap ada.”
7- Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatta’ dari Zaid bin Aslam dari Ata’ bin Yasar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu pun kenabian yang tersisa setelahku kecuali kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apakah kabar gembira itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mimpi yang saleh yang dilihat oleh orang saleh atau yang disaksikan untuknya adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” Hadits ini merupakan hadits mursal yang memiliki sanad yang shahih.
Selain itu, hadis-hadis yang membahas mimpi, yang merupakan bagian dari kenabian, sangat bervariasi dalam susunan katanya. Beberapa riwayat mendefinisikan mimpi sebagai salah satu dari dua puluh lima bagian kenabian, sementara yang lain mendefinisikannya sebagai salah satu dari tujuh puluh enam bagian. Terdapat banyak hadis dan perbedaan angka di antara kedua riwayat tersebut. Ketika kita menelaah hadis-hadis yang membahas mimpi, kita menemukan perbedaan angka. Misalnya, beberapa riwayat menyatakan: "Mimpi yang baik dari orang yang saleh merupakan salah satu dari empat puluh enam bagian kenabian" [Bukhari: 6983]. Riwayat lain menyatakan: "Mimpi yang saleh merupakan salah satu dari tujuh puluh bagian kenabian" [Muslim: 2265]. Riwayat lain menyatakan: "Mimpi seorang Muslim merupakan salah satu dari empat puluh lima bagian kenabian" [Muslim: 2263]. Ada banyak riwayat lain yang menyebutkan angka yang berbeda untuk bagian kenabian ini.
Menanggapi hadis mulia yang di dalamnya Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak ada rasul setelahku," kita beralih ke pendapat para ulama terminologi. Mereka membagi hadis mutawatir menjadi: mutawatir verbal, yaitu hadis yang lafadznya mutawatir, dan mutawatir semantik, yaitu hadis yang maknanya mutawatir.
1- Frekuensi verbal: yaitu apa yang diulang-ulang dalam kata-kata dan makna.
Contoh: "Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta tentangku, hendaklah ia menempati tempatnya di neraka." Diriwayatkan oleh al-Bukhari (107), Muslim (3), Abu Daud (3651), al-Tirmidzi (2661), Ibnu Majah (30, 37), dan Ahmad (2/159). Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh dua sahabat, dan di antara mereka terdapat banyak sekali sahabat yang tidak terhitung banyaknya.
2- Frekuensi semantik: Ini terjadi ketika para perawi sepakat pada makna umum, tetapi kata-kata hadisnya berbeda.
Contohnya: Hadits tentang syafaat, yang maknanya sama tetapi lafadznya berbeda, begitu pula hadits tentang mengusap kaos kaki.
Nah, mari kita ikuti saya, saudara Muslim, saat kita menerapkan aturan ini pada hadis-hadis tentang penglihatan yang telah kita sebutkan sebelumnya untuk menentukan apakah ada konsistensi verbal dan semantik dalam hadis-hadis ini atau tidak. Dan sejauh mana frasa "Tidak ada rasul setelahku" benar dalam kaitannya dengan hadis-hadis lainnya?
1- Semua hadits ini memiliki rantai transmisi moral dan sepakat bahwa penglihatan merupakan bagian dari kenabian, yang membuktikan keasliannya tanpa keraguan sedikit pun.
2- Dalam kebanyakan hadits ini sering disebutkan bahwa tidak akan ada yang tersisa dari kenabian itu kecuali kabar gembira, dan ini pula yang menunjukkan keautentikannya.
3- Hadits-hadits tentang penglihatan berbeda pendapat mengenai jumlah bagian kenabian, tetapi semuanya sepakat bahwa penglihatan merupakan bagian dari kenabian, dan ini benar dan tidak diragukan lagi. Namun, perbedaannya terletak pada penentuan bagian ini secara spesifik, dan perbedaan ini tidak relevan dan tidak menjadi pembahasan kita di sini. Apakah penglihatan merupakan bagian dari tujuh puluh bagian kenabian atau bagian dari empat puluh enam bagian kenabian, tidak akan bermanfaat sama sekali. Telah diketahui bahwa jika hadits-hadits berbeda dalam lafadznya, dan sebagian hadits lebih unggul dari sebagian lainnya, tetapi semuanya sepakat dalam isi, maka hadits-hadits tersebut dianggap mutawatir dalam makna, bukan dalam lafadz.
4- Dalam hadits-hadits sebelumnya terdapat pengulangan lisan yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya penutup para Nabi. Hal ini sesuai dengan teks yang jelas di dalam Al-Qur’an, maka tidak ada ruang bagi seorang muslim pun untuk membantahnya.
5- Tidak ada pengulangan verbal maupun semantik dalam frasa (Tidak ada rasul setelahku) yang disebutkan dalam satu-satunya hadis yang dikutip oleh mereka yang meyakini bahwa Nabi, s.a.w., adalah penutup para Rasul. Frasa ini merupakan tambahan dari apa yang disebutkan dalam hadis-hadis lain, sehingga tidak berulang secara verbal maupun semantik, seperti yang Anda baca dalam hadis-hadis sebelumnya. Apakah frasa ini—yang tidak berulang secara verbal maupun semantik, dan bertentangan dengan banyak teks dalam Al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—pantaskah kita keluar darinya dengan keyakinan yang berbahaya bahwa Nabi, s.a.w., adalah penutup para Rasul? Apakah para ulama menyadari betapa berbahayanya fatwa ini, yang didasarkan pada satu hadis yang para perawinya diragukan, dan yang akan menyebabkan kesengsaraan besar bagi keturunan kita jika Allah SWT mengutus mereka seorang rasul di akhir zaman untuk memperingatkan mereka akan siksa yang pedih?
6- Sebagaimana telah saya sebutkan, rantai periwayatan hadits yang disebutkan di atas yang memuat frasa (Tidak ada seorang rasul pun setelahku) mencakup (Al-Mukhtar bin Falful), yang tentangnya Ibn Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa ia jujur tetapi memiliki beberapa kesalahan, dan Abu Al-Fadl Al-Sulaymani menyebutnya di antara mereka yang dikenal karena hadits-haditsnya yang tercela, dan Abu Hatim Al-Basti menyebutkannya dan berkata: Ia membuat banyak kesalahan. Jadi bagaimana kita bisa membangun sebuah fatwa utama berdasarkan hadits ini saja yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ adalah Penutup para Rasul.. ?! Akankah para ulama Muslim saat ini menanggung beban umat Islam yang akan berbohong tentang seorang rasul yang akan datang karena keteguhan mereka pada fatwa mereka setelah kebenaran menjadi jelas bagi mereka..? Dan akankah fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang mengutip fatwa-fatwa mereka dan terus mengulanginya tanpa penyelidikan hingga hari ini menjadi syafaat bagi mereka?